Cerpen Idwar Anwar
Melihat
 Roni, anakku, aku ingat Aco. Kelakuan adikku itu terlihat jelas pada 
diri Roni. Aco yang ketika itu berumur 4 tahun, hampir seumur dengan 
Roni sekarang, sangat sayang pada kucing. Ia memiliki kucing piaraan 
yang ayah beri nama si Manis.  Seperti Aco, Roni  juga sangat sayang pada kucing.  
Si
 Manis bukanlah kucing biasa. Dari penampilannya, ia telah menampakkan 
keistimewaan dibanding dengan kucing-kucing lainnya. Tubuhnya besar 
dengan ekor yang panjang. Bulu-bulunya halus dan bersih dengan warna 
yang sangat unik: ungu tua. Dengan warna bulu seperti itu, si Manis 
banyak mendapat perhatian di lingkungan tempat kami tinggal. Warnanya 
memang sangat langka. Bahkan orang-orang yang melihatnya menyangka, 
kalau bulunya di cat.
Ayah
 menemukannya di jalan, ketika hujan deras mengguyur. Saat itu, si Manis
 basah kuyup. Ayah lalu mengambilnya dan membawanya ke rumah. Terus 
terang kami sekeluarga memang sangat takjub dengan warna bulunya. Dan 
akhirnya kami sepakat untuk memeliharanya. Si Manis lalu tumbuh menjadi 
kucing yang periang. Gerak-geriknya sering membuat kami tertawa.
Ada
 peristiwa yang selalu membuatku selalu teringat padanya. Suatu pagi aku
 terbangun karena kaget. Terasa seperti ada yang menjilat-jilat pipiku. 
Ketika mataku kubuka ternyata si Manis berada di atas dadaku sambil 
mengeong-ngeong. Ia seperti ingin membangunkanku. Aku begitu bersyukur, 
karena saat itu aku memang ada janji penting dengan dosen. Hampir saja 
aku ketiduran karena kelelahan mengerjakan tugas kuliah sampai subuh. 
Entahlah mungkin kebetulan. Namun kejadian seperti itu ternyata bukan 
hanya aku yang mengalaminya, bahkan hampir seluruh keluarga kami.
Sejak
 kucing itu dibawa ke rumah, adikku, Aco, selalu menjadi teman 
sepermainannya. Mereka begitu akrab, seperti telah saling memahami. Aco 
memang paling bungsu dalam keluarga kami. Terlebih jarak 10 tahun dengan
 kakaknya yang terakhir membuatnya tak punya teman bermain. Adikku 
memang begitu menyayangi binatang tersebut. Ke mana-mana, ia selalu 
menggendongnya. Saat makan, ketika menonton TV bahkan saat beranjak ke 
pembaringannya, hingga tertidur, mereka selalu bersama. Bulu-bulu si 
Manis kerap dielus dan disisirnya.
Kebersihannya
 juga tak pernah kami abaikan. Dua kali seminggu, si Manis dimandikan. 
Dan untungnya, jika si Manis hendak kencing atau berak, ia selalu 
mencari tempat yang jauh, atau kadang di sudut-sudut halaman belakang 
rumah dan menimbunnya. Tidak heran jika bau tahi kucing tak pernah 
tercium di rumah kami. Mungkin itu juga yang menjadi kelebihannya.
***
Melihat Roni, anakku, aku selalu teringat adikku. Roni  juga
 selalu asyik bermain dengan kucing kesayangannya yang kebetulan juga 
diberi nama si Manis. Aku menemukannya di tong sampah, ketika sedang 
mengais-ngais mencari makanan bersama beberapa kucing lainnya. 
Ketika
 pertama melihatnya, aku terkejut dengan warna bulunya yang persis sama 
dengan bulu si Manis, kucing kami dulu. Bulunya juga ungu tua dengan 
ekor panjang yang selalu bergerak meliuk. Di antara kucing di 
sekitarnya, ia memang begitu mencolok. Aku lalu membawanya ke rumah. 
Kebetulan  aku juga suka memelihara binatang, termasuk kucing. 
Semula istriku marah-marah. 
“Kucing itu membawa penyakit. Apalagi susah mengurus kotorannya. Belum lagi kalau beranak,”  cerocosnya suatu hari. 
