Cerpen Idwar Anwar
Sesosok
 mayat membujur kaku. Pakaiannya bersimbah darah yang hampir mengering. 
Usianya kira-kira 35 tahun. Meski rambutnya awut-awutan dengan mata yang
 membelalak seakan ingin meloncat keluar, namun wajahnya yang tampan 
dengan kulit sawo matang yang bersih, masih nampak jelas. 
Dari
 tampang dan dandanannya, sepertinya ia berasal dari keluarga berada. 
Atau mungkin saja ia sendiri adalah pengusaha muda yang sukses 
menjalankan usaha orang tuanya. Entah. Yang jelas ia sudah tak bernyawa.
 Dua lubang yang cukup besar bertengger di dadanya dan kelaminnya sudah 
tak ada lagi.
Di
 antara kerumunan orang yang menyaksikan mayat yang belum ada seorang 
pun yang merasa mengenalnya itu, seorang wanita muda tiba-tiba muncul 
menerobos dan menjerit histeris. Ia menangis. Tubuhnya 
terguncang-guncang di atas sosok mayat yang mulai dingin.
“Bram,
 siapa yang telah berbuat sekejam ini.” Tangisnya menggema di antara 
kebisuan yang seketika menerjang orang-orang yang mengerubunginya. 
Orang-orang
 semakin kebingungan melihat tingkah wanita yang terus saja memeluk 
mayat itu. Dan beberapa saat kemudian, dari kejauhan terdengar raungan 
sirine kendaraan polisi yang memburu ke arah kerumunan orang-orang yang 
makin banyak.
“Kenapa
 kalian hanya berdiri seperti patung!” hardiknya. “Cepat cari 
pertolongan! Dia harus segera dibawa ke rumah sakit. Nyawanya harus 
diselamatkan.” Ia masih saja memeluk tubuh mayat itu. Tak ada yang 
bergerak. Seperti terhipnotis, orang-orang di sekitarnya malah semakin 
membisu. 
“Bram, ayo bangun! Kamu harus hidup. Kamu tidak boleh meninggalkan aku. Aku sangat mencintaimu.”  Perempuan
 itu mengguncang-guncang tubuh mayat orang yang dipanggilnya Bram. Tak 
ada reaksi. Lelaki itu memang telah mati. Namun, perempuan itu 
sepertinya tak mau tahu. Ia masih tak percaya.
Sejak
 mayat itu ditemukan orang-orang tidak berani mendekat, apalagi 
menyentuhnya. Mereka takut dijadikan saksi apalagi tersangka. Namun, 
diantara kerumunan orang yang membisu dan sesekali juga kasak-kusuk, 
seseorang dengan gesit berlari mencari telepon umum dan memanggil 
polisi. 
Beberapa saat kemudian beberapa orang polisi sudah berada di TKP. Mereka segera memasang police line untuk mengevakuasi mayat yang ditemukan, agar proses pemerikasaan tidak  terganggu
 oleh semakin banyaknya orang yang berjubel. Dan juga agar bukti-bukti 
yang mungkin dapat menjadi pendukung penyelidikan tidak hilang.  
Perempuan itu masih saja memeluk tubuh mayat itu dengan erat. Petugas sedikit mengalami kesulitan, sebab ia tak mau melepaskan  pelukannya.
 Malah perempuan itu semakin erat melingkarkan lengannya. Namun, setelah
 diberi pengertian, akhirnya ia pun perlahan bergeser dan sedikit 
menjauh. 
Setelah
 evakuasi selesai, salah seorang petugas membungkuk di samping mayat dan
 mengeluarkan dompet dari celana kain yang juga terkena bercak darah 
dari dua lubang yang cukup besar menganga di tubuh mayat itu. Pentugas 
memeriksa identitas mayat. Namanya Ibrahim. Ia tinggal di Jalan Jendral 
Sudirman No 21. Pekerjaan Pengusaha.
“Adik mengenal orang ini,” tanya seorang petugas yang menghampiri perempuan yang masih terisak.
“Saya kekasihnya.” 
“Kalau begitu anda nanti ikut ke kantor untuk memberi keterangan.”
