Cerpen Idwar Anwar
Pukul 03.50 dini hari…
…kadang.… aku ingin berdoa kepada Tuhan… agar tak lagi menciptakan kelamin.
Asap
 rokok mengepul. Dentuman musik menggiring degup jantung menuju pagi. 
Botol-botol wiski bercampur ekstasi berseliweran di atas meja. Bergegas 
kurapikan kelaminku. Sebelumnya begitu berantakan. Bahkan berdebu di 
sana sini. Untung saja tidak berlumut. Ha…ha…ha… tak mungkinlah 
berlumut. 
Sebagai
 alat penghasil uang, kelaminku senantiasa kujaga kebersihannya. 
Berbagai peralatan dan obat-obatan selalu kubeli untuk membuatnya cantik
 dan menyenangkan. Aku toh tak salah jika merawat sesuatu yang mampu 
membuatku hidup berkecukupan, bahkan mungkin terbilang mewah. 
Selain
 kujaga kebersihanya, kelamimku juga kujaga dari orang-orang yang akan 
menganiayanya. Perbuatan kasar pada kelaminku akan kuhindari. Aku akan 
pilih-pilih pada orang-orang yang akan memakainya. Tentu juga memilih 
orang-orang yang berkantong tebal. Kalau perlu yang masih muda dan 
tampan. Kan akan lebih nikmat dibanding bercinta dengan orang tua dan 
jelek. He…he…he. Karenanya, jangan pernah berbuat kasar pada kelaminku, 
sebab ia begitu lembut dan penuh kasih sayang.
Seperti
 malam itu. Aku seketika muak dengan seorang lelaki tua yang tiba-tiba 
saja menghampiriku. Selama ini, lelaki tua itu senantiasa mengincarku. 
Tapi aku berusaha untuk menghindar dengan alasan telah ada janji dengan 
seseorang, paling tidak untuk tidak mengecewakannya. Namun karena selalu
 kutolak, suatu hari ia bahkan ingin membayar empat kali lipat dengan 
bayaran orang yang telah berjanji denganku.
Ia
 sepertinya begitu ingin mengajakku terbang bersamanya. Padahal 
sayap-sayapnya telah rapuh. Itu juga aku tahu dari teman-teman yang 
pernah bersamanya. Dan kini, aku tak tahu apa sayap-sayapnya masih bisa 
membuatku terbang. Kalau pun bisa, mungkin tak lagi begitu lama. 
“Kemarilah sayang. Bukankah malam ini begitu indah dan dingin!” 
Lelaki
 tua, berbaju rapi dan berdasi bergegas itu berjalan ke arahku. Suara 
sepatunya begitu bernafsu menembus hiruk pikuk kaki-kaki yang 
lalu-lalang. Rokok di tangannya yang belum sempat dibakarnya, menggigil.
 Sepertinya ia benar-benar ingin berteduh. Wajahnya pucat. Bibirnya 
bergetar. Matanya sayu, namun memandangku penuh gairah dan harapan. 
Puiihhh!
 Aku tak ingin kelaminku kembali acak-acakan karena lelaki itu. Aku 
tahu, dia lelaki terhormat, duduk di kursi terhormat dan berada di dalam
 gedung yang terhormat. Hampir tiap hari yang keluar dari bibirnya hanya
 tentang rakyat. Tapi, aku tak menyukainya. Mungkin aku takut. Atau 
mungkin juga aku jijik. Tak tahulah. Yang pasti, saat ini aku tidak 
ingin bersamanya berapa pun yang ia ingin bayar. 
Aku
 tahu, dengan orang tua seperti dia, aku tak perlu bekerja keras. 
Sebentar saja dia pasti akan menyerah sendiri dan tak sanggup lagi 
berbuat apa-apa. Paling-paling setelah itu, lelaki tua itu hanya mampu 
menataku dengan penuh birahi, namun tak sanggup lagi berbuat apa-apa. 
Orang tua seperti dia hanya memperturutkan birahinya, tanpa peduli pada 
kemampuannya.
Kalau
 pun lelaki tua itu mimun obat kuat, paling-paling bisa bertahan berapa 
lama. Atau malah jangan-jangan penyakit jantungnya bisa kumat. Wah, bisa
 lebih bahaya. Masa orang terhormat seperti dia harus mati di atas 
perempuan sepertiku. Apa tidak kasihan pada anak istrinya. Bagaimana 
pula tanggapan orang-orang yang selama ini menghormatinya dan 
menganggapnya sebagai panutan rakyat. Ha…ha…ha….
