Cerpen Idwar Anwar
TUBUH Hugh seketika mengejang. Wajahnya
memerah dan raut mukanya menegang seperti sedang menahan
beban yang maha berat. Tubuhnya terkulai. Hening. Istrinya hanya
mampu menatap pasrah. Wanita itu tak mampu menahan keinginan suaminya. Di
sebuah rumah tua yang dibangunnya dua puluh tahun lalu, di pinggiran kota
Michigan, Hugh telah mengakhiri penderitaannya karena penyakit emphysema,
jenis penyakit paru-paru akut, yang telah membuatnya begitu menderita selama
bertahun-tahun.
Dinding kamar bisu. Udara beku, menyaksikan seorang
manusia harus mengakhiri hidupnya dengan tragis. Beberapa lukisan yang
terpajang di dalam kamar, sesekali bergoyang tertimpa angin yang menyusup lewat
jendela. Suara isak tangis istri Hugh menyeruak kesunyian.
Dr. John, sang penolong eksekusi, hanya menatapnya
dengan tabah. Sebenarnya ada kengerian yang terlintas di benaknya. Terlebih
tatkala melihat tubuh Hugh menggelepar dan mengejang. Ia juga sebenarnya begitu
ngeri menyaksikan wajah Hugh yang menegang dengan warna kemerahan. Dan
kebimbangan terkadang menyusupi batinnya saat ia melakukan perkerjaan ini.
Perlahan John melangkah ke tepi pembaringan.
Dilepaskannya masker yang menempel di wajah Hugh perlahan. Ia mulai berkemas.
Bersama asistennya, John membereskan semua peralatan yang digunakanya melakukan
eksekusi terhadap Hugh. Sebuah tabung gas monoksida (CO) yang tidak terlalu
besar dan beberapa peralatan lainnya dimasukkan kembali ke dalam tas yang
cukup besar.
Istri Hugh masih terdiam memandang suaminya yang sudah
tak bernyawa lagi. Air matanya masih berlinang membasahi pipinya yang telah
banyak ditumbuhi keriput. Sesekali ia mengusap air matanya perlahan, lantas menarik
nafas panjang. Dadanya terasa sesak. Ingin ditumpahkannya semua perasaannya di
dada suaminya.
Perlahan ia mendekati suaminya. Langkahnya gontai
menuju ke tepi pembaringan dan duduk di sisinya. Dengan mesra ia mengusap wajah
lelaki tua yang menikahinya 30 tahun lalu itu. Perlahan wanita tua itu
menciumi wajah suaminya yang telah memberikannya seorang anak, yang ketika
Hugh harus mengakhiri hidupnya, sengaja tak diberitahu. Hugh memang tak ingin
anak satu-satunya itu menyaksikan kepergiannya yang menyedihkan.
“Hugh, kau telah menjadi eksekutor bagi dirimu
sendiri. Aku tahu mengapa kau berbuat seperti itu. Tapi, apakah penderitaan
fisik telah meluluhkan keimananmu. Kau orang yang beragama dan mempercayai
Tuhan. Namun, mengapa kau sampai berbuat seperti ini. Aku sebenarnya tak setuju
membiarkanmu berbuat begini, meski aku juga tak kuasa menghalangimu. Terlebih
jika menyaksikan penderitaan yang telah kau alami sejak penyakit jahanam itu
menggerogotui tubuhmu.” Suaranya semakin melemah akibat terbendung oleh
isaknya.
Wanita tua itu perlahan memeluk tubuh Hugh. Tubuhnya
terguncang. Air mata yang mengaliri pipinya menetes membasahi wajah suaminya
yang tanpa ekspresi.
“Anda harus tabah menerima kenyataan ini. Semua ini memang
kemauan Pak Hugh sendiri. Dia ingin melepaskan semua penderitaan yang selama
ini dialaminya. Penyakit itu telah menggerogoti tubuhnya. Ia tak tahan dan
akhirnya mengambil keputusan untuk segera mengakhiri hidupnya,” ucap John
berusaha menenangkan perempuan tua itu.
John melangkah mendekati nyonya Hugh dan perlahan
melepaskan pelukan wanita itu dari tubuh suaminya.
“Nyonya harus merelakan kepergiannya. Ini mungkin
bagian perjalanan yang harus ia lalui.”
Dengan perasaan berat, istri Hugh melepaskan
pelukannya. Perempuan itu duduk mematung. Sorot matanya yang mengabur akibat
air mata masih saja menatap ke arah suaminya. Nafasnya terkadang masih tersengal.
Perlahan John meninggalkan kamar. Istri Hugh
masih berdiri mematung. Seorang pembantu tergopoh-gopoh memasuki kamar dan
terkejut saat menyaksikan majikannya tak bernyawa lagi.
“Kita harus segera menyiapkan prosesi penguburkannya.”