“Bbbaik,
 Pak,” ujarnya masih terisak. Tubuhnya masih terguncang karena sesak di 
dada yang sulit dikeluarkannya, selain dengan cara menangis.
Beberapa
 petugas juga memeriksa tempat yang berada di sekitar lokasi mayat 
ditemukan dan menanyai beberapa orang yang masih berada di sekitar 
lokasi. 
“Siapa
 yang pertama melihat mayat ini?” Seorang polisi bertanya pada 
orang-orang yang semakin banyak berkerumun di luar garis kuning.
Namun
 orang-orang itu hanya terdiam. Beberapa di antaranya saling memandang. 
Bahkan ada yang kasak-kusuk, namun tak ada yang menjawab. Mungkin 
mereka takut untuk menjadi saksi. Sebab mungkin mereka pernah mendengar,
 dalam proses pemeriksaan,  ada saksi yang tanpa diduga 
tiba-tiba menjadi tersangka. Belum lagi teror yang biasa dilakukan 
petugas saat memeriksa seseorang, baik dalam kapasitas sebagai saksi 
terlebih jika telah menjadi tersangka. 
Mereka
 masih saja terdiam. Sambil menggeleng-gelengkan kepala. Bahkan semuanya
 seakan berubah menjadi patung yang menatap kosong. Tak ada riak. Dan 
perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu satu per satu. Tak ada 
yang bersuara. Mereka melangkah sambil membenturkan pandangannya ke 
tembok-tembok kokoh gedung-gedung yang menjulang, serta trotoar dan 
pedagang asongan yang kembali berjualan. Seakan tak pernah ada yang 
terjadi. Tak ada kejadian yang berarti hari ini. Pikiran mereka 
melambung jauh. Peristiwa itu hanya berlangsung  beberapa menit. Lalu semuanya seperti biasa. 
Dan
 tak jauh dari tempat itu, di bawah sebuah pohon yang cukup rindang, 
seorang wanita berdiri kaku. Ia tersenyum puas. Sinar matanya berpendar 
penuh kemenangan. 
“Ia telah mati.” Bibirnya menyunggingkan senyum kepuasan. 
Polisi
 masih sibuk dengan penyelidiknya. Orang- orang tidak lagi berkerumun. 
Mereka tidak lagi bernafsu meyaksikan keseriusan —atau mungkin nanti 
akan  menjadi kepuraa-puraan— polisi yang nampak masih 
tekun memeriksa berbagai tempat yang diduga mungkin masih menyisakan 
jejak yang bisa menjadi bukti untuk menemukan pelaku pembunuhan 
tersebut. Tak ada saksi.
Setelah
 rampung, mayat itu kemudian dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi. 
Petugas juga membawa beberapa bukti, termasuk wanita yang mengaku 
sebagai kekasih dari orang yang ditemukan telah menjadi mayat itu untuk 
dimintai keterangan.
Wanita
 yang masih berdiri di bawah pohon itu, perlahan beranjak meninggalkan 
tempat. Langkahnya begitu ringan menuju ke sebuah mobil sedan yang 
diparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Sambil mengenakan kacamata 
hitam yang tergantung di antara kra bajunya, ia memasuki mobil dan 
melarikannya dengan tenang.
***
“Bagaimana, kamu puas dengan cara dan hasil kerjaku?”
“Kamu
 memang hebat! Ia sudah mati. Dendamku terhadapnya telah terbalas. Aku 
puas!” Perempuan itu memeluk erat lelaki yang berbaring di sampingnya.
“Aku
 melakukan semuanya karena aku begitu mencintaimu. Aku tak ingin kamu 
hidup dengan dendam yang terus berkecamuk di dalam batinmu. Aku tak 
ingin, saat kita membina rumah tangga nanti, kamu terus dihantui oleh 
dendammu yang belum juga padam. Aku ingin segera memadamkan semuanya. 
“Tapi
 kamu telah membunuh empat orang. Aku takut nanti kau akan tertangkap.” 
