Cerpen
Idwar Anwar
MATA perempuan itu sembab. Kelopak matanya yang banyak dirambati garis-garis keriput
sesekali mengatup. Perempuan tua itu terisak. Ada pedih yang menggelayuti
perasaannya. Ia menarik nafas setelah berkali-kali perbuatan itu dilakukannya. Ia ingin membuang tumpukan resah di
dadanya yang kian menggunung dan dipenuhi belukar. Tapi teramat sulit. Ia bahkan
kadang tak sanggup menguasai dirinya.
Lalu perlahan perempuan tua itu berdiri. Tatapannya
berusaha menerobos kegelapan melalui jendela yang sedikit terbuka. Namun
kegelapan tak memberikannya sesuatu yang berarti. Seraya menarik nafas panjang
dan membuangnya dengan cepat, ia berdiri lantas melangkah gontai menuju jendela.
Jari-jari lentiknya yang juga telah berkerut perlahan membuka
jendela itu semakin lebar. Suara derit terdengar pelan. Tatapannya kadang redup
menyorot di kegelapan malam. Angin yang berkesiur terasa dingin membentur
tubuhnya yang renta. Resah menggeliati jiwanya. Perempuan dengan larik-larik
duka itu kembali menarik nafas. Terasa berat. Ia benar-benar merasakan teramat banyak
perjalanan hidupnya yang tak mampu ia terjemahkan.
Sorot
matanya masih membentur pekat malam. Daun-daun yang berguguran dirasakannya
berjatuhan dalam dadanya. Perempuan tua itu kembali berusaha memenjara masa
lalunya. Masa lalu bersama anak semata wayang yang begitu dicintainya.
Namun yang
ia rasakan hanyalah kelam yang mengungkung. Perempuan itu tak mampu lari. Ia tersekap begitu saja dan tenggelam di
dalam pusarannya.
“Akhh,” suaranya tersedak. Di
tariknya kembali nafas dalam-dalam. Air mata tiba-tiba memburamkan
pandangannya.
Resah. Sejenak
ia memalingkan wajahnya ke dalam rumah lalu kembali menatap ke luar jendela. Perempuan itu pelan-pelan mengangkat
wajahnya dan menengadah ke langit. Ia
seperti tak ingin air matanya tumpah membasahi garis-garis renta di pipinya.
Pandangannya benar-benar kabur. Cahaya bulan yang mulai terang, bias di
matanya.
“Lisa,
mengapa kau begitu tega pada ibu?” suaranya lemah berusaha menerobos kepekatan
hatinya.
Dibuangnya
keresahan yang mengecambah dalam dadanya. Yang ia rasakan detak jantungnya berpacu,
seperti saling berkejaran dengan derita.
“Lisa,
bukankah ibu adalah bagian dalam dirimu? Tapi mengapa kau tarik dan hempaskan
ibu dalam gulita ini?” Suaranya berat. Begitu sulit mengalir dari bibirnya.
Seperti tertahan di tenggorokan.
Malam
kian kelam. Angin yang menerpa tubuhnya membuatnya gigil. Di kejauhan, suara binatang
malam lamat-lamat berlomba memperdengarkan suaranya. Ada risau. Kenyerian yang panjang. Begitu banyak kegelisahan yang berlumutan.
Ditatapnya
pohon yang berkelindang dalam bola matanya. Daun-daun masih berguguran. Angin berhembus kencang seperti membaca
kegelisahannya. Derit daun jendela yang diterpa angin kembali terdengar.
Perempuan tua itu membalikkan tubuhnya, melangkah ke arah
tempatnya semula duduk. Sebuah bingkai foto yang di beberapa bagiannya nampak retak,
tergeletak di atas meja yang ditutupi kain kusam. Selembar foto buram seorang
perempuan cantik nampak tersenyum dari dalam bingkai foto itu. Manis sekali.
Kembali perempuan itu menarik nafas. Ia menatap foto yang
tergeletak di hadapannya. Selembar foto
perempuan muda yang sedang tersenyum itu tiba-tiba membakar
bola matanya.
“Ahh. Mengapa
senyum yang begitu manis ini membuatku tak mampu merasakan kebahagiaan. Kenapa
senyuman ini hanya menyisakan kesedihan yang teramat menyiksa dalam diriku,”
ucapnya membatin sedikit mendesis.
Tapi perempuan tua itu
tak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Pertanyaan yang terlintas dan terus menerus mematuk-matuk dalam benaknya.