Istri Hugh perlahan menyisih dari tepi ranjang dan
melangkah meninggalkan kamar.
***
Krinnggg. Krinnggg. Krinnggg.
“Halo. Dokter John, ada.”
“Saya sendiri.”
“Dari Jack. Saya sangat membutuhkan bantuan Anda.
Kalau bisa Anda segera datang ke tempat saya di New Jersy.…”
“Okey. Saya akan segera berangkat.”
“Klaak.”
Dokter John meletakkan gagang telepon. Sejenak ia
termenung. Matanya mengembara ke sekitar ruang tamu yang dihiasi berbagai
lukisan. Gelas di tangannya diletakkan di atas meja yang berada di depannya.
Perlahan dia mengheyakkan pantatnya di atas sofa yang empuk. Lama ia terduduk.
Begitu berat rasanya ia harus melakukan lagi sesuatu yang banyak ditentang oleh
orang. Namun, ia seperti harus menolong orang itu. Pikirannya melayang. Tanpa
disadarinya, seorang wanita setengah baya menghampirinya. Ia menatap John
dengan wajah kebingungan.
“Ada apa, Pak?”
“Baru saja saya menerima telepon. Ada seseorang yang
meminta bantuan,” jawabnya sembari mengelah nafas dan membuangnya dengan cepat.
Terasa berat. Diraihnya kembali gelas minuman dan meminumnya. Suara tegukan
terdengar jelas.
Wajah istrinya seketika berubah murung. Ia sebenarnya begitu
berat melepas suaminya untuk melakukan pekerjaan yang sangat bertentangan
dengan nuraninya itu. Ia tak ingin suaminya menjadi algojo bagi orang lain. Sudah
berulang kali ia memberikan masukan kepada John. Namun, berulang kali pula, ia
mendapatkan begitu banyak alasan.
John menatap istrinya. Perempuan itu hanya terdiam. Ia
tahu gejolak batin suaminya. Namun, ia juga tahu suaminya tak akan bisa menolak.
Karena tak mampu lagi berkata apa-apa, dengan wajah cemberut, perempua itu pun
meninggalkan John yang masih terpaku.
John bangkit dari duduknya. Ia meraih gagang telepon
dan menghubungi dua asistennya. Tak lama berselang dua orang berpakaian
putih-putih memasuki rumah dengan menenteng beberapa tas. Setelah berkemas,
mereka lalu melangkah ke luar menuju tempat mobil John diparkir. Sebuah mobil
BMW kelabu metalik pun meluncur ke luar kota. Istri John hanya memandangi
suami bersama dua asistennya meninggalkan rumah. Sesak begitu terasa di
dadanya.
***
Kota New Jersey masih gelap. Lampu-lampu jalan seakan
berlomba memendarkan cahayanya menerangi kebisingan kota yang masih ramai
dengan kendaraan dan lalu-lalang orang-orang dengan kesibukannya masing-masing.
Angin kencang bertiup menggoyangkan pohon-pohon yang tumbuh di tepi jalan.
Kendaraan John melaju perlahan menuju rumah Jack di
pinggiran kota New Jersey. Di depan sebuah rumah yang cukup besar, perlahan
mobil itu berhenti. Di halamannya nampak dua buah mobil terparkir rapi. Setelah
memarkir mobilnya di belakang kedua mobil tersebut, John dan kedua asistennya
melangkah menyusuri halaman yang cukup luas dan langsung masuk ke dalam
rumah.
“Halo. Saya Dr. John. Apa kabar.”
“Baik. Silahkan masuk.”
“Mr. Jack ada.”
“Tuan sedang menunggu di kamar. Silahkan, mari saya
antar.”
Dengan cepat mereka melangkah memasuki kamar yang
terletak di pojok ruang tamu. Sebuah ruangan yang cukup besar. Di dindingnya
hiasan lukisan tergantung rapi. Bunga-bunga dengan berbagai warna terletak di
atas dua buah meja, memberikan rasa sejuk orang yang memandangnya. Di atas
pembaringan, Jack terkulai ditemani istrinya. Wajahnya sedikit pucat memandang
kedatangan Dr John yang berjalan menghampirinya. Namun ia tetap berusaha
tersenyum. Begitu berat.
“Selamat malam, Mr Jack. Saya Dr John.”
“Selamat malam.” Mr. Jack berusaha bangkit dan
bersandar di tepi pembaringan. Tapi tidak bisa. Ia merasa seluruh tubuhnya remuk.
“Boleh saya lihat data-data medisnya...?”
John perlahan mengambil beberapa berkas yang
disodorkan padanya. Ia lantas mengamati dengan seksama. Cukup lama. Perlahan ia
mengangguk-angguk.
“Anda benar-benar membutuhkan pertolongan?”