Aku
 hanya diam. Biarlah, pikirku, ia juga nanti akan mengerti. Dan terbukti
 kucing yang kubawa, tak melakukan hal-hal yang seperti ditakutkan 
istriku. Jika hendak kencing atau berak, ia selalu pergi jauh dari rumah
 atau ke halaman belakang dan menggali lubang, lalu kembali menimbun 
kotorannya dengan kakinya. Bahkan —suatu ketika aku sempat melihatnya— 
mungkin untuk meyakinkan kembali bahwa bau tahinya sudah tidak tercium, 
binatang itu pun mengendus-endus di sekitar lubang yang sudah 
ditutupnya. Dan mungkin karena belum yakin kalau bau tahinya sudah tidak
 tercium, ia kembali mengais-ngais tanah dan menimbunnya. Si Manis baru 
meninggalkan tempat tersebut, jika telah yakin bau tahi yang ditimbunnya
 sudah tak tercium lagi.  
Akhirnya,
 karena salah satu ketakutannnya tidak terbukti, istriku mulai terbuka 
dan menerima kehadiran si Manis di tengah-tengah keluarga kami. Aku 
merasa senang, terlebih Roni, anakku semata wayang. Ia begitu gembira 
bermain dengan kucing yang kubawa. Mungkin karena belum mempunyai adik, 
padahal usianya menjelang 4 tahun. 
Setiap
 hari Roni hanya bermain dengan kucing barunya. Jika pulang sekolah, ia 
menghabiskan waktunya untuk bermain bersama si Manis. Mainan yang aku 
belikan hampir tak pernah disentuhnya. Ia lebih menikmati jika 
bersenda-gurau dengan si Manis. Keduanya seolah telah saling memahami. 
Seperti saling mengerti tindakan dan ucapan masing-masing. Roni 
bercakap-cakap layaknya sedang bercakap dengan teman-temannya. Dan 
kucing itu pun seakan menjawab dengan ngeongannya.
“Pa,
 Pa, lihat si Manis bermain bola,” teriak Roni begitu riang, suatu hari.
 Kulihat kucing itu sedang menendang-nendang bola dan mengejarnya. Roni 
begitu menikmatinya. Hingga untuk makan pun, istriku cukup kerepotan 
dibuatnya. Ke mana-mana, binatang itu selalu dibawanya. Bahkan ketika 
hendak tidur, keduanya selalu bersama.
***
Melihat
 Roni, anakku, aku selalu ingat, Aco. Setiap hari, ia selalu bermain 
dengan si Manis. Seperti Roni, Aco juga selalu bercerita kepada 
teman-temannya tentang kucingnya. Ia begitu membanggakan si Manis di 
depan siapa saja. Ke mana-mana Aco selalu membawanya. Keduanya begitu 
dekat. Bahkan karena sangat dekatnya, ketika si Manis sakit, Aco selalu 
menangis. Ia rajin merawatnya, memberi makan dan kalau malam diberinya 
selimut. Aco memperlakukan si Manis seperti manusia. 
“Ah, mungkin karena Aco tak punya teman bermain, “ pikirku ketika itu. 
Sering
 pula jika sedang belajar membaca, ia juga terkadang mengajarkan si 
Manis membaca. Aku hanya tersenyum sendiri, jika melihatnya. 
“Dasar anak-anak,” pikirku.
Tapi
 suatu hari, ketika itu bulan November, saat hujan begitu deras 
mengguyur hampir setiap hari, itulah awal hari-hari naas si Manis. Ia 
jatuh sakit. Semula kami menganggap sakitnya biasa saja, sama ketika 
dulu ia sakit. Tapi hari demi hari keadaannya semakin lemah. Dan seperti
 biasa, adikku, sering menangis. Ia bahkan enggan ke sekolah hanya untuk
 menjaga kucing kesayangannya. 
Akhirnya,
 kami sekeluarga jadi bingung. Mau di bawa ke dokter hewan, di kota kami
 jelas tidak ada. Dan yang membuat kami bertambah bingung. Sejak itu, 
Aco selalu nampak murung. Ia juga kerap menangis. Mungkin karena sesuatu
 yang sangat disayanginya mengalami musibah. 
Wajar,
 semua manusia pasti seperti itu, pikirku ketika itu. Ya, meski mungkin 
hanya karena seekor kucing. Tapi kami benar-benar khawatir. Terlebih 
ketika Aco juga mulai sakit-sakitan. Walau ia masih tetap pergi ke 
sekolah, tapi di sekolah, oleh gurunya, ia juga kelihatan tak bergairah.
