-->

Sunday, February 25, 2018

Cahaya-cahaya di Atas Kepala Ibu

 Cerpen Idwar Anwar

DI LUAR kegelapan mulai menggelayut. Matahari memar di kaki langit menyisakan luka bakar di cakrawala. Gelap bagai kerumunan kelelawar yang begitu garang menghisap sisa darah yang basah pada langit. Cahaya bulan pucat pasi mengerjap-ngerjap di antara dedaunan yang gelisah tertiup angin. Bayangan pepohonan tafakur.
Lalu, di antara pepohonan, suara-suara burung hantu resah. Dan di kejauhan rintihan terdengar menyayat dari mulut orang-orang. Ketika cahaya bulan tertimbun gerimbunan awan  hitam yang  saling bertaut. Ketika cahaya bulan yang melekat di dedaunan perlahan tersesap gelap. Ketika gelisah mengecambah dan malapetaka meretas kedamaian. Sebuah kerinduan bagai gemuruh ombak menerkam di dada.
Jerit ribuan kelelawar yang menjuntai di atas kuburan tua, menyisakan pilu. Di atas kuburan tua,  langit bercerita tentang masa silam.  Suara angin mendesir menyusup memecah di antara jerit suara-suara jangkrik. Lalu diam. Sunyi menjalar.
Burung-burung  tak lagi merentas di kaki langit. Masa lalu menjadi sebuah cerita yang memilukan. Rengsa seolah menjelma keabadian. Cahaya-cahaya berpendar, lalu lenyap meninggalkan gelap. Sisa-sisa kesunyian dan udara dingin meremangkan bulu roma. Angin sesekali berkesiur. Lalu malam menjelma ngarai. Sunyi  menebah resah.

