-->

Friday, February 23, 2018

Tak Ada Ramadhan untuk Kita



Cerpen Idwar Anwar

Pukul 3 dini hari, 1 Ramadhan, suara alarm dari hand phoneku berbunyi nyaring. Bahkan terasa lebih nyaring dari hari-hari sebelumnya, memberontak dan seolah ingin menghancurkan gendang telingaku. Dengan sisa-sisa tenaga yang berhasil kukumpulkan, susah payah aku bangkit dari pembaringan. Tubuhku masih letai, sebab sudah beberapa hari aku terbaring sakit. Entah aku sakit apa. Yang pasti, pikirankulah yang paling berperan penting dalam membuat tubuhku keropos dan benar-benar tak berdaya.

Sesekali kuusap wajahku yang pasti terlihat sangat berantakan. Air mataku yang mengalir begitu banyak menjelang tidur semalam, masih terasa di permukaan pipiku, mengering membentuk kumpulan serbuk bersama tahi mataku. Dan di sudut bibirku, guratan air liur yang mengering masih membekas jelas. Mungkin semalaman mulutku menganga terlalu lama.

Pikiranku masih kosong. Aku tak tahu, apakah hari pertama puasa ini aku bisa melaksanakannya dengan baik. Dengan tubuh yang masih lemah dan pikiran yang teramat kalut, aku takut tak mampu menjalankan kewajibanku dengan baik. Meski aku bukan termasuk muslim yang baik, namun sungguh, dalam hatiku ada cahaya yang ingin kujadikan pedoman dalam hidupku. Walau cahaya itu masih redup, tapi kuyakin suatu saat nanti, cahaya itu akan menjadi penerang dalam hidupku.

Tapi malam ini, aku sungguh tak berdaya. Kerontang tubuhku ternyata terkalahkan oleh gersangnya hatiku. Seperti tak ada kehidupan di sana. Sekuat apapun aku menelisik, mengais-ngais, akan tetapi tetap saja sulit kutemukan semangat kehidupan. Seluruhnya nampak gersang. Tak ada semangat. Semuanya hanya berjalan seperti rutinitas hidup sebagai manusia yang bernafas, makan, minum atau tidur. Kendati semua itu juga terasa hambar.

Angin menjelang subuh terasa kaku, menyerudukkan gigil di tubuhku. Di tepi ranjang, aku masih terduduk kaku. Tatapanku membentur dinding kamar bercat biru bergaris kuning yang mulai banyak terkelupas. Sesekali sorot mataku menjelajah pada tumpukan skripsi kusam, koran-koran tua, dan buku-buku yang tak teratur dan berdebu. Tapi tetap kosong. Kutemukan tatapanku tak bermakna.

”Ah, malam ramadhan yang payah.” Pedih dan berdarah. Kata-kata yang melintas di batinku itu terasa menyayat membuahkan luka yang teramat perih.

Ya, malam ramadhan kali ini bagiku memang terasa payah. Hambar, seperti tanpa makna. Malam yang seharusnya menjadi malam yang indah untuk memulai ramadhan kali ini terasa begitu tandus. Tak ada keceriaan seperti ramadhan tahun lalu. Malam yang seharusnya menjadi malam terakhir sebelum kami memasuki jenjang pernikahan, kini hanya menjadi malam yang tak punya arti lagi. Benar-benar gersang.

Aku dihantui kegamangan. Sebuah ketakutan yang teramat sangat akan kehilangan seseorang yang sangat kucintai datang menyelubungi dengan garangnya dan menjadi tudung pikiran dan batinku. Sebuah ketakutan akan kehilangan seorang perempuan dengan ketulusan cinta yang mengalir deras dalam jiwanya yang telah kucampakkan dengan tanganku sendiri, dengan lidahku sendiri, dengan keberingasan yang aku sendiri tak pernah membayangkannya.

Ah, aku tak tahu harus memulai dari mana ramadhan kali ini. Aku benar-benar tersiksa oleh perbuatanku sendiri. Cinta, ya cinta yang tulus itu telah kusia-siakan begitu saja. Kuterlantarkan dalam dingin dan panas yang membakar. Aku tak pernah hadir sebagai penghangat, peneduh terlebih lagi sebagai pelindung bagi batin dan tubuhnya. Aku hanya mampu menjelma menjadi malapetaka bagi cinta yang tulus itu. Aku hanya hadir bagai harimau kelaparan yang siapa menghabisi mangsanya.

Ya, menghabisi adalah kata yang tepat bagiku, bagi lelaki yang tak tahu malu, tak tahu diuntung. Lelaki dengan keegoisannya yang maha tak terbendung. Lelaki yang hanya tahu menghisap cinta yang teramat tulus itu hingga mengering dan tak pernah mau peduli, apa cinta itu akan menderita, kering dan merana.