Wanita itu perlahan menciumi wajah lelaki itu dan menjamah tubuhnya yang
 setengah telanjang. Dada yang lebar penuh dengan bulu itu dielusnya. Ia
 perlahan menciumi bibir tebal dengan kumis yang melintang di atas bibir
 lelaki itu. 
“Makanya,
 aku harus membereskan semuanya secara profesional. Semuanya harus 
bersih dari jejak.” Lelaki itu perlahan menatap wajah wanita yang 
tubuhnya hanya dibalut baju tidur yang tipis itu. Lekuk-lekuk tubuhnya 
yang sedang berbaring begitu indah dan menantang. Ia menelan air 
liurnya. Nafasnya mulai memburu. Ia semakin tak dapat menahan gejolak 
keinginannya  untuk merengkuh kenikmatan dari tubuh yang ditawarkan di hadapannya.
Malam
 itu sebuah lakon Adam dan Hawa, berabad yang lalu, kembali terulang. 
Dua tubuh yang saling bergelut dalam merengkuh sebuah kenikmatan telah 
menjelma menjadi sepasang kuda liar yang berlari di tengah padang luas. 
Tubuh mereka bersimbah keringat. Malam terasa berlalu begitu saja. 
Angin dingin yang mencengkram menerobos masuk melalui celah-celah 
jendela kamar hotel yang sedikit terbuka. AC di ruangan itu memang 
sengaja tidak diaktifkan. 
“Sinta,
 aku sangat bahagia malam ini.” Lelaki itu mengusap keringat yang 
merayapi wajah wanita di sampingnya. Ditatapnya wajah ayu perempuan yang
 dikenalnya beberapa bulan lalu itu. 
“Aku
 juga merasa bahagia. Kamu benar-benar hebat. Aku baru menemukan lelaki 
sepertimu.” Didekapnya tubuh lelaki yang masih bersimbah keringat itu. 
“Aku begitu mencintaimu.”
“Aku juga.” Sinta membaringkan kepalanya di dada  lelaki itu. “Kamu masih mau membantuku?”
“Masih adakah kobaran dendam yang tersisa di hatimu yang harus aku padamkan?”
“Ya.
 Ini yang terakhir. Setelah itu kita dapat hidup berbahagia,” ucapnya 
sambil mengeluarkan sebuah foto dari dalam tasnya. “Ini orangnya.”
Lelaki
 itu menatap tajam foto yang diserahkan Sinta kepadanya. Sorot matanya 
begitu tajam, seakan ingin merobek-robek tubuh yang berada di foto itu. 
Tangannya bergetar, giginya bergemeretak keras. “Baiklah, aku akan 
membereskannya!” 
Sinta itu tersenyum. Begitu bahagia. “Kamu memang baik. Aku semakin tak meragukan cintamu.” Lelaki itu juga tersenyum. 
Persekutuan
 setan sedang berjalan. Mereka kembali menghabiskan malam dengan segala 
kenikmatan semu yang ditawarkan iblis. Sentuhan halusnya telah membelai 
dan menggeleparkan kedua tubuh yang polos itu.
***
Dua
 hari kemudian, di televisi dan koran-koran, dihiasi sebuah berita 
pembunuhan pengusaha tempat hiburan. Sesosok mayat ditemukan di pagi 
buta, di sebuah jalan protokol yang saat itu masih sunyi. Kondisi korban
 sangat menyedihkan. Dua lubang yang cukup besar di dada dan kelaminnya 
juga sudah tidak ada.
Dan
 seperti biasanya jika ada sesuatu yang menarik, masyarakat pun 
berkumpul. Mereka berkerumun di sekitar lokasi mayat ditemukan. Tatapan 
mata mereka begitu lelah menyorot ke arah mayat dengan kondisi yang 
menyedihkan itu. Tubuhnya kaku bersimbah darah. Matanya melotot, dengan
 lidah yang menjulur. 
“Sadis!”
 Seorang berseloroh dengan wajah kecut sambil membuang ludahnya ke 
tanah. Beberapa orang di antaranya pun berseloroh seakan mengikuti 
pernyataan itu. Polisi kemudian memasang police line untuk 
mengevakuasi lokasi. Masyarakat kemudian perlahan menjauh. Pembunuhan 
itu memang menyisakan kengerian yang sangat luar biasa. 