“Ya. Saya sudah tak tahan dengan penyakit ini.”
“Tapi apakah, Anda tidak pernah mencoba cara
pengobatan lain?”
“Saya sudah mencoba berbagai terapi dan obat-obatan.
Dan untuk dioperasi pun sudah tak mungkin. Kata dokter, penyakit ini sudah tak
mungkin lagi diobati secara medis.”
“Tapi, apakah Anda sudah yakin dengan jalan yang Anda
akan tempuh saat ini. Atau masih ada pertimbangan lain. Bagaimana dengan istri
anda?”
“Saya sudah pasrah. Saya yakin inilah jalan
satu-satunya untuk lepas dari penyakit ini.”
“Bisa kita mulai sekarang?”
“Saya sudah siap, silahkan.”
“Silahkan berbaring!”
Jack perlahan merebahkan tubuhnya. Dr John
mengeluarkan tabung gas Karbon Monoksida (CO) dan masker yang berada di
tas yang dibawa kedua asistennya. Ia mendekati Jack dan memasang masker itu ke
wajahnya.
“Anda benar-benar sudah siap? Berdoalah.”
“Ya. Saya sudah siap.”
Perlahan-lahan Dr John memasang masker yang pipanya
tersambung langsung dengan tabung gas karbon monoksida dan klep untuk
membuka-tutup aliran gas ke wajah Jack. Tangan Jack perlahan memegang klep
tabung dan membuka aliran gas. Tubuhnya
menegang dan wajahnya berubah kemerah-merahan. Nafasnya mulai tersengal-sengal.
Namun, beberapa saat kemudian ia meronta dan berusaha melepas masker di
wajahnya. Tanpa sengaja, Jack memutar klep tutup aliran gas dan juga berhasil
membuka masker yang menutupi wajahnya. Nafasnya tersegal-sengal.
“Kenapa? Anda belum siap?” John menatap wajah
Jack.
Istrinya memeluk tubuh Jack yang semakin lemah.
“Sudahlah, Pak. Hentikan perbuatan ini. Aku tidak tega
melihatmu seperti ini.” Ia melingkarkan tangannya ke tubuh lelaki yang telah
kehilangan harapan hidup itu.
Mata Jack menerawan ke langit-langit kamar.
”Aku harus melakukannya.”
Jack kembali mengambil masker dan memasang sendiri ke
wajahnya. Perlahan ia membuka klep tabung. Tubuhnya kembali menegang. Nafasnya
kembali tersengal-sengal. Raut wajahnya merah darah dan matanya yang melotot.
Tangannya berusaha membuka masker, tapi tak bisa. Tenaganya telah habis.
Akhirnya masker baru dapat terlepas dengan bantuan Dr John. Namun, ia sudah
tidak sadarkan diri dan segera dilarikan ke rumah sakit. Sayang sebelum sampai
di rumah sakit, nyawanya tak dapat tertolong lagi. Jack telah menghembuskan
nafas terakhirnya.
Di atas mobil ambulance yang membawa tubuh Jack, Dr
John menatap kaku tubuh yang tak lagi bernyawa di hadapannya. Perasaannya
tiba-tiba seakan dicabik-cabik rasa kesedihan dan sesekali penyesalan. Perseteruan
nurani begitu hebat mengguncang kesadarannya.
Kamu telah melakukan pembunuhan!
Tidak! Aku hanya menolong dan membantunya keluar
dari penderitaan yang sekian tahun dideritanya.
Tapi kau telah membunuhnya. Kau kejam. Kau
kejam...kejam…kejam…!
Tubuhnya tiba-tiba gemetar. John lalu menutupi
wajahnya dengan kedua tangannya. Di sampingnya, tangis istri Jack meledak di
antara deru mesim dan raungan sirine ambulance yang berlari kencang.
***
“Halo, John. Ini Mike.”
“Hai, Mike. Apa
kabar. Kemana saja selama ini?”
“Aku baru pulang dari Jepang. Aku dengar kau sedang
menghadapi masalah besar. Kau dituduh telah melakukan pembunuhan terhadap
pasienmu.”
“Aku tidak pernah membunuh pasienku. Aku bahkan merasa
telah menolong mereka untuk keluar dari penderitaan yang telah sekian lama
menggerogoti mereka. Semua pasien yang meminta bantuanku, sudah tak mampu lagi
melawan penyakitnya. Mereka rela. Dan tentu sebagai dokter, aku tak
dapat menolak. Aku harus menolong mereka semampuku.”
“Tapi yang kau lakukan itu merupakan tindakan
pembunuhan. Apakah itu diatur dalam undang-undang atau tidak, tidak soal. Yang
pasti itu merupakan tindakan yang tidak berprikemanusiaan.”
