Cerpen Idwar Anwar
Pukul 3 dini 
hari, 1 Ramadhan, suara alarm dari hand phoneku berbunyi nyaring. Bahkan
 terasa lebih nyaring dari hari-hari sebelumnya, memberontak dan seolah 
ingin menghancurkan gendang telingaku. Dengan sisa-sisa tenaga yang 
berhasil kukumpulkan, susah payah aku bangkit dari pembaringan. Tubuhku 
masih letai, sebab sudah beberapa hari aku terbaring sakit. Entah aku 
sakit apa. Yang pasti, pikirankulah yang paling berperan penting dalam 
membuat tubuhku keropos dan benar-benar tak berdaya. 
Sesekali 
kuusap wajahku yang pasti terlihat sangat berantakan. Air mataku yang 
mengalir begitu banyak menjelang tidur semalam, masih terasa di 
permukaan pipiku, mengering membentuk kumpulan serbuk bersama tahi 
mataku. Dan di sudut bibirku, guratan air liur yang mengering masih 
membekas jelas. Mungkin semalaman mulutku menganga terlalu lama.
Pikiranku 
masih kosong. Aku tak tahu, apakah hari pertama puasa ini aku bisa 
melaksanakannya dengan baik. Dengan tubuh yang masih lemah dan pikiran 
yang teramat kalut, aku takut tak mampu menjalankan kewajibanku dengan 
baik. Meski aku bukan termasuk muslim yang baik, namun sungguh, dalam 
hatiku ada cahaya yang ingin kujadikan pedoman dalam hidupku. Walau 
cahaya itu masih redup, tapi kuyakin suatu saat nanti, cahaya itu akan 
menjadi penerang dalam hidupku.
Tapi malam 
ini, aku sungguh tak berdaya. Kerontang tubuhku ternyata terkalahkan 
oleh gersangnya hatiku. Seperti tak ada kehidupan di sana. Sekuat apapun
 aku menelisik, mengais-ngais, akan tetapi tetap saja sulit kutemukan 
semangat kehidupan. Seluruhnya nampak gersang. Tak ada semangat. 
Semuanya hanya berjalan seperti rutinitas hidup sebagai manusia yang 
bernafas, makan, minum atau tidur. Kendati semua itu juga terasa hambar.
Angin 
menjelang subuh terasa kaku, menyerudukkan gigil di tubuhku. Di tepi 
ranjang, aku masih terduduk kaku. Tatapanku membentur dinding kamar 
bercat biru bergaris kuning yang mulai banyak terkelupas. Sesekali sorot
 mataku menjelajah pada tumpukan skripsi kusam, koran-koran tua, dan 
buku-buku yang tak teratur dan berdebu. Tapi tetap kosong. Kutemukan 
tatapanku tak bermakna.
”Ah, malam 
ramadhan yang payah.” Pedih dan berdarah. Kata-kata yang melintas di 
batinku itu terasa menyayat membuahkan luka yang teramat perih.
Ya, malam 
ramadhan kali ini bagiku memang terasa payah. Hambar, seperti tanpa 
makna. Malam yang seharusnya menjadi malam yang indah untuk memulai 
ramadhan kali ini terasa begitu tandus. Tak ada keceriaan seperti 
ramadhan tahun lalu. Malam yang seharusnya menjadi malam terakhir 
sebelum kami memasuki jenjang pernikahan, kini hanya menjadi malam yang 
tak punya arti lagi. Benar-benar gersang.
Aku dihantui 
kegamangan. Sebuah ketakutan yang teramat sangat akan kehilangan 
seseorang yang sangat kucintai datang menyelubungi dengan garangnya dan 
menjadi tudung pikiran dan batinku. Sebuah ketakutan akan kehilangan 
seorang perempuan dengan ketulusan cinta yang mengalir deras dalam 
jiwanya yang telah kucampakkan dengan tanganku sendiri, dengan lidahku 
sendiri, dengan keberingasan yang aku sendiri tak pernah 
membayangkannya. 