Polisi
 kembali disibukkan dengan pembunuhan sadis itu. Benar-benar bersih dan 
profesional. Tak ada tanda-tanda yang ditinggalkan pembunuh. Tak ada 
saksi yang dapat memberikan keterangan yang mungkin dapat sedikit 
memberikan titik terang untuk mengungkap kasus pembunuhan itu. 
Benar-benar bersih. Sidik jari pun tak ada.
“Tak ada tanda-tanda, Pak.” Seorang petugas melapor pada komandannya yang berada tak jauh dari tempat mayat itu membujur. 
“Sudah
 kamu periksa di sekitar tempat ini? Bagaimana dengan orang-orang yang 
ada di sekitar sini, apa sudah kamu tanya juga? Mungkin ada di antara 
mereka yang melihat atau paling tidak mendengar sesuatu yang aneh tadi 
malam.”
“Sudah, Pak. Tapi tak satupun yang dapat kita jadikan bukti untuk segera membongkar kasus ini.” 
“Kita
 harus segera membongkar kasus pembunuhan ini. Saya yakin pelakunya 
sama. Kondisi korban pembunuhan yang lima kali berturut-turut dalam 
waktu sebulan ini, semuanya sama. Dan dua orang belakangan ini yang 
dibunuh adalah pengusaha.” Polisi kembali terus melakukan penyelidikan. 
Mereka seakan kehilangan jejak.
Di
 antara kesibukan polisi di lokasi mayat ditemukan, dari dalam sebuah 
mobil yang kacanya sedikit terbuka, tak jauh dari tempat itu, seorang 
wanita muda menyunggingkan senyum kepuasan. Bibirnya yang mungil dengan 
lipstik merah menantang, merekah indah penuh kemenangan. Sesekali 
giginya yang putih bersih tersingkap.
Tiba-tiba
 wajahnya menegang. “Kalian telah merasakan pembalasanku! Aku puas! 
Kalian dulu telah menjerumuskan aku, hingga harus melakoni pekerjaan 
sebagai Wanita Tuna Susila.” Perlahan ia menutup kaca mobilnya dan 
kendaraan itupun melaju dengan tenang.
***
“Halo.
 Jack, kamu memang hebat. Aku tak percaya kamu melakukannya dengan 
sempurna. Sekarang aku menunggu di kamar 909, di tempat biasa.” Suara 
perempuan terdengar renyah. Aliran darah tiba-tiba mengalir kencang 
membentur dinding keimanan yang kian rapuh. 
Di
 sebuah kamar hotel megah angin tak bertiup dengan baik. Terbentur 
dinding-dinding kaca yang terpancang angkuh. Aroma udara dari air conditioner terasa meremukkan tulang. 
Sinta
 berbaring terlentang. Tatapannya kaku seolah ingin menerobos tebalnya 
langit-langit kamar yang telah banyak menitipkan kenangan indah 
sekaligus segunung dendam dalam jiwanya. Angan perempuan dengan bibir 
yang masih dipenuhi polesan lipstik itu menggelayut di langit 10 tahun 
yang lalu. Dadanya tiba-tiba turun naik dengan cepat. Nafasnya menderu 
mengeluarkan. Dendam telah menguasai dirinya; merasuki setiap aliran 
darahnya; membadai dalam setiap aliran nafasnya. 
“Mengapa
 aku harus mengalami kepahitan ini?” Bibirnya bergetar menahan sesak di 
dada. Tangisnya menggedor-gedor, berontak dari kegamangan masa lalu. Ia 
menarik nafas dalam-dalam berusaha mengeluarkan sesak yang membuat 
jantungnya berdebar kencang.
Tiba-tiba
 suara pintu kamar terbuka terdengar. Seorang lelaki muda muncul. 
Mengenakan celana jeans dengan stelan baju lengan panjang, ia 
menghenyakkan pantatnya di atas pembaringan di samping Sinta yang malam 
itu mengenakan pakaian tidur yang tipis.