Tapi
 dengan orang tua itu, tentu aku akan mendapatkan uang yang banyak tanpa
 harus bekerja keras. Sebagai orang terhormat, duduk di kursi terhormat 
dan di dalam gedung terhormat, pasti ia bergaji besar. Belum lagi 
uang-uang negara yang telah digerogotinya. Tentulah lelaki tua itu 
berkantong tebal, bahkan teramat tebal. Itu belum terhitung berbagai 
perusahaan besar yang dimilikinya.
Tapi,
 bagaimanapun aku lebih menyayangi kelaminku. Jadi aku juga harus 
menjaganya. Aku tahu, kelaminku setangkai mawar merekah di taman, yang 
tumbuh di antara ilalang-ilalang meretakkan langit. Kelopak-kelopaknya 
lembut, tapi begitu kuat dan perkasa menelan sejuta birahi yang seliar 
apa pun. Di pusatnya kehangatan melenakan iblis atau malaikat sekalipun.
 Baunya harum, serupa aroma surga. 
“Mengapa
 kau pasang badai di matamu,” suara lelaki itu dikerumuni kecemasan. 
Penghambaannya hampir saja menerjang, namun ia masih mampu menguasai 
dirinya. Bibirnya masih gemetar.
“Aku tak memasang badai. Badai itu datang sendiri karena kehadiranmu.”
“Tak
 adakah waktu untukku malam ini?” Ia nampak mulai kalah. Aroma kelaminku
 menjadikannya tersengal. Lelaki terhormat, duduk di kursi terhormat di 
dalam gedung terhormat itu sepertinya tak mampu lagi menguasai dirinya. 
Dan akhirnya lelaki itu tersungkur tepat di depanku; mengiba-iba. 
Dasinya yang terseret di atas lantai tak lagi dipedulikannya. 
Aku
 masih berdiri tegap. Tak mau mengharapkan apa-apa dari lelaki itu. Aku 
tahu, bahkan teramat tahu, aku tak mungkin lagi melakukannya. Kelaminku 
telah kukemas dengan baik. Kusimpan dalam pigura berhias sutra dengan 
bunga-bunga kesturi yang tumbuh di sekitarnya. Aku tak ingin ia 
terbangun dan menyaksikan keganasan lelaki itu melepas selaksa 
dahaganya.  
Maka kujawab dengan tegas dan sedikit meninggikan suara, “Tidak!”
Aku
 menyayangi kelaminku. Sejak kesadaran akan kelaminku muncul, ia selalu 
kurawat dengan penuh kasih sayang untuk kusuguhkan pada mereka yang 
benar-benar butuh; tapi tentu mereka harus selembut sutra.
Tiba-tiba aku ingat bait-bait yang tergeletak di atas sebuah lontara’[1]; …lelaki yang pantas memasuki kelamin perempuan hanyalah lelaki setampan nabi Yusuf. Ha… ha… ha… ha…. Puuiihh! 
Dulu
 aku senang pada sesuatu yang kusebut omong kosong ini. Semua itu 
menurutku hanya tata krama yang idealis untuk kelamin-kelamin yang tidak
 taat peraturan. 
Tapi
 kelaminku, aku rasa telah taat peraturan. Bahkan teramat taat malah. 
Aku menyuguhkannya kepada mereka yang benar-benar butuh dan tentu aku 
juga menyukainya; mencintainya mungkin. He…he…he…he. Cinta? Ya, cinta. Aku menyebut cinta dengan segala ketulusanku.
Tapi lelaki itu tak juga mau berhenti memohon.
“Apakah
 kau benar-benar ingin pergi bersama angin. Bukankah dingin malam ini 
bagai puncak-puncak bukit Tursina. Kita bisa melayang mengarungi 
kesejukannya. Menghirup segala aroma yang dihembuskannya.”
“Aku tak tertarik menuju puncaknya. Pergilah ke Samarkan! Di sama maut sedang menunggu.” 
Lalu malam kubiarkan pergi begitu saja.
***
Dini hari yang buruk. Di sebuah kota yang bisu…. 
Seorang perempuan menggelepar. Mengerang dengan segala ketakberdayaannya.
“Tidak! Tidak! Jangan! Akhh! Tolong…!”
“Dasar perempuan kampung….”
Lelaki
 itu lalu kutemukan terkapar di dalam kelaminku. Aku tak tahu harus 
berbuat apa. Kelaminku tercabik oleh orang yang tak kukenal. Lelaki itu 
memporak-porandakan kelaminku. Menusuk-nusuk hingga ke jantungku. Ia 
menghisap payudaraku; bagai mesin-mesin penyedot di ladang-ladang 
minyak. Puiiihh!
