-->

Thursday, March 1, 2018

SILARIANG; Will You Die For Your Love?

Oleh : Andi Nur Fitri Balasong

Telah lama saya ingin menulis tinjauan mengenai film Silariang yang beberapa bulan lalu rilis di bioskop nasional. Namun karena kesibukan, ide itu selalu tertunda. Inilah penyakit penulis sebenarnya, need to find a ha solution....he he he...Sebagai orang Makassar saya tentu merasa penasaran dengan isi cerita film ini. Dari sisi judul, kata Silariang memang sangat akrab di telinga masyarakat Bugis Makassar. Meskipun kehidupan masyarakat Bugis Makassar telah berakselerasi sesuai dengan perkembangan zaman, namun  stigma tentang Silariang tetap hidup dan tidak mampu terhapus sepenuhnya dari ingatan kolektif masyarakatnya.

Adalah Puang Rabiah (Dewi Irawan) yang memulai klimaks dari fokus Cinta Yang Tidak Direstui (CYTD). Ia dalah ibunda dari Zulaikha (Andania Suri) seorang remaja yang sedang memadu cinta dengan Yusuf (Bisma Karisma).  Ketiga aktor tersebut bukanlah penutur asli aksen bahasa Makassar, yang meskipun dalam beberapa scene masih terlihat gugup, namun berhasil mempertontonkan totalitas memerankan lakon masing-masing.

Ketika kisah cinta antara Yusuf dan Zulaikha yang terjalin selama bertahun-tahun ingin disatukan dalam ikatan pernikahan, mereka pun terhadang restu keluarga besar Zulaikha, terutama sang Ibu. Alasan yang mungkin saja sepele namun tidak bagi sebagian kalangan masyarakat Bugis Makassar yaitu perbedaan strata sosial. Zulaikha lahir dari keturunan bangsawan, sementara Bisma terlahir dari golongan non bangsawan, meskipun kedua orang tuanya kaya raya.

Baca juga: Jelang Hari Jadi dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu, Idwar Terbitkan Tiga Buku Tentang Luwu

Persoalan adat memang tak bisa dilebur begitu saja oleh perubahan zaman. Mereka yang memiliki keturunan sebagai bangsawan, dinilai hanya pantas menikah dengan sesamanya darah biru jika berharap terus mewarisi darah kebangsawanan tersebut. Tetapi itu tak ada artinya bagi Yusuf dan Zulaikha yang sedang dimabuk cinta. Sangat jelas terlihat tekad Yusuf yang nekad menikahi  Zulaikha, meskipun tanpa restu keluarga Zulaikha, padahal Yusuf dan kelurganya telah melakukan manu’-manu’ , mendatangi keluarga calon mempelai perempuan dengan maksud ingin meminang sang gadis. Namun semua usaha Yusuf dan keluarganya sia-sia. Restu dari keluarga terutama sang Ibu, yang saat itu sudah berstatus janda karena sang ayah telah meninggal tidak kunjung didapatkan. Keluarga puang Rabiah bersikukuh, agar Zulaikha tidak menikah dengan pemuda yang tidak memiliki garis keturunan bangsawan secara patrilineal.

Cerita berlanjut hingga Yusuf dan Zulaikha menikah dan mencari kehidupan mereka berdua. Dengan latar belakang perbukitan Karst dan Gua Rammang-rammang, film ini diramu sangat apik ketika menampilkan pesona wisata Sulawesi Selatan. Spot perbukitan cadas atau karst di daerah Maros memang menjadi pemandangan yang luar biasa indah bagi penonton. Sepasang sejoli itu kemudian menemukan tempat mereka untuk memahat hidup berdua jauh dari keramaian kota.

Kehidupan Yusuf dan Zulaikha dimulai dari babak awal. Mereka harus beradaptasi dengan kehidupan perkampungan di sana, seperti bertani dan beternak secara konvensional untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Ya, cinta memang seringkali menjadi modal, dan dengan modal itulah mereka menghadapi hidup yang jauh berbeda dengan kehidupan mereka sebelumnya.

Baca juga: Hibah 3,5 M Cipta Media Ekspresi Untuk Perempuan Pencipta Seni dan Budaya


Hari-hari berjalan, Yusuf dan Zulaikha menjalaninya sebagai sepasang suami istri, hingga merekapun dikaruniai seorang putri. Masalah kelurga pun tak terhindarkan. Perkara paling sederhana misalnya adalah ketika Zulaikha mencuci pakaian yang sudah seminggu tertumpuk dan tidak kunjung dibereskan oleh Yusuf, padahal sang istri sedang dalam kondisi hamil tua. Seusai mencuci tumpukan pakaian, Zulaikha jatuh sakit karena kelelahan mengurus rumah, sebuah pekerjaan yang sering dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Masalah rumah tangga lain yang mereka hadapi adalah bagaimana mencukupi kebutuhan hidup, terutama dengan hadirnya buah hati mereka. Semua harta bawaan Zulaikha seperti emas pemberian ibunya hampir habis terjual, kecuali seuntai gelang yang disimpannya. Gelang itu sangat berharga baginya, ia laksana penjelamaan ibunya. Diam-diam Zulaikha masih menyimpannya karena ia pikir gelang itulah yang akan selalu membuatnya merasa berada dalam dekapan sang Ibu. Gelang itu menjadi penawar rindu kepada sang Ibu, yang telah ia tinggalkan sejak menikah dengan Yusuf.