Sinta
 langsung meraih tubuh kekar lelaki itu dan mendekapnya mesra. “Malam 
ini kau harus merasakan sesuatu yang sangat istimewa dariku. Aku ingin 
membahagiakamu. Kamu benar-benar hebat.” Suaranya begitu manja membuat 
kelaki-lakian Jack berguncang hebat.
Perlahan Sinta mengambil tali dari atas meja yang berada di samping tempat tidur serta sehelai saputangan berwarna merah jambu.
“Apa yang ingin kau lakukan?” Lelaki itu sedikit terperanjat.
“Aku ingin kau merasakan sesuatu yang lain, yang selama ini tak pernah kau rasakan selama kita berhubungan.”
“Tapi
 mengapa kau mengambil tali dan saputangan.” Mimik lelaki itu masih 
melukiskan guratan tanda tanya besar. Namun, beberapa saat kemudian, ia 
tersenyum. 
“Sebenarnya aku ....” 
“Aku mengerti.” 
Dan
 dengan gerakan lembut, Sinta meraih tubuh Jack yang masih duduk di 
sampingnya dan membaringkannya perlahan. Satu persatu ia mencopot 
pakaian Jack dan mengikat tangan dan kakinya. Setelah itu, saputangan 
yang masih berada di tangannya diikatkannya ke mulut lelaki yang kini 
seperti orang yang tak berdaya itu. 
Perlahan
 ia mendekap tubuh Jack dengan mesra. Tubuhnya merangsek ke atas tubuh 
kekar lelaki yang seakan tak berdaya itu. Gairahnya semakin memuncak. 
Sinta mempermainkan segala yang mampu membuat lelaki itu menggeliat. 
Perempuan itu begitu liar. Jack pun tak mau kalah. Meski kaki, tangan 
dan mulutnya terikat, ia tetap mampu berlari kencang mengikuti gerak 
binal perempuan yang semakin buas seolah ingin memangsanya itu. Keduanya
 terus berpacu menuju segala puncak-puncak kenikmatan, meraih semua 
impian duniawi.
Dan....
 “Ahhh....!” Darah pun muncerat dari tubuh Jack. Saat ia berlari semakin
 cepat dan hampir meraih puncak lembut belaian iblis, dari tangan Sinta,
 tiba-tiba ia melihat sebilah pisau dengan cepat menancap di tubuhnya. 
Ia mengejang dan matanya melotot. Kecepatannya berkurang. Yang ia 
rasakan hanya perih menggerogoti. Nafasnya yang tadi menderu perlahan 
melemah. Debar jantungnya perlahan lalu diam. Ia terkapar dengan dua 
lubang besar di dadanya. Bahkan sesuatu dibanggakannya di depan setiap 
wanita yang dikencaninya, kini berada di genggaman Sinta, perempuan yang
 begitu ia dicintai.
Sinta
 tersenyum puas. Bahkan menjelma menjadi tawa yang menyeringai, 
“Haa....haa....! Kini kau telah merasakan sesuatu yang kumaksud. Dan 
kau memang harus merasakannya. Kau telah mengambil sesuatu yang begitu 
berharga dari tubuh adikku, hingga ia harus bunuh diri.” 
Matanya
 mendelik liar. Senyumnya tiba-tiba begitu menyeramkan. Sebilah pisau 
yang tergenggam di tangannya masih meneteskan darah segar. Suasana malam
 begitu sepi dan mencekam. Tawa perempuan itu seketika menjelma kubur. 
Angin yang berhembus mencengkram dingin yang disusupkannya dari celah 
jendela yang sedikit terbuka tiba-tiba mati. 
“Andi, maafkan aku. Aku tak dapat hidup bersama , apalagi harus membahagiakanmu. Dendam telah mencemari jiwaku. Aku benar-benar tak pantas mendampingimu.”
Dan
 di samping tubuh lelaki yang terkapar bersimbah darah, seorang 
perempuan terbaring mendekap air mata. Di dadanya tertancap tegas 
sebilah pisau dengan kelamin lelaki yang masih tergenggam erat di 
tangannya.
Makassar, 10 Desember 1999

0 comment