***
Seorang
bayi perempuan mungil lahir dari rahim perempuan itu hampir 20 tahun lalu.
Tangis bayi itu menyemarakkan senyum orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Orang-orang yang sedari tadi menunggu dengan
gelisah kelahiran sang bayi. Perempuan itu tersenyum renyah. Meski tetesan
keringat masih menempel jelas di permukaan wajahnya, tapi tak sanggup menutupi
senyum kebahagiaan yang ia rasakan.
Butiran-butiran keringat yang bermunculan dari
pori-porinya, malah nampak menyegarkan kulit wajahnya yang putih bersih. Dan
tangis sang bayi yang masih berbalut air ketuban menumbuhkan bunga-bunga dalam
dirinya. Ribuan sakit yang ia rasakan seketika saja sirna oleh tangis sang
bayi.
Hampir 20
tahun lalu, bayi itu masih mungil. Hanya tangis yang ia sisakan dalam setiap
tarikan nafasnya. Sang bayi meraung, dan orang-orang yang mendengarkannya hanya
tersenyum. Mereka malah bergembira dan meletakkan mulut sang bayi di telinganya,
membiarkan suara tangis itu merambati labirin telinganya. Lalu mereka tertawa gembira. Bahagia mendapatkan seorang pelanjut
generasi.
Membayangkan
20 tahun lalu, perempuan itu lalu tersenyum. Walau di sudut matanya
segerombolan titik air masih bermunculan. Ia membayangkan sang bayi tumbuh
dengan cerianya. Berlajar berucap. Ia pun tak bosan-bosannya mengajarinya kata-kata.
“Aaa… aaa… aaa… aaa….”
“Maammm.” Suara sang bayi terasa garing di telinganya.
Sebagai seorang ibu, ia terus saja mengajari sang bayi merangkai
kata demi kata menjadi kalimat-kalimat indah. Tak sekalipun ia mengajari
anaknya kata-kata kasar. Lidah sang bayi dibiarkannya merangkak dari satu huruf
ke huruf yang lain. Ia menuntunnya dengan kegembiraan seorang ibu yang telah menyematkan
harapan pada sang bayi. Sebuah harapan yang kelak menjadikannya seorang perempuan
yang akan menyeruput kesempurnaan kebahagiaan sebagai seorang ibu.
Lantas,
salahkah bila semua kebahagian itu ia inginkan dari sebuah pengorbanan? Salahkan
jika ia harus memberikan keseluruhan jiwa raganya untuk menjaga sebuah amanah
yang dilimpahkan oleh Sang Maha Pemberi kepadanya? Sejumlah pertanyaan terus
berkecamuk dalam kepalanya, berlomba-lomba ingin keluar dan mempertegas keberadaannya
sebagai seorang ibu.
Perempuan
itu kembali tersenyum. Ia teringat ketika anaknya mulai belajar merangkak. Dengan penuh kasih sayang ia mengajari
sang anak belajar berdiri. Akhh, kebahagiaan begitu sempurna di depan matanya.
Ia benar-benar merasakan dirinya sebagai perempuan paling bahagia ketika itu,
meski suaminya telah meninggal satu bulan sebelum kelahiran sang bayi.
Membayangkan semua itu, sudut
mata perempuan itu berkilauan. Walau di sudut bibirnya, ia juga mencoba menarik
garis-garis senyum yang dirasakannya hambar. Ia tak pernah membayangkan jika
mulut yang dengan segala keikhlasannya diajarkannya untuk mengucapkan kata-kata,
ternyata mulut itulah yang telah memuntahkan kata-kata kotor kepadanya. Mulut
itulah yang dengan keberingasannya memporak-porandakan segala harapannya
sebagai seorang ibu.
Sungguh,
ia betul-betul tak pernah membayangkan kata yang satu demi satu pernah diejakannya
itu telah menjadi beribu-ribu kata yang kini menyayat-nyayat perasaannya.
Setiap kata yang diajarkannya telah menjelma ribuan tawon yang dengan garang
menyerang dan menusuk-nusuk setiap titik kesadarannya sebagai seorang ibu.
Perempuan itu hanya menangis dan menangis dalam
kebekuannya. Angin yang menyaput wajahnya melalui jendela yang terbuka lebar
sedikit meredam tangisnya, namun menuai gigil. Hanya butiran-butiran bening yang
bertumbuh satu demi satu di sudut matanya. Berkali-kali ia menarik nafas, tapi
sesak begitu sulit ia hempaskan.