“Menurutku justru euthanasia pasif merupakan
tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Kita membiarkan pasien pergi begitu
saja. Menyuruh mereka menjalani penderitaannya sekian lama sampai mereka mati.
Apakah tidak sebaiknya kita mempercepat saja kematiannya, agar pasien tidak
perlu berlama-lama menanggung
penderitaan.”
“Tapi euthanasia pasif masih memberikan peluang
hidup kepada mereka, bahkan terkadang membawa orang pada kesembuhan. Aku tahu
ada beberapa penyakit, seperti kanker akut, bukan hanya membuat
pertahanan tubuh rapuh, tapi juga melemahkan pertahanan mental seseorang. Nah, justru
karena pertahan fisik mereka telah rapuh, maka kewajiban kita bagaimana agar
pertahan mental mereka juga tidak menjadi rapuh.”
“Tapi itu bukan urusan kita. Itu urusan rohaniawan.
Kita hanya mengobati dengan kecanggihan teknologi. Kalau tidak sanggup, apa
lagi yang harus kita lakukan. Membiarkan mereka menderita sekian lama? Rasanya
aku tak sanggup melihat mereka menderita dan mengemis-mengemis kepadaku untuk
segera dibantu mengakhiri hidupnya. Ya, aku merasa begitu berat untuk
menolaknya.”
“Urusan rohaniawan, katamu. Tapi, kita juga dapat
memberikan pertahanan mental itu dengan logika dan argumen kedokteran yang
digabung dengan pengetahuan agama yang kita miliki. Apakah ini tidak lebih
baik. Kita memberikan pencerahan agar jiwa mereka sedikit tenteram. Bisa saja
mereka akan merasa tidak sakit dan siapa tahu mereka benar-benar akan sembuh.
Karena perintah ke otak mereka semuanya positif untuk sembuh. Otomatis DNA dalam
tubuh mereka akan memproduksi enzim yang mungkin saja dapat membunuh
virus atau apa saja yang menyebabkan penyakit mereka. Itukan bisa saja terjadi.
Ini dunia sobat. Segala sesuatunya bisa saja terjadi tanpa kita sadari.”
“Tapi sekali lagi, aku tidak tega....”
“Apakah kau juga tega melihat mereka harus kehilangan
nyawa dengan tubuh menggelepar dan mata yang melotot, seakan takut roh pergi
meninggalkan tubuhnya?” Mike tiba-tiba memotong, “Kau tega menyaksikan
semua itu terjadi di hadapanmu? Aku heran.”
Sejenak John terdiam. Gagang telepon dipindahkanya ke
sebelah kiri telinganya. Ia mengusap wajahnya dan menarik nafas panjang.
“Tapi semua yang kulakukan itu karena rasa kasihan
melihat penderitaan mereka. Aku berpikir, apakah mereka tidak sebaiknya
mengakhiri hidup daripada harus menanggung penderitaan?”
“Ya. Aku tahu. Tapi tindakanmu itu tidak
tepat. Kau telah menjadi algojo bagi orang lain. Mengapa tidak melakukan
konsultasi dengan agamawan yang mengetahui banyak tentang kematian. Setidaknya
dapat memberikan sedikit pencerahan agar jiwa mereka sedikit lebih
tenteram. Malah terkadang karena nasehat tersebut, pasien dapat berjiwa
besar dan bahkan di antaranya terkadang ada yang sembuh.”
“Ah, sudahlah. Kali lain kita dapat mendiskusikan
masalah ini. Ok. Sampai jumpa.”
”Klak.”
John mendengus. Ia masih bimbang.
Menurutnya kematian tidak relevan dengan agama. Mereka toh tidak merasa takut.
Mereka beragama, tapi tak seorang pun yang mau mengkonsultasikan tentang
kematian mereka. Ketika melihat kematian, mereka malah siap menghadapinya.
***
Suatu malam yang dingin. Sesosok bayangan menyelinap
ke dalam kamarnya dan berusaha memasang masker ke wajahnya. John terkejut dan
meronta. Mereka pun bergelut. Namun, dengan sigap bayangan itu membuka
klep tabung gas monoksida yang berada di tangannya.
Seketika John terbangun. Tubuhnya penuh keringat.
Nafasnya tersengal-sengal. Pandangannya menebar ke seluruh sudut kamar. Dan di
keremangan, ia melihat tubuh istrinya terlentang dengan masker di wajahnya.
Sepucuk surat tergeletak di sisinya….
Suamiku…. Kau selalu menolong orang dengan alasan,
karena mereka mengidap penyakit yang membuat mereka sangat menderita.
Tapi, kau tak mampu menolong diriku. Bertahun-tahun aku begitu tersiksa
dan menderita melihat kau menjadi malaikat maut bagi sesamamu. Tapi aku tak perlu
pertolonganmu. Biarlah aku yang menolong diriku sendiri….
Lourens
0 comment