Ah, aku tak 
tahu harus memulai dari mana ramadhan kali ini. Aku benar-benar tersiksa
 oleh perbuatanku sendiri. Cinta, ya cinta yang tulus itu telah 
kusia-siakan begitu saja. Kuterlantarkan dalam dingin dan panas yang 
membakar. Aku tak pernah hadir sebagai penghangat, peneduh terlebih lagi
 sebagai pelindung bagi batin dan tubuhnya. Aku hanya mampu menjelma 
menjadi malapetaka bagi cinta yang tulus itu. Aku hanya hadir bagai 
harimau kelaparan yang siapa menghabisi mangsanya. 
Ya, menghabisi
 adalah kata yang tepat bagiku, bagi lelaki yang tak tahu malu, tak tahu
 diuntung. Lelaki dengan keegoisannya yang maha tak terbendung. Lelaki 
yang hanya tahu menghisap cinta yang teramat tulus itu hingga mengering 
dan tak pernah mau peduli, apa cinta itu akan menderita, kering dan 
merana. 
Dan ketika 
cinta itu meninggalkanku, aku pun terperangah. Aku kaku bagai 
patung-patung purba. Aku terperosok ke dalam jurang yang teramat dalam 
dan gelap. Aku menemukan diriku hancur berserakan di atas padang yang 
tandus dengan tanah-tanahnya retak. Terhimpit di sela-sela ilalang yang 
juga ikut meranggas. 
Lalu, awal 
malam ramadhan ini sungguh-sungguh menjelma menjadi awal kehancuranku. 
Dinding-dinding kamar menjadi saksi dari sebuah proses keterpurukan jiwa
 dan tubuhku. Saksi akan sebuah kehancuran seorang pencinta yang tak 
tahu diri. Seorang pecundang sejati yang terkapar di atas bara yang 
membakar segenap kesadarannya. 
***
”Tak ada ramadhan untuk kita.” 
Aku
 terkapar lemas. Tubuhku lunglai. Tulang-tulangku luruh satu per satu. 
Kalimat itu telah membuat totalitas kemanusiaanku runtuh. Aku tak tahu 
lagi harus berbuat apa. Segalanya menjelma serpihan… hancur. Waktu yang 
telah kami rangkai bersama, terlepas satu demi satu, terbang bersama 
angin. Terasa sulit kutangkap.
”Tapi bukankah
 kita telah sepakat ramadhan kali ini adalah ramadhan terakhir sebelum 
kita membangun bahtera rumah tangga? Aku ingin ramadhan kali ini adalah 
ramadhan terindah yang pernah kita lewati sebelum kita menyatu dalam 
aliran kehidupan yang benar-benar utuh dan suci.”
”Tapi semua 
itu hanya masa lalu. Aku tak ingin semuanya kembali terjalin seperti 
dulu. Aku tak ingin derita yang selama ini kupikul harus kembali 
kurasakan. Aku sudah tidak yakin dengan hubungan kita. Semuanya seperti 
berjalan tanpa cinta. Aku begitu pesimis dengan keadaan ini. Kita bisa 
bersatu atau tidak, aku tak lagi pernah berpikir ke arah itu lagi.”
”Tapi aku tak mampu menerima kenyataan ini. Aku hancur! Aku meradang!”
”Seandainya kau tahu betapa pedihnya hatiku tatkala membaca sms
 mu yang dengan sepihak memutuskan hubungan ini. Tangisku menderai tanpa
 mampu kubendung. Aku terkulai. Tubuhku limbung. Namun aku coba bangkit.
 Aku tak boleh kalah untuk mempertahankan cintaku. Tapi… sungguh aku 
sepertinya telah putus asa menggali perasaanku untuk dapat kembali 
seperti dulu, menjalin hubungan denganmu. Aku tak kuasa lagi 
mempertahankan hubungan ini. Dan ini adalah keputusan yang teramat sulit
 yang pernah kuambil dalam hidupku.”