Diraihnya foto berbingkai remuk yang masih tergeletak
dihadapannya. Jemarinya yang sedikit gemetar perlahan mengusap wajah dalam bingkai foto itu. Penuh perasaan ia meraba-raba wajah cantik yang tersenyum itu.
“Anakku, kau
sungguh cantik. Tapi wajah ini, mengapa terasa begitu
hambar dalam diriku. Padahal dari rahimkulah semua yang kau miliki bermula di
dunia.”
Dibelainya
bibir mungil yang tersenyum indah itu. Ia menarik nafas panjang. Tak sanggup ia membayangkan bagaimana bibir mungil
ini memuntahkan ribuan nanah di wajahnya. Tak kuasa ia memutar kembali masa
kelam, dimana bibir itu dengan teganya memaku awan gelap di wajahnya.
“Lisa
mengapa bibir mungilmu ini kau gunakan untuk mencaci-maki ibu? Tak sanggup
kubayangkan dari bibir indah ini, ribuan sampah kau semburkan dengan wajah kaku
dan mata melotot. Bukankah sekian lama telah kuajarkan kalimat-kalimat indah? Darimana kau dapatkan kalimat-kalimat
kotor dan menjijikkan itu? Adakah orang yang mengajarimu hanya untuk sekedar
menyakiti hati ibu?”
Dadanya sesak. Bertumpuk-tumpuk karang bertengger di
dadanya. Perempuan itu meradang. Ia membayangkan ketersiksaan yang teramat menyakitkan. Namun ia terus berusaha merenda doa-doa bagi
sang anak. Doa-doa yang diselimuti air mata, darah
dan bahkan bercampur nanah. Doa-doa yang dipanjatkan dengan bibir dan tangan
gemetar. Doa-doa yang dilafalkan dengan lidah yang telah menghitam.
Sungguh,
yang ia bayangkan hanyalah udara renyah dengan anginnya yang jernih memenuhi
rongga dadanya dan mengalir di setiap aliran darahnya. Yang ia bayangkan
hanyalah negeri dimana sungai-sungai mengalirkan air bening. Sungai-sungai yang
merapalkan mantra dimana apapun yang mengalir di dalamnya akan membawa
kebaikan.
Sekian
lama, kepedihan menjadi percintaan baginya. Perempuan itu tak pernah menanam
benci dalam dirinya. Semua doa-doa untuk anaknya mengalir dengan segala keikhlasan.
Ia hanya membayangkan negeri dimana matahari hanya memancarkan cahaya sejuk. Negeri dimana pohon-pohon yang bertangkai
kilat dan berbunga bulan tumbuh menjuntai dari langit.
Ya, yang ia bayangkan hanyalah sebuah negeri dimana ia
dapat menyaksikan keindahan yang belum pernah disaksikannya selama hidup. Ia mendambakan negeri yang tak pernah terlintas dalam
benaknya, namun ia yakin negeri itu adalah negeri yang dipenuhi kedamaian dan
kesejukan. Negeri dimana ia bisa terbang dan tak terpenjara oleh ruang dan
waktu.
Tapi semuanya begitu saja sirna ketika ia diseret, dikerangkeng
dan dipaksa membayangkan sumpah serapah dari bibir mungil sang anak. Ia takut,
apa yang dibayangkannya menjadi sia-sia karena tak mampu membawa sang anak
menjadi manusia yang memiliki totalitas penghambaan yang hakiki.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Ada gelisah yang
kian membelukar di wajahnya. Ada resah yang memaku duka di matanya yang
kemudian kembali menggenangi bola mata itu dengan air bening.
Ia kembali mengusap wajah yang terkapar dalam bingkai
foto di hadapannya. Dengan lembut dielusnya jari lentik anaknya. Sesekali
kesejukan merambat. Namun dengan cepat terhalau kembali oleh rasa perih yang
menyayat; berdarah.
“Jarimu begitu indah anakkku. Tapi sungguh, tak pernah
kubayangkan sekalipun jemari ini bisa berbuat
kejam, bahkan kepada ibumu sendiri. Tak pernah kubayangkan jari inilah yang
meneteskan darah dari tubuh ibu yang telah renta ini,” ucapnya membatin. Tak
sanggup rasanya jika kata-kata itu keluar lagi dari mulutnya.