Aku
 tak bisa lupa, lelaki itu mengerang seperti singa kelaparan. Lalu, 
kudengar kelaminku bernyanyi lagu musim gugur. Rintihannya meluruhkan 
daun-daun. Lonceng kerontang dengan ilalang di padang tandus 
mengiringinya. Perih. Dadaku sesak oleh tangis yang tertahan. 
Lelaki itu mengerang. Lalu lelaki-lelaki lain datang pula; mendengus seperti anjing mengendus; lapar… haus… birahi…. Hanya bayangan hitam yang mengurai di wajahnya.
Harus kusebut apa lelaki-lelaki itu?
Sekujur
 tubuhku bergetar. Takut. Perih memenjara. Ada kengerian menjalari… 
dingin hingga menikam-nikam ke ulu hati, mengiris perasaan; sembilu. 
Tiba-tiba
 aku ingat perempuan-perempuan Bosnia; meregang di antara dengusan 
tentara-tentara rakus; di bawah todongan senjata dan popornya yang 
seringkali disusupkan ke dalam kelamin-kelamin mereka. 
Sungguh,
 ketika itu aku belum mengenal betul arti seonggok kelamin. Apalagi tahu
 kelembutan dan aroma surga yang ditawarkannya. 15 tahun usiaku. Aku 
hanya tahu bahwa melalui kelaminkulah kelak akan keluar janin-janin yang
 dititip Tuhan di dunia. Di kelaminkulah akan berumah lelaki yang kelak 
akan kusebut suami yang akan menyemai firman Tuhan di dalam rahimku. 
Tapi,
 mengapa mereka memperlakukan pintu dunia itu dengan kasar dan beringas.
 Setelah merampas segalanya, mereka memasukkan botol-botol minuman ke 
dalam kelaminku. Bagai laras senjata; dingin meluluhkan hatimu. Air 
mataku mengaliri batok-batok kesadaranku. Namun aku tak sanggup berbuat 
apa-apa. Tangisku hanya mengaung di padang tandus.
Aku ingat perempuan-perempuan Bosnia; kelamin-kelamin yang teraniaya; berdarah tanpa cinta.
…kadang… aku ingin berdoa kepada Tuhan… agar tak lagi menciptakan kelamin.
***
Dan
 10 tahun berlalu begitu saja. Bayang-bayang kelam itu mengantarku untuk
 lebih mencintai kelaminku. Aku hanya akan memberikannya pada 
lelaki-lelaki yang membutuhkan dan tentu saja aku juga setuju; mungkin 
pula karena aku mencintainya.
Telah
 berpuluh-puluh lelaki berteduh dalam kelaminku. Ada yang kubiarkan 
berteduh karena aku benar-benar butuh uang. Ada karena terpaksa, karena 
ia terus menghibah. Ada pula yang karena aku menyukainya. Aku malah tak 
ingat lagi lelaki mana yang paling berarti bagi kelaminku; menyayangi 
dan benar-benar membutuhkannya. 
Jika
 kau bertanya, apakah kelaminku melakukannya tanpa cinta, maka kujawab 
kadang-kadang. Bukankah kadang orang normal pun melakukannya tanpa 
cinta, meski mereka menikah secara resmi? 
Tentu
 aku juga masih membutuhkan cinta, bahkan mungkin mengagungkannya. 
Bukankah cinta adalah bagian terpenting dalam hidup ini. Cinta hadir 
dalam ritme tanpa batas dalam orkestra keabadian; mungkin juga tak 
mengenal ruang dan waktu. Ia hadir begitu saja dan tumbuh pada diri 
siapa saja; walau mungkin tanpa kelamin. 
Tanpa kelamin? Ha… ha… ha…ha…!
Mungkinkah cinta hadir dan bersemi tanpa kelamin? 
Mungkin saja! Cinta sejati! 
Tapi… akhh, aku rasa cinta masih butuh kelamin?! 
He… he… he… he…. Benarkah? 
Tak tahulah. Yang pasti kelaminku harus tetap kurawat. Sebab hanya dengan dialah aku bisa bertahan hidup. 
Aku
 tahu, semua orang telah meremehkanku. Menganggapku kotor. Tapi 
bagaimana dengan mereka yang kerap menghibah-hibah di hadapanku? Memohon
 agar dapat berteduh dalam kelaminku. Aku tak tahu, harus kusebut apa 
mereka yang telah mengoyak-ngoyak kepolosan kelaminku saat usiaku 15 
tahun. Harus kusebut apa mereka yang telah menjerumuskan aku ke dalam 
ruang yang oleh mereka sendiri menyebutnya sebagai pekerjaan yang kotor.