”Aku 
benar-benar minta maaf. Aku tahu aku telah berbuat kesalahan yang sangat
 besar selama ini. Dan aku tak ingin kejadian ini adalah kejadian yang 
terburuk dalam hidupku. Aku tak ingin perpisahan ini akan menjadi 
penyesalan yang selalu datang menggerogoti sepanjang hidupku.”
“Tapi aku tak ingin hubungan ini terjalin lagi di antara kita. Aku bahkan berdoa pada Tuhan, jika kelak aku harus jatuh cinta lagi, aku harap itu bukan orang yang sama.”
Semuanya kian 
hancur. Aku tak menemukan lagi seberkas harapan untuk bisa kembali 
mendapatkan cintanya. Aku tersesat dalam belantara keterpurukan batin 
yang teramat parah. Tak kuasa kutemukan jalan pulang untuk kembali 
menimang-nimang dan membelai-belai cinta yang telah kuterlantarkan 
sendiri. Cinta tulus yang kulemparkan ke ujung kesadaranku dengan 
tanganku sendiri itu telah menjerit dalam keberingasanku. Dan aku… aku sang eksekutor tak lagi mampu berbuat apa-apa. Aku hanya mampu menatap nanar kepergiannya.
Aku meradang. 
Hubungan yang begitu lama ini ternyata berakhir sia-sia. Tak ada gaun 
pernikahan yang selama ini kami rancang dalam benak kami. Tak ada sebuah
 bahtera yang dipenuhi cinta, tangis dan tawa anak-anak yang merengek 
untuk didekap yang selama ini kami angan-angankan. Semuanya sirna oleh 
keegoisanku. Segalanya hancur oleh semua kekasaranku.
Kehancuran 
macam apa yang harus kuhadapi ini. Aku tak sanggup Tuhan. Sungguh aku 
tak sanggup menerima kenyataan ini. Jika aku harus bersimpuh di kakinya 
agar ia tak meninggalkanku, maka aku akan melakukannya dengan segala 
ikhlas. Aku begitu mencintainya dengan segala kebodohanku untuk 
mencintai.
Aku sadar, aku
 memang lelaki yang tak mampu memaknai cinta. Aku binatang yang tak 
mampu menggunakan akalku dengan baik untuk merumuskan cintanya yang 
begitu tulus menjadi sebentuk kasih sayang yang mampu membelainya dalam 
segala suasana. Logika-logikaku berantakan, bahkan aku sendiri tak 
memahaminya. Jiwaku gersang, akalku kerontang hingga tak mampu memaknai 
ketulusan cintanya.
***
Malam ramadhan yang payah. Aku
 yang membeku. Perjalanan ini begitu sunyi untuk kutempuh sendiri. Aku 
tak kuasa meramu kedirianku menjadi sebentuk harapan dan mimpi-mimpi 
tentang hari esok bersama perempuan lain. Aku tak kuasa membayangkan 
semua itu.
Membayangkan hidup dengan perempuan lain mungkin adalah
 mimpi buruk bagiku. Aku tak ingin sepanjang hidupku kulalui dengan 
mimpi-mimpi buruk. Aku tak ingin merancang masa depanku bersama 
perempuan lain. Aku tak sanggup. Aku hanya ingin bersama cintaku. Meski 
ia telah kusakiti, namun aku bersumpah untuk tidak membuatnya kembali 
terluka.
Aku tak ingin,
 tak ada cerita tentang gaun pengantin yang akan disematkan di tubuh 
kami saat hari bahagia itu tiba. Aku tak mau, tak ada bahtera yang akan 
membawa kami menuju keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Aku 
tak kuasa membayangkan jika semua itu tak ada. Aku tak rela jika 
semuanya menjadi musnah akibat kekejaman yang kurancang dengan 
kebodohanku dan tanganku sendiri.