Kami
 pun semakin khawatir. Seminggu lebih si Manis tak juga kunjung sembuh. 
Malah kondisinya makin kritis. Dan Aco juga demikian, sakitnya semakin 
menjadi-jadi. Hingga hari-hari naas itu pun tiba. Tak satu pun yang 
melihat ketika binatang itu telah tergeletak tak bernyawa lagi. 
Saat  itu,
 ketika baru terbangun, seperti biasanya Aco langsung mencari si Manis 
di tempatnya; sebuah keranjang berlapis kain handuk yang tebal. Tapi ia 
tak menemukannya. Lalu suara jeritnya pun seketika menggema memekakkan 
telinga. Aco terus berteriak memanggil-manggil  si Manis.
“Si Manis mana? Ia tidak ada di tempatnya,” teriaknya.
Kami
 pun kelabakan dibuatnya. Aku, adikku Ririn, dan ibu dengan sigap 
menyusur setiap bagian rumah. Namun kucing itu tak juga ditemukan. 
Lantas kami berpindah ke halaman. Sementara Aco, sambil terisak, ikut 
pula mencari. Akhirnya kami menemukan si Manis tergeletak di halaman 
belakang. Tubuhnya membujur di lubang yang tidak begitu dalam, namun pas
 memuat tubuhnya. Wajahnya nampak tenang. 
“Masih hangat,” ucapku sambil memegang tubuh binatang itu. 
Di
 sekitar lubang, tanah-tanah beserakan. Sepertinya lubang yang ditempati
 si Manis terbaring untuk selamanya itu, baru saja digali. Kami lalu 
berkesimpulan si Manis sendiri yang telah menggali lubang untuk dirinya.
 Bulu kudukku seketika merinding. Ririn dan ibu pun demikian. Kami  tertegun cukup lama. 
“Kucing
 ini begitu pintar. Ia memiliki perasaan yang sangat tajam, hingga 
matinya pun dapat ia ketahui.” Berbagai macam pikiran tentang si Manis 
menggelayut di benakku.
Tapi Aco, sejak si Manis di temukan, tangisnya belum juga berhenti. Diguncang-guncangnya tubuh kucing kesayangannya itu. 
“Ma, kenapa si  Manis tidak bergerak?” 
“Ia sudah mati, sayang.”
“Mati itu apa, Ma?” Isaknya begitu memilukan.
Sejenak ibu terdiam. 
“Mati itu, ya…seperti si Manis ini, tidak bernyawa lagi. Makanya ia tidak dapat bergerak.”
“Tapi mengapa si Manis harus mati, Ma?” Isaknya terus menyeruak di antara kesiur angin yang menggoyangkan dedaunan. 
“Ia telah dipanggil penciptanya.”
“Siapa pencipta si Manis, Ma? 
“Penciptanya, juga yang menciptakan kita.”
“Jadi kita juga akan mati?”
“Iya, sayang.”
“Kalau kita mati nanti akan bertemu si Manis?” Ibu hanya mengangguk. 
“Aku mau bertemu si Manis, Ma.” 
Sejenak
 kami terdiam. Aco terus menangis, meski kami juga tak henti-henti 
membujuknya. Aku juga merasa kehilangan. Terlebih setelah menyaksikan 
kematian si Manis yang menurutku sangat aneh. Kucing itu seperti 
memiliki kekuatan gaib. Seolah begitu dekat dengan penciptanya.
Aku
 lalu bergegas mengambil skop dan memindahkan tubuh si Manis, lalu 
meneruskan menggali lubang yang telah ada. Setelah cukup dalam, tubuhnya
 kembali kumasukkan dan menimbunnya. Setelah selesai, kami pun masuk ke 
dalam rumah. Sedang Aco, masih saja duduk di depan gundukan kuburan si 
Manis. Meski kami telah berusaha mengajaknya masuk, ia tetap tidak mau 
beranjak dari tempatnya.  Hampir satu jam lebih Aco duduk sambil terisak, hingga ayah datang dan berhasil membujuknya. 
Kematian
 si Manis telah beberapa hari berlalu. Namun Aco tetap saja murung. 