Maka
 itulah, aku sangat menjaga kelaminku setelah 10 tahun lalu 
tercabik-cabik dan tercampakkan. Aku baru tahu di antara kehangatan 
kelaminku –yang kedalamannya antara 10-12,5 cm dan memanjang dalam 
posisi 45 derajat terbuat dari jaringan kulit, otot dan jaringan 
serat--, bertumpuk lelaki ingin berteduh di dalamnya; mengais-ngais 
kehangatan. 
Kehangatan?
Ya…
 kehangatan. Begitu banyak lelaki yang datang meminta kehangatan dari 
kelaminku. Tidak peduli, apakah ia pejabat berdasi, bersepatu lars, 
aktivis, atau pengusaha. Mereka kadang saling menyikut tanpa peduli tua 
atau muda. 
“Aku
 ingin menabur bunga di dalamnya,” suara seorang lelaki yang kukenal 
sebagai aktivis organisasi keagamaan yang terkenal di negeri ini suatu 
hari.
“Omong
 kosong! Sudahlah! Datang saja. Aku juga butuh. Tapi jangan kau menabur 
bunga di dalamnya. Kelaminku lebih harum dari seribu bunga yang kau 
tabur.”
Lelaki-lelaki itu sering datang berteduh; membawa bunga yang kemudian dicampakkannya sendiri karena aku memang tak butuh.
Kehangatan macam apalagi yang kubutuhkan. Bukankah hidup hanya persemaian kelamin? Bahasa paling gersang yang pernah kuucapkan; membutakan… memabukkan….
***
Toh
 aku tak membutuhkan suara burung-burung di pagi hari. Aku hanya 
mengenal malam dengan bulan dan bintang-bintangnya. Akhh, tentu saja 
dengan kepekatan dan anginnya yang dingin. Itu pasti. Bukankah angin 
dingin yang senantiasa mengantarkan lelaki-lelaki itu datang dan 
mengais-ngais kehangatan dalam lipatan kelaminku? 
Tentu
 saja, aku tak boleh melupakan angin malam yang dingin dengan gigilnya 
yang seksi itu. Maka pasti, aku tak butuh lagi cericit burung-burung di 
pepohonan yang berlompatan dari satu ranting ke ranting lain; dari satu 
pohon ke pohon lain. Tidak juga dengan matahari pagi. Aku bahkan telah 
melupakannya; bagaimana warnanya; bagaimana aromanya.
Setelah
 10 tahun berlalu, aku hampir tak pernah lagi bertemu dengan matahari 
pagi yang menyembul di balik gunung yang berdiri kokoh di belakang 
rumahku di kampung; matahari pagi yang mengerjap-ngerjap di antara 
reranting dan dedaunan. Butiran keringat yang menggelinding dari setiap 
pori-poriku di pagi hari juga hampir tak pernah lagi kurasakan. Aroma 
tanah sawah yang gembur telah berganti aroma parfum merek luar negeri 
memeloroti aroma tubuhku. 
Akhhh,
 semuanya telah berlalu bersama lelaki-lelaki dengan keberingasannya 
itu. Mereka telah memporak-porandakan hidupku dan memenjarakanku dalam 
ruang gelap; tempat lelaki-lelaki mengendus aroma tubuh 
perempuan-perempuan sepertiku; aroma bibir, payudara, kelamin ….
***
Di
 sebuah malam dengan gigilnya yang membuncahkan segala hasrat, sebelum 
aku menyadari benar tentang kelaminku, kubiarkan lelaki-lelaki itu 
kembali datang; politisi, aktivis, birokrat, penguasa,…. Yang 
berseragam, berdasi, memakai jas dengan lambang garuda, bermobil plat 
merah,…. 
Aku
 kembali membaca jejak-jejak padang tandus yang kukemas sekian lama. 
Mantra-mantra langit telah berujung duka; retak. Aku tak peduli lagi. 
Aku lantas merapikan kelaminku setelah semuanya kembali berlalu. Dan… 
astaga, kembali kutemukan sobekan lelaki terkulai di dalamnya. Bukankah 
lelaki itu yang mengajariku beribadah, di kampung dulu?
…Tuhan berhentilah menciptakan kelamin….
makassar, Juli 2006
malam dimana tiba-tiba aku membenci kelamin… 


0 comment