***

Begitulah, setelah kesunyian yang menggelisahkan itu berlalu, cahaya-cahaya berpendar dan melayang di angkasa. Kadang pula menyisakan erang. Perih menyayat. Langit benderang dan angin berdesir lembut. Suara lolongan anjing, kabarkan berita ketiadaan  fana; kematian yang meretas mimpi.
Lamat-lamat suara tahlilan masih terdengar lembut tertiup angin malam yang dingin. Kulihat ibu terisak. Matanya sembab oleh air mata. Dari  bibirnya suara lirih lenguh menyebut namaku. Di depannya jasadku terbujur kaku.
“Lihatlah, ibumu begitu bersedih. Ia benar-benar kehilangan.”
Cahaya yang sejak pertama menemaniku memelukku.
“Ibumu sangat menyayagimu.”
Beberapa tetangga nampak berusaha untuk menenangkan ibu. Desis suara rintihan ibu masih terdengar.  Pilu…. Begitu menyayat. Kudekati tubuh ibu yang masih terisak-isak. Udara yang bertiup membuat tubuhnya menggigil. Aku berusaha mendekapnya.  Kuusap wajah ibu yang mulai berkerut.
“Bu, aku di sini. Di dekatmu. Aku akan menemani ibu.” 
Kucium dahinya. Lembut….
“Ibu, aku di dekatmu.”
Ibu mendadak tersentak. Sejenak ia terdiam. “Aku mencium bau anakku. Ya. Aku mencium baunya. Ia pasti masih ada di dekatku.”
Para tetangga seketika terperanjak. Mereka saling berbisik. Beberapa di antaranya mendekati ibu dan berusaha menenangkannya.
“Anakmu pasti sedang berbahagia.”
Namun ibuku nampak gelisah. Meski tak ada resah.
“Betul ibu, aku sangat berbahagia di sini. Aku seakan bangun dari tidur panjang. Tubuhku seakan terlepas dari penjara dan melayang di angkasa.” Kubelai rambutnya yang telah banyak memutih.
“Tapi aku mencium bau anakku,” jeritnya lalu kembali menangis. Perempuan-perempuan yang berada di sampingnya pun akhirnya juga ikut menangis.
Mereka menganggap ibu sedang menghayal. Aku berusaha menenangkan ibu. Tapi ia tak menyadari kedatanganku. Air matanya masih saja mengalir membasahi pipinya. Sesekali ia menyeka dengan sapu tangan yang disulamnya sebagai hadiah ulang tahunku. Di situ namaku tergurat indah dengan warna biru kesukaanku. Dan di bawah namaku, tertulis dengan benang keemasan, hari, tanggal, bulan dan tahun kelahiranku. Bahkan jam, dan menit tak lupa ibu sulamkan.
Sebuah masa silam yang terukir indah dalam genggamanya. Bibirnya terus memempel di guratan namaku. Aku merasakannya. Sentuhan kasih sayang seorang ibu. Hari-hari di masa purba telah kulewatkan bersamanya. Ada selarit jerit kerinduan yang membuncah di dadanya. Suaranya lirih tak henti-henti menyebut namaku.
Kembali aku mengusap wajahnya. “Ibu bersabarlah. Ini aku, Amin, anakmu. Aku sedang mengusap wajahmu, menyeka bening air matamu dan membelai rambutmu yang masih tergerai panjang.”
Ibu malah semakin menangis. Suaranya kian menggema. “Aku mencium bau anakku. Ia berada di dekatku. Aku benar-benar mencium baunya.”
Aku melayang dan berputar di atas kepala ibu. Lalu cahaya yang menemaniku juga turut berputar mengikuti gerak hatiku.
“Ibu ini aku. Aku di atas kepalamu.... Aku bersama malaikat. Lihatlah cahaya-cahaya di atas kepalamu.”
Aku kembali menciun keningnya. Tenang. Kerinduanku bagai gemuruh badai yang tiba-tiba saja hening tatkala berumah di bening mata ibu.
“Anakku…. Aku mencium baunya. Ia berada di dekatku,” jeritnya dengan air mata yang kian mengalir membasahi pipinya. Disekanya sesekali, lalu kembali menangis.
Perempuan-perempuan yang berada di sampingnya kembali menenangkan ibu. Mereka membawa ibu ke dalam kamar.
“Berbaringlah dulu. Tenangkan perasaanmu.”
Tubuh ibu masih terguncang-guncang oleh tangisnya yang semakin keras.  Kulihat tubuhku masih terbujur kaku terbungkus kain kafan. Seorang lelaki tua, bersila di samping tubuhku. Lalu mulutnya komat-kamit membacakan doa. Suasana hening. Hanya suara isak yang tertahan terdengar sesekali dari ruang bilik ibu.
Setelah semuanya selesai, beberapa orang mengangkat tubuhku dan memindahkannya ke dalam keranda. Lantunan ayat-ayat al-Quran mengiringi. Setelah menyelesaikan semua prosesi, mereka lantas mengangkat keranda dan membawanya ke tempat pemakanan yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalku.
Gundakan tanah pekuburan yang digali nampak masih merah basah. Cahaya bulan pucat terpantul dipermukaannya. Suara jangkrik melengking di tengah kesunyian kuburan tua. Orang-orang bergerombol mengerubungi liang tempat tubuhku akan dibenamkan. Beberapa lelaki turun dan meletakkan tubuhku. Kulihat saudara ibu dan anaknya meletakkan tubuhku. Lantunan doa-doa mengiringi….
Perlahan-lahan tanah merah yang masih basah itu diuruk. Kulihat ibu jongkok di samping gundukan tanah yang panjangnya tak lebih dari setengah meter dan memegang nisanku. Ia masih menangis. Matanya merah dan bengkak.
Lalu sepi…. Orang-orang yang mengantar jasadku, satu persatu meninggalkan kuburan tua yang gelap dan mencekam. Derap langkah kaki-kaki mereka masih terdengar meninggalkan jejak-jejak di tanah yang masih basah. Rinai memang baru saja berlalu. Udara dingin menggigilkan dedaunan yang memantulkan cahaya bulan. Angin berkesiur lembut.
Kuburan tua kembali lengang. Mencekam. Cahaya-cahaya berpendar menuju langit. Ada jeritan yang sesekali menggema meninggalkan kepedihan. Di atas langit, gerimbunan awan bertengger memeluk bulan. Aku melesat menembus kegelapan meninggalkan tubuhku.