Beberapa kucing telah kami bawakan sebagai penggantinya, tapi ia tetap 
tak mau. Aco malah melempari atau memukul kucing-kucing itu. Mainan yang
 kami berikan juga tak membuatnya senang. Ia bahkan enggan ke sekolah 
dan lebih parah lagi, ia sangat sulit untuk makan, meski dengan berbagai
 cara kami membujuknya. Hanya ayah yang terkadang berhasil. 
Tak
 heran, jika tubuhnya semakin kurus dan lemah. Penyakit juga makin mudah
 menggerogotinya. Dan hari-hari berikutnya, penyakit Aco bertambah 
parah. Setiap malam ia selalu mengigau dan memanggil-manggil nama si 
Manis. Kami tak mampu berbuat banyak, kecuali membawanya ke dokter. Oleh
 dokter, kami hanya diberi obat dan menyuruhnya untuk istirahat. 
Karena
 penyakit Aco tak juga kunjung sembuh, bahkan makin parah, ia pun di 
opname di rumah sakit. Namun hal itu tidak berarti sama sekali. Setiap 
malam, ia selalu mengigau memanggil-manggil  nama si Manis. 
“Ma,
 Pa, lihat si Manis sedang bermain-main di sana.” Ia menunjuk ke arah 
pintu rumah sakit. Hampir serentak pandangan kami mengekori arah 
telunjuknya. Kami tak melihat apa-apa. 
“Tidak ada apa-apa, Nak.”  
“Lihat, Ma!  Ia
 sedang melompat-lompat. Ia memanggilku. Aku ingin ke sana. Si Manis 
bersama teman-temannya. Bulu mereka indah berwarna-warni.”
“Si Manis sudah mati, Nak.”
“Tidak, Ma. Ia masih hidup. Lihat!” Tangannya kembali menunjuk ke arah langit-langit kamar rumah sakit, 
“Ia memanggilku. Aku ingin bermain dengannya.” 
Adikku kemudian bangkit. Tapi tubuhnya begitu lemah, hingga ia terhuyung dan kembali terbaring. 
“Aku ingin bermain dengan si Manis.” Ia terus merengek. Wajahnya nampak lesi. Matanya sayu. 
“Aku ingin bermain dengan mereka…. Aku ingin bermain dengan mereka….” Suaranya lenguh. Bibirnya bergetar. 
Kulihat
 wajah ibu begitu sedih. Ia terus mengusap wajah adikku. Ayah yang duduk
 di sampingnya, hanya terdiam. Kami begitu khawatir dengan keadaannya. 
Hingga akhirnya kami kemudian bersepakat untuk memanggil dukun, sebagai 
pengobatan alternatif.
Namun
 nasib buruk segera menimpa. Belum sempat kami memanggil dukun, Tuhan 
lebih dulu memanggilnya. Adikku pun pergi menemui penciptanya. Kesedihan
 menyelimuti. Ketika itu kulihat wajah Aco, nampak tersenyum seperti ada
 sesuatu yang membuatnya begitu senang, sebelum malaikat maut mengambil 
ruhnya. Kudengar ia menyebut nama si Manis. Awan gelap seketika begitu 
beringas menerjang kesadaranku. Sepuluh tahun yang lalu, semua itu 
terjadi.
***
Melihat
 Roni, aku seperti melihat Aco, adikku. Duduk di teras depan rumah, aku 
seakan melihat Aco sedang bermain-main di hadapanku. Dan si Manis, juga 
mengingatkanku pada kucing kesayangannya. Aco dan si Manis seperti 
terlahir kembali. Ya, aku melihatnya pada sosok Roni dan si Manis, 
kucing kesayangannya. Tapi benarkah? Yang pasti, saat melihat Roni, aku 
seakan melihat adikku, sepuluh tahun yang lalu.
Mungkinkah
 keduanya terlahir kembali dan menjelma pada sosok Roni dan kucing 
kesayanganya? Dan, akhh… mungkinkah kejadian sepuluh tahun yang lalu 
itu, juga akan terjadi pada anakku dan si Manis. Seketika aku tersentak.
 Ketakutan dengan cepat menjalari kesadaranku. Bulu kudukku meremang dan
 tubuhku seketika menggigil. 
“Aku harus memisahkan keduanya!!!” (Oke)
Makassar, 12 Januari- 14 April  2001


0 comment