Tatapannya melekat pada jemari Lisa. Bentuk dan ruas-ruasnya bagai batang-batang bambu yang ujungnya
mengecil. Kuku-kukunya yang bening bagai bercermin di telaga. Tapi jangan suruh
ia membayangkan bagaimana jari-jari itu diajarinya menggenggam. Atau bagaimana
jari-jari itu ia kuatkan agar kelak tidak menjadi lemah dan mampu berguna untuk kebaikan. Jangan suruh perempuan itu untuk membayangkannya, sebab ia
tak kuasa membayangkan jika ternyata jari-jari itulah yang kelak menampar
wajahnya dan menorehkan luka-luka di tubuhnya.
“Anakku, mengapa kau mampu melakukan semua itu pada ibumu.
Bukankah ibu hanya mengajarimu kelembutan?” Batinnya kian tersiksa. Ditariknya
nafas sedalam yang dadanya mampu tampung hingga mau meledak.
Tetapi perempuan itu dipaksa masuk dan menyelami masa
lalunya. Ia lalu membayangkan pula bagaimana ia
membimbing sang anak untuk belajar berjalan. Memorinya memutar kenangan bagaimana
ia menguatkan kaki-kaki anaknya agar mampu menopang tubuhnya dan mulai
melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit.
Namun,
sepertinya dunia ingin mengutuknya. Ia benar-benar tak pernah membayangkan jika
kaki-kaki yang dikuatkannya itulah yang kelak akan mendangnya, hingga
ke ujung langit kesadarannya. Kaki-kaki itulah yang membuatnya sempat lumpuh
karena terjatuh dari tangga setelah kaki-kaki itu menendang tubuhnya dengan keras.
Ya, sekuat yang dulu ia inginkan, tapi bukan untuk menendang tubuhnya; tapi untuk
berjuang hidup.
***
Membayangkan semuanya, membuat perempuan itu menjadi
batu. Ia lebih memilih menjadi batu daripada harus melahirkan seorang anak yang
kelak akan menjadikannya sampah. Namun ia tetaplah ibu, seorang ibu yang
ditakdirkan untuk melahirkan manusia-manusia apapun ke dunia. Melalui
rahimnyalah kehidupan di dunia ini mulai berjalan. Dan karena itulah, ia tetap
memiliki kasih sayang.
Perempuan itu pernah membayangkan anaknya akan datang,
setelah sekian tahun meninggalkannya, dengan senyuman yang terindah. Berlarian
dari ujung halaman dan mendekapnya dengan dekapan seorang anak yang merindukan
belaian dan kasih sayang seorang ibu. Membayangkan anaknya datang dengan linangan
air mata seorang anak yang ingin berbakti kepada ibunya. Tapi semua hanya tinggal
harapan. Anaknya tak pernah muncul. Di ujung halaman, berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan tahun berganti, anak yang didambakannya
tak juga kunjung datang.
Ia menarik nafas. Begitu berat rasanya. Batinnya
meradang, “Anakku, mengapa kau pergi begitu saja tanpa pernah memohon ampun dan
bersujud di kaki ibu? Mengapa kau berlalu bagai badai tanpa pernah menyadari sedikitpun
kesalahan yang kau lakukan. Tapi walau begitu, ibu
tetaplah ibumu yang selalu mencintaimu. Ibu tak pernah
menanam sedikitpun dendam di hati ibu. Meski ibu tahu, sakit yang kau
buat selalu berdarah dan bahkan membusuk. Tapi sekali lagi,
ibumu tetaplah ibumu yang sampai saat ini selalu memaafkan
apapun yang kau perbuat kepada ibu. Dan berdoa semoga rahmat Tuhan senantiasa menghampirimu.”
Kesedihan merambati seluruh kesadarannya. Linangan air
matanya menetes bercipratan di atas foto anaknya. “Sakit itu selalu ibu kubur
dalam-dalam. Luka itu
selalu ibu balut dengan senyum, meski air mata ibu kerap menggenang. Ibu
mencintaimu nak, melebihi cinta ibu kepada diri ibu sendiri. Luka apalagi yang belum kau buat di tubuh ibumu ini? Tapi luka apapun itu, ibu selalu mampu menerimanya. Karena aku
menyayangimu. Ya, karena ibu menyayangimu. Aku
tak ingin membenci sesuatu yang dititipkan Tuhan dalam rahimku, meski
titipan itu sungguh menyiksaku.”
Air mata ibu
mengalir bagai sungai-sungai api…
sungai-sungai surga…..
Makassar-Palopo, 8
Oktober 2009
0 comment