***

Di kamar masih terdengar suara ibu yang terisak. Matanya nampak sembab. Di dadanya menempel fotoku yang didekapnya erat-erat.
“Ibumu benar-benar merasa kehilangan.”
Pandanganku masih melekat di wajahnya. Kesedihan menggelayut jelas di raut wajahnya yang telah ditumbuhi garis-garis ketuaan yang kian tegas. Namaku masih menebar dari kedua bibirnya yang bergetar. Lirih... Kepiluan mengendap bersamanya.
Aku ingin kembali menenangkannya. Kudekati tubuhnya yang kian letih. Suara desis lembut terus menebarkan namaku. Lenguh…. Ada getaran kerinduan yang retas menyayat.
“Ibu, ini aku anakmu. Lihatlah cahaya-cahaya di atas kepalamu. Itu aku ibu, anakmu. Aku ingin kau merasakan sentuhanku.” Kugerai rambutnya yang nampak acak-acakan dan membelainya dengan lembut. Ia hanya merasa kedinginan. Seperti ada angin yang menerpa rambutnya. Ia masih tak merasakan kehadiranku. Lalu keningnya kukecup.
“Ibu aku di sini. Aku di atas kepalamu. Lihatlah cahaya-cahaya itu.” Ibu malah melangkah ke arah jendela dan menutupnya. Tubuhnya lunglai dan langkahnya gontai kembali menuju pembaringan. Aku hanya menatapnya. Kerinduan akan belaiannya, kian membuatku gundah.
“Bersabarlah. Ibumu tak akan dapat merasakan kehadiranmu.”
“Aku tak ingin ibu seperti itu. Aku tak ingin ibu menderita karena kepergianku. Sungguh, aku begitu menyayanginya.”
“Tunggulah sampai ia tertidur. Lalu ajaklah ia berbincang dan berikan ketenangan kepadanya.”
Angin malam yang menerobos melalui celah-celah jendela kamar, menyisakan desir dan dingin yang meregangkan pori-pori. Malam bertambah kelam. Cahaya bulan seolah terhisap gerimbunan awan.
Ibu kembali merebahkan tubuhnya. Diraihnya fotoku dan didekapnya begitu lembut. Suara isak masih terdengar lirih dari bibirnya.  Malam dilaluinya dengan terus memeluk fotoku. Sesekali diciuminya dengan penuh kasih sayang. Hingga menjelang subuh, ibu baru tertidur. Foto di dadanya masih melekat. Begitu erat.
“Sekarang panggillah ibumu! Peganglah tangannya! Jangan lepaskan!”
“Ibu, kemarilah. Ini aku, anakmu.”
Ketika ibu melihatku, ia tersentak dan buru-buru kembali bersembunyi. Ia terbangun, nafasnya memburu.
“Aku bertemu anakku. Ya… Amin datang menemuiku,” ucapnya lirih. Nafasnya tersengal.
“Iya, ibu. Aku memang ingin menemuimu. Aku ingin engkau tahu bahwa aku di sini bagitu bahagia.”
Ibuku tak juga mendengar ucapanku. Namun, beberapa saat kemudian, ia kembali tertidur.
Lalu….
“Ibu kemarilah. Ini aku, Amin, anakmu.” Aku kembali memanggilnya. Kutarik tangan ibu dengan lembut. Perlahan, ia pun keluar dari persembunyiannya.
Seperti orang kebingungan, pandangan  ibu mengembara, “Anakku. Mengapa engkau berada di sini?”
“Aku ingin menemani ibu.”
“Kau nampak gagah sekali. Tubuhmu sangat bersih dan wajahmu bercahaya. Kau pasti sangat berbahagia.”  Ibu mendekapku erat-erat, tapi  terasa begitu lembut.
“Aku baik-baik saja. Aku masih hidup. Aku hanya tertidur ibu. Dunia ternyata hanya mimpi dan mati hanyalah jalan menuju kehidupan yang abadi. Lihatlah, bukankah aku masih hidup?”
Kulihat wajah ibu nampak berseri. Kebahagiaan terlukis indah di wajahnya. “Jadi kau masih hidup anakku?”