Yusuf juga kebingungan karena uang dan makanan telah menipis, sementara mereka harus tetap bertahan. Kiriman dari orang tua Yusuf pun tak ada lagi, adu mulut dan pertengkaran tak terhindarkan. Bahkan Yusuf sempat menawarkan perpisahan kepada Zulaikha. Zulaikha bukanlah perempuan yang cepat patah arang, dengan lantang ia berkata; “Saya ini keturunan Andi, sedari kecil saya diajarkan bagaimana mempertahankan harga diri” Mempertahankan  biduk rumah tangga adalah sebuah harga diri, setidaknya itulah konsistensi yang ditunjukkan Zulaikha. Ia memang tampil sebagai seorang perempuan Bugis Makassar yang tangguh. Ketika rumah tangga membutuhkan dirinya untuk bertahan, ia rela mengorbankan semua hartanya, kecuali seuntai gelang yang membuatnya terus mengingat sang Ibu. Dan pernikahan adalah persoalan harga diri, sebuah pertanggungjawaban moral yang patut diacungi jempol telah ditunjukkan Zulaikha.

Baca juga: Idwar: 23 Januari Collective Memories Rakyat Luwu

Baca juga: Inilah 5 Penyanyi Terkaya di Dunia

 Klimaks yang lain terjadi dibalik pertengkaran Yusuf dan Zulaikha. Puang Rabiah sebenarnya tak sanggup lagi menahan rindu pada putri tercintanya. Zulaikha yang pernah menempati rahimnya, telah bertahun-tahun pergi dengan lelaki yang tak direstuinya. Foto Zulaikha terus didekapnya. Linangan airmata dari malam ke malam berikutnya adalah penanda betapa ia ingin sekali membelai putri kecilnya, membalutkan selendang sutra di dadanya dan memeluknya erat serta menciumi kening dan rambutnya seraya membacakan doa agar hidupnya senantiasa bahagia. Tapi itu hanyalah ilusi. Ia tersadar dan terhentak sebuah kenyataan, sang putri itu telah berani melanggar titahnya...dan dengan tegas ia meminta saudara lelakinya, Puang Ridwan, untuk menyiapkan upacara Mabbaratta. Sebuah upacara kematian bagi Zulaikha. Ia tak lagi menganggap Zulaikha hidup. Tontonan yang mengiris hati sedang terjadi...      

Scene Mabbaratta sebetulnya adalah titik fokus yang bagus untuk diekplorasi. Betapa sebuah nilai adat atau norma yang hidup selama bertahun-tahun tetap menjadi referensi hidup. Tak peduli ia darah daging sendiri, nilai itu tetap berlaku bagi siapa saja yang dianggap membuat malu atau mappakasiri’-siri’. Hingga pada satu waktu Yusuf mendatangi kembali Puang Rabiah dengan maksud meminta pertolongan agar mendonorkan darahnya bagi cucunya sendiri yang sedang sakit parah. Keinginannya tak langsung dipenuhi, ia pun harus menghadapi ancaman Puang Ridwan yang menodongkan badik ke arah perutnya.

Baca juga: Inilah Nomor Urut Peserta Pemilu 2019

 Film ini sebenarnya banyak memuat pelajaran terutama tentang budaya Bugis Makassar yang patut dilestarikan. Di tengah derasnya nilai-nilai global, nilai-nilai budaya lokal tetap menempati ruang dalam kesadaran masyarakat pendukungnya. Sebelum mengakhiri dengan indah kisah di film ini, kembali penonton disuguhi adegan mengharu biru. Zulaikha kembali ke rumahnya dan meminta maaf kepada Ibunda dengan cara mencium kaki sang Ibunda setelah dibasuhnya dengan air bersih. Alunan lagu Inninnawa Sabbarae –sebuah lagu ninabobo di kalangan masyarakat Bugis khususnya—menyihir siapapun yang menyaksikannya menitikkan air mata. Bagaimana pun keterpisahan yang pernah terjadi, Ibu tetap menjadi sosok yang menghangatkan. Jika ditelaah lebih jauh, Ininnawa adalah lubuk hati yang paling terdalam, yang mungkin disitulah kebenaran dan keabadian bersemayam. Kebenaran ikatan antara Puang Rabiah sebagai Ibu dan Zulaikha sebagai anak tetap abadi dalam senandung doa-doa lagu Ininnawa Sabbarae.

Saya bukanlah kritikus film atau sastrawan dengan karya-karya mendunia. Tetapi jika saya diberi ruang untuk mengajukan kritik maka saya hanya ingin mengungkapkan bahwa, sebenarnya banyak titik fokus yang kurang tergali dalam kisah Yusuf dan Zulaikha dalam film Silariang. Makanya saya memberikan judul Will You Die for Your Love yang mungkin akan memberikan efek penasaran bagi calon penonton. Apa sebenarnya konsekuensi dari Silariang, atau mungkinkah tragis di akhirnya...Tetapi karena sudah rilis, biarlah menjadi catatan kecil bagi insan perfilman yang tetap ingin eksis menggali budaya lokal untuk dijadikan karya seni semisal film ataupun yang lainnya. Salut untuk Inipasti Comunica dan Indonesia Sinema Persada tentunya. Teruslah berkarya! 
(Penulis adalah penikmat karya-karya sastra) 

Baca juga: Kota Tuhan

Baca juga: Lelaki dalam Lipatan Kelaminku

Baca juga: Perempuan yang Terbaring dalam Lilin

Baca juga: Diplomasi di Atas Ranjang

0 comment