Aku sadar, ini
 adalah kesalahan terbesar yang pernah kulakukan selama hidupku. Tapi 
aku tak kuasa lagi untuk meyakinkannya untuk kembali membangun cerita 
baru di antara kami. Dan aku teramat berantakan. Cinta yang tulus itu 
benar-benar telah terluka. Ia berdarah, terkapar dalam rinai air mata 
yang tak pernah berhenti menoreh segurat demi segurat perih di totalitas
 keperempuanannya.
***
”Tak ada ramadhan untuk kita.”
Kalimat
 itu tak pernah berhenti meraung-raung dalam jiwaku. Kutemukan diriku di
 awal ramadhan ini bagai seonggok daging yang tak punya roh. Makanan 
yang terhampar di depanku hanya menjadi hiasan mata. Tak ada keinginan 
untuk memasukkannya ke dalam tubuhku sebagai penguat ragaku untuk 
berpuasa besok. 
Jiwaku 
benar-benar telah rapuh. Hampir seluruh semangat hidupku pergi 
meninggalkanku. Cinta itu. Ya, cinta tulus yang selama ini telah menjadi
 kekuatan terbesar yang membuatku mampu menghadapi kerasnya kehidupan 
telah berubah menjadi sesuatu yang tak pernah kubayangkan. Segalanya 
telah menjadi lain. Kepergiannya membuat hidupku seperti tak bermakna 
lagi.
Kebodohankulah
 yang membuatnya harus pergi dan menjelma menjadi kepedihan. Seluruh 
kebahagiaan yang selama ini kurasakan memang sudah tak ada lagi. Terampas
 oleh keegoisanku. Aku tak mampu menjaga cinta tulus itu. Menjaganya 
bagai rahim yang teramat ikhlas membelai setiap janin yang didekapnya.
Dan
 karena itu, aku malu pada diriku. Aku malu pada Tuhan yang telah 
memberikan cinta tulus itu, namun tak mampu kujaga dengan baik. Aku malu
 karena tak mampu membalas ketulusan cinta itu dengan membuatkannya 
rumah dalam jiwaku. Sebuah rumah indah, sejuk dan damai yang penuh 
dengan harapan-harapan untuk menjalani hari-hari esok yang ceria dan 
penuh kebahagiaan. 
***
Malam ramadhan yang kerontang. Kutelusuri setiap helainya, kutelisik dengan jemari jiwaku yang rapuh. Namun, tak kutemukan segalanya
 dalam puing-puing malam ramadhan yang telah berantakan. Aku kalah. Ya, 
aku kalah.... Aku pecundang yang tak mampu berbuat apa-apa pada cinta 
yang selama ini telah memberikanku segalanya. 
Gigil malam 
hanya menyisakan ketersiksaan dan penyesalan yang berdarah-darah dalam 
batinku. Tak ada lagi ramadhan yang indah. Ramadhan yang dipenuhi dengan
 cinta yang menyejukkan segala yang ada dalam diri kami. Tak ada lagi 
gema azan yang mengantarkan kami dengan segala keikhlasan beriringan 
menuju rumah Tuhan. 
Semuanya telah
 sirna. Bahkan dalam anganku pun segalanya telah dipaksa untuk 
menyingkir dan jangan pernah lagi untuk kembali. Memoriku dipaksa untuk 
mengosongkan semua kenangan itu. Kenangan tentang sebuah percintaan yang
 tulus yang telah kunodai dengan kebodohanku. 
Tuhan aku tahu, aku begitu kotor dan tak layak lagi meminta pada-Mu. Tapi jika masih diberi kesempatan untuk bermohon, maka hamba mohon,
 jangan tutup pintu hatinya, dan hati hamba untuk dapat tetap berharap. 
Ya, mungkin dengan berharap hamba kembali bisa menjadi manusia….
Air mata subuh, 1 September 2008

0 comment