Dan ketika cinta itu meninggalkanku, aku pun terperangah. Aku kaku bagai patung-patung purba. Aku terperosok ke dalam jurang yang teramat dalam dan gelap. Aku menemukan diriku hancur berserakan di atas padang yang tandus dengan tanah-tanahnya retak. Terhimpit di sela-sela ilalang yang juga ikut meranggas.

Lalu, awal malam ramadhan ini sungguh-sungguh menjelma menjadi awal kehancuranku. Dinding-dinding kamar menjadi saksi dari sebuah proses keterpurukan jiwa dan tubuhku. Saksi akan sebuah kehancuran seorang pencinta yang tak tahu diri. Seorang pecundang sejati yang terkapar di atas bara yang membakar segenap kesadarannya.

***

”Tak ada ramadhan untuk kita.”
Aku terkapar lemas. Tubuhku lunglai. Tulang-tulangku luruh satu per satu. Kalimat itu telah membuat totalitas kemanusiaanku runtuh. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Segalanya menjelma serpihan… hancur. Waktu yang telah kami rangkai bersama, terlepas satu demi satu, terbang bersama angin. Terasa sulit kutangkap.

”Tapi bukankah kita telah sepakat ramadhan kali ini adalah ramadhan terakhir sebelum kita membangun bahtera rumah tangga? Aku ingin ramadhan kali ini adalah ramadhan terindah yang pernah kita lewati sebelum kita menyatu dalam aliran kehidupan yang benar-benar utuh dan suci.”

”Tapi semua itu hanya masa lalu. Aku tak ingin semuanya kembali terjalin seperti dulu. Aku tak ingin derita yang selama ini kupikul harus kembali kurasakan. Aku sudah tidak yakin dengan hubungan kita. Semuanya seperti berjalan tanpa cinta. Aku begitu pesimis dengan keadaan ini. Kita bisa bersatu atau tidak, aku tak lagi pernah berpikir ke arah itu lagi.”

”Tapi aku tak mampu menerima kenyataan ini. Aku hancur! Aku meradang!”

”Seandainya kau tahu betapa pedihnya hatiku tatkala membaca sms mu yang dengan sepihak memutuskan hubungan ini. Tangisku menderai tanpa mampu kubendung. Aku terkulai. Tubuhku limbung. Namun aku coba bangkit. Aku tak boleh kalah untuk mempertahankan cintaku. Tapi… sungguh aku sepertinya telah putus asa menggali perasaanku untuk dapat kembali seperti dulu, menjalin hubungan denganmu. Aku tak kuasa lagi mempertahankan hubungan ini. Dan ini adalah keputusan yang teramat sulit yang pernah kuambil dalam hidupku.”

”Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu aku telah berbuat kesalahan yang sangat besar selama ini. Dan aku tak ingin kejadian ini adalah kejadian yang terburuk dalam hidupku. Aku tak ingin perpisahan ini akan menjadi penyesalan yang selalu datang menggerogoti sepanjang hidupku.”

“Tapi aku tak ingin hubungan ini terjalin lagi di antara kita. Aku bahkan berdoa pada Tuhan, jika kelak aku harus jatuh cinta lagi, aku harap itu bukan orang yang sama.”

Semuanya kian hancur. Aku tak menemukan lagi seberkas harapan untuk bisa kembali mendapatkan cintanya. Aku tersesat dalam belantara keterpurukan batin yang teramat parah. Tak kuasa kutemukan jalan pulang untuk kembali menimang-nimang dan membelai-belai cinta yang telah kuterlantarkan sendiri. Cinta tulus yang kulemparkan ke ujung kesadaranku dengan tanganku sendiri itu telah menjerit dalam keberingasanku. Dan aku… aku sang eksekutor tak lagi mampu berbuat apa-apa. Aku hanya mampu menatap nanar kepergiannya.

Aku meradang. Hubungan yang begitu lama ini ternyata berakhir sia-sia. Tak ada gaun pernikahan yang selama ini kami rancang dalam benak kami. Tak ada sebuah bahtera yang dipenuhi cinta, tangis dan tawa anak-anak yang merengek untuk didekap yang selama ini kami angan-angankan. Semuanya sirna oleh keegoisanku. Segalanya hancur oleh semua kekasaranku.

Kehancuran macam apa yang harus kuhadapi ini. Aku tak sanggup Tuhan. Sungguh aku tak sanggup menerima kenyataan ini. Jika aku harus bersimpuh di kakinya agar ia tak meninggalkanku, maka aku akan melakukannya dengan segala ikhlas. Aku begitu mencintainya dengan segala kebodohanku untuk mencintai.

Aku sadar, aku memang lelaki yang tak mampu memaknai cinta. Aku binatang yang tak mampu menggunakan akalku dengan baik untuk merumuskan cintanya yang begitu tulus menjadi sebentuk kasih sayang yang mampu membelainya dalam segala suasana. Logika-logikaku berantakan, bahkan aku sendiri tak memahaminya. Jiwaku gersang, akalku kerontang hingga tak mampu memaknai ketulusan cintanya.