“Iya, ibu. Aku bahkan semakin sehat. Aku sangat berbahagia di sini. Ayah dan adikku juga bersamaku. Mereka sedang berkumpul di atas sana.”
“Di mana mereka, aku ingin bertemu?” Matanya mengekori arah telunjukku. Yang dilihatnya hanya cahaya.
“Tidak ibu. Ibu tak dapat menemui mereka. Tapi ayah dan adikku dalam keadaan baik. Mereka sangat berbahagia. Sama seperti aku. Itu semua berkat doamu.”
“Anakku, sekarang ibu tinggal sendiri. Ibu merasa kesepian.” Wajah ibu tertunduk. Lesu. Kembali ia menatapku. Dirabahnya wajahku, lalu mengusapnya perlahan penuh kasih sayang.
“Tidak ibu. Aku akan tetap bersama ibu. Aku selalu menemani ibu. Lihatlah nanti cahaya-cahaya di atas kepala ibu. Itu aku, anakmu. Aku selalu berada di dekatmu.”
“Siapa dia?”
“Dia malaikat yang menemaniku.”
“Cepat lepaskan tangan ibumu! Biar ia dapat merasakan kehadiranmu.”
Segera kulepas tangannya. Kulihat ibu, terbangun. Matanya mengerjap—ngerjap, lalu  menatap ke seluruh pojok kamar. Fotoku masih dalam dekapannya. Semakin  erat tangannya melekatkan fotoku di dadanya.
“Anakku masih hidup. Anakku masih hidup.” Ibu lalu menghambur berlari ke luar kamar. Dan fotoku diletakkan di ubun-ubun kepalanya.
“Anakku masih hidup. Anakku masih hidup.” Ia terus berlari menerobos kebisingan suara-suara.
Rambutnya yang terurai acak-acakan terhempas angin pagi. Ia terus saja berlari. Mengabarkan kebahagiaan yang ia rasakan. Kegelisahan tak lagi mengecambah. Malapetaka  tak lagi meretas  kerinduan. Dan rengsa pun tak lagi menjelma keabadian.
Ibu semakin berlari mengejar burung-burung yang merentas di kaki langit.  Lalu menghempaskan kesiur angin yang meninggalkan selarit jerit. Di atas kepalanya, cahaya-cahaya memendar ke langit.
“Anakku masih hidup. Anakku masih hidup.”
Wajah ibu lebuk oleh debu. Langkahnya terus terayun melintas dan menelikung di antara daun-daun yang berjatuhan. Suaranya menggema di ceruk-ceruk lembah.  Lalu menebah resah di cakrawala. Di mulut orang-orang, suara itu menyisakan kesedihan. Namun, ibu terus berlari. Ia terus tertawa. Ada kedamaian yang menggenang.
“Anakku masih hidup. Anakku masih hidup.”  Di atas kepalanya cahaya-cahaya begitu menyilaukan. Aku terus membelai rambutnya yang tergerai angin.
Langkahnya semakin cepat meninggalkan desir kepedihan yang meretas bahagia. Kepedihan bukan lagi keabadian yang mengejawantah. Bajunya yang menjuntai, bergesekan menyusuri tanah menghempaskan debu. Jeritnya terus menggema.
“Anakku masih hidup. Anakku masih hidup. Lihatlah cahaya-cahaya di atas kepalaku…!!! Lihatlah cahaya-cahaya di atas kepalaku…!!!”
Ibu terus berlari mengejar keabadian. Hidupnya hanya untuk keabadian. Ia begitu mencintai keabadian. Sungguh… sebuah kemurnian cinta telah membuatnya lupa akan dunianya. Ia terus berlari. Dan cahaya-cahaya di atas kepalanya adalah garis-garis penegas kerinduan.
Lalu, hening. Angin seketika mati. Daun-daun yang jatuh berhenti laksana manik-manik yang menjuntai dari langit. Langit  kembali bercerita tentang masa silam. Suara lenguh burung-burung hantu tak lagi terdengar. Lolongan anjing yang menyayat menggiring sisa-sisa kepedihan. Di sebuah kuburan, gundukan tanah masih merah basah dengan tiang-tiang nisan yang dingin. (Oke)

Makassar,  5 Muharram 1422 H

0 comment