***

Malam ramadhan yang payah. Aku yang membeku. Perjalanan ini begitu sunyi untuk kutempuh sendiri. Aku tak kuasa meramu kedirianku menjadi sebentuk harapan dan mimpi-mimpi tentang hari esok bersama perempuan lain. Aku tak kuasa membayangkan semua itu.

Membayangkan hidup dengan perempuan lain mungkin adalah mimpi buruk bagiku. Aku tak ingin sepanjang hidupku kulalui dengan mimpi-mimpi buruk. Aku tak ingin merancang masa depanku bersama perempuan lain. Aku tak sanggup. Aku hanya ingin bersama cintaku. Meski ia telah kusakiti, namun aku bersumpah untuk tidak membuatnya kembali terluka.

Aku tak ingin, tak ada cerita tentang gaun pengantin yang akan disematkan di tubuh kami saat hari bahagia itu tiba. Aku tak mau, tak ada bahtera yang akan membawa kami menuju keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Aku tak kuasa membayangkan jika semua itu tak ada. Aku tak rela jika semuanya menjadi musnah akibat kekejaman yang kurancang dengan kebodohanku dan tanganku sendiri.

Aku sadar, ini adalah kesalahan terbesar yang pernah kulakukan selama hidupku. Tapi aku tak kuasa lagi untuk meyakinkannya untuk kembali membangun cerita baru di antara kami. Dan aku teramat berantakan. Cinta yang tulus itu benar-benar telah terluka. Ia berdarah, terkapar dalam rinai air mata yang tak pernah berhenti menoreh segurat demi segurat perih di totalitas keperempuanannya.

***

”Tak ada ramadhan untuk kita.”
Kalimat itu tak pernah berhenti meraung-raung dalam jiwaku. Kutemukan diriku di awal ramadhan ini bagai seonggok daging yang tak punya roh. Makanan yang terhampar di depanku hanya menjadi hiasan mata. Tak ada keinginan untuk memasukkannya ke dalam tubuhku sebagai penguat ragaku untuk berpuasa besok.

Jiwaku benar-benar telah rapuh. Hampir seluruh semangat hidupku pergi meninggalkanku. Cinta itu. Ya, cinta tulus yang selama ini telah menjadi kekuatan terbesar yang membuatku mampu menghadapi kerasnya kehidupan telah berubah menjadi sesuatu yang tak pernah kubayangkan. Segalanya telah menjadi lain. Kepergiannya membuat hidupku seperti tak bermakna lagi.

Kebodohankulah yang membuatnya harus pergi dan menjelma menjadi kepedihan. Seluruh kebahagiaan yang selama ini kurasakan memang sudah tak ada lagi. Terampas oleh keegoisanku. Aku tak mampu menjaga cinta tulus itu. Menjaganya bagai rahim yang teramat ikhlas membelai setiap janin yang didekapnya.

Dan karena itu, aku malu pada diriku. Aku malu pada Tuhan yang telah memberikan cinta tulus itu, namun tak mampu kujaga dengan baik. Aku malu karena tak mampu membalas ketulusan cinta itu dengan membuatkannya rumah dalam jiwaku. Sebuah rumah indah, sejuk dan damai yang penuh dengan harapan-harapan untuk menjalani hari-hari esok yang ceria dan penuh kebahagiaan.

***

Malam ramadhan yang kerontang. Kutelusuri setiap helainya, kutelisik dengan jemari jiwaku yang rapuh. Namun, tak kutemukan segalanya dalam puing-puing malam ramadhan yang telah berantakan. Aku kalah. Ya, aku kalah.... Aku pecundang yang tak mampu berbuat apa-apa pada cinta yang selama ini telah memberikanku segalanya.

Gigil malam hanya menyisakan ketersiksaan dan penyesalan yang berdarah-darah dalam batinku. Tak ada lagi ramadhan yang indah. Ramadhan yang dipenuhi dengan cinta yang menyejukkan segala yang ada dalam diri kami. Tak ada lagi gema azan yang mengantarkan kami dengan segala keikhlasan beriringan menuju rumah Tuhan.

Semuanya telah sirna. Bahkan dalam anganku pun segalanya telah dipaksa untuk menyingkir dan jangan pernah lagi untuk kembali. Memoriku dipaksa untuk mengosongkan semua kenangan itu. Kenangan tentang sebuah percintaan yang tulus yang telah kunodai dengan kebodohanku.

Tuhan aku tahu, aku begitu kotor dan tak layak lagi meminta pada-Mu. Tapi jika masih diberi kesempatan untuk bermohon, maka hamba mohon, jangan tutup pintu hatinya, dan hati hamba untuk dapat tetap berharap. Ya, mungkin dengan berharap hamba kembali bisa menjadi manusia….

Air mata subuh, 1 September 2008

0 comment