Cerpen Idwar Anwar
Siang
 yang panas. Matahari seakan bertengger di ubun-ubun. Debu-debu 
bertebaran di antara kerumunan orang yang lalu-lalang. Di sebuah 
terminal bus yang  padat, aku duduk termangu menunggu bus yang akan mengantarku pulang. Teriakan para calo tiket dan para kernet  menderu
 di antara sengatan matahari. Angin menerkam menemani panas dan 
daun-daun yang terlepas dari tangkainya. Bukan hanya daun-daun tua yang 
telah mengering. 
Di
 atas bus yang akan mengantarku, orang-orang begitu tergesa-gesa 
menyerobot di antara pintu yang ukurannya jelas tak cukup buat mereka 
untuk melewatinya sekaligus. Dengan sengit mereka menerobos menyikut 
kiri kanan dan saling mendorong untuk lepas dari himpitan. Begitu sesak.
 Peluh bersimbah di sekucur tubuh mereka. Bayangan hari akhir seketika 
meyelinap dalam kesadaranku.
Duduk
 di kursi belakang dekat jendela kaca yang terbuka. Angin dan udara 
panas masih menerkam dengan ganas. Kursi dalam bus telah penuh. Terasa 
begitu sumpek dengan barang-barang bawaan yang bertumpuk. Pandanganku 
menyelinap ke luar melalui jendela bus yang kacanya buram oleh debu yang
 menempel. Orang-orang masih lalu-lalang dengan kesibukan masing-masing.
 Entah apa yang ada dalam kepala mereka. Gambaran Padang Mashar 
terbayang begitu cepat.  
Bus
 perlahan bergerak meninggalkan terminal. Kebisingan menderu di antara 
debu-debu yang bertebaran. Panas matahari menyebar begitu liar dan 
garang. Sebuah perjalanan panjang mulai berjalan. Bus terus melaju, 
menepis angin dan debu yang menerjang. Di sampingku, seorang kakek duduk
 termangu. Terdiam di antara kebisuan di antara kami, di antara 
kebisingan penumpang dan suara mesin yang menyalak-nyalak.
Mata
 lelaki tua itu perlahan terpejam. Nampak garis-garis ketuaan menempel 
di wajahnya yang bercahaya. Entah, aku tak dapat menebak usianya. Tenang
 sekali. Mungkin tertidur. Aku tak ingin mengganggunya, meski aku merasa
 kesepian karena tak ada teman ngobrol. Aku hanya bisa menikmati 
tidurnya yang nampak tanpa beban. 
Bus
 yang aku tumpangi kian jauh meninggalkan stasiun. Para penumpang 
sebagian telah terlelap. Beberapa di antara mereka masih saja asyik 
ngobrol dengan teman duduknya. Angin yang sesekali berhembus menerobos 
melalui celah jendela kaca menerpa deras di wajahku dan memberaikan 
rambutku.
Mataku
 mulai sayu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata yang mulai terasa berat. 
Kantuk terasa mulai menyerang kesadaranku. Aku sedikit memiringkan tubuh
 ke arah jendela. Lelap….
***
Kadang
 ada yang tak dapat dimaknai. Setiap perjalanan manusia selalu saja ada 
yang terlupakan. Langit nampak buram memenjarakan bumi. Dinding bus 
bergetar dan suara mesin mengusap kesadaranku. Sebuah perjalanan panjang
 telah berjalan. Saat tarikan nafas pertama dimulai, sebuah realitas 
hidup tak dapat dihindari.
Aku
 menggeliat. Orang tua di sampingku nampak tersenyum. Aku menatapnya 
dengan mata redup. Ia mulai bicara dan mengajakku ngobrol. Kulihat 
orang-orang di sekitarku semuanya terlelap. Tapi ada sesuatu yang nampak
 lain. Entah, perasaanku berkata demikian.
“Ahh, apa peduliku,”  bisikku
 membatin, lalu membalikkan punggung dan kembali menatap orang tua di 
sampingku. Aku mulai bergairah, mendapat teman ngobrol. Apalagi 
perjalanan yang kutempuh ini, begitu melelahkan. 
“Kakek dari mana dan mau ke mana?” tanyaku  membuka pembicaraan. Ia nampak tersenyum. Giginya yang putih masih berderet rapi, meski usianya menurutku sudah sangat tua.
“Aku
 dari bagian ruang dan waktu. Seperti kamu. Tapi kini aku merasa hampir 
tak ada lagi ruang dan waktu yang mengekangku. Dan aku akan pergi ke 
sebuah tempat yang belum pernah kau lihat, termasuk aku.”
Seketika
 aku terhenyak. Ia masih tersenyum menyembulkan gigi putihnya yang 
berderet rapi. Aku merasa ada yang ganjil di sekitarku. Dan orang tua 
itu? 
“Akhh.  Mungkin orang tua ini memiliki maqam yang sangat tinggi. Hingga kata-katanya begitu penuh arti,” pikirku seraya menenangkan perasaan.
Di
 luar kegelapan mulai menggelayut. Sisa-sisa cahaya yang melekat di 
dedaunan perlahan terhisap oleh gelap. Bayangan pepohonan rebah, lalu 
lanyap. Malam menjelma ngarai. 
Ia masih menatapku dengan senyum yang tetap tersungging. 
“Kamu
 tak perlu heran. Di dunia ini semua pada dasarnya adalah keanehan. Kita
 hidup juga adalah sebuah keanehan. Manusia hanya diberikan sedikit 
kemampuan untuk menyingkap kehidupan.” Ia seperti membaca pikiranku. Aku
 mulai tertarik dengan apa yang ia katakan, meski perasaaku kian resah. 
“Kamu
 pernah melihat seseorang yang nampak sehat, namun beberapa saat 
kemudian telah terbaring di liang lahat?” tanyanya seperti tak butuh 
jawaban, “Itu juga sebuah keanehan. Dan sekali lagi, manusia hanya 
diberikan sedikit ilmu untuk menyingkap semua itu.”
Derit
 suara rem mobil yang diinjak mengejutkan aku. Perlahan bus berhenti. 
Dua orang penumpang setengah baya, seorang lelaki dan seorang perempuan 
-mungkin suami istri-, berdiri dan berjalan begitu pelan menuju pintu 
depan bus yang perlahan terbuka. Angin berhembus kencang meremangkan 
bulu roma. 
Aku
 menatap keduanya. Pakaian mereka perlahan koyak dengan darah yang 
melumuri. Wajah keduanya perlahan-perlahan kian sulit dikenali. 
Kutebarkan pandanganku ke seluruh penumpang bus. Tak  ada ekspresi di wajah mereka. Tenang. Begitu dingin. 
“Apakah  mereka tidak melihat keanehan yang kulihat?” pikirku. Keresahan semakin terasa. 
Kupalingkan
 kembali wajahku ke pintu. Semakin mendekati pintu, darah di tubuh 
mereka kian banyak. Tubuhku merinding. Aku mengucek-ngucek kedua bola 
mataku untuk menyakinkan diri bahwa aku tidak sedang bermimpi. Tapi apa 
yang kulihat masih berlangsung. Di  depan pintu bus, 
seberkas bayangan putih menghampiri dan memegang tangan keduanya. Mereka
 melayang meninggalkan cahaya yang sesap di kegelapan. 
Kembali aku mengucek-ngucek mata, seakan tak percaya. Perlahan aku berpaling pada orang tua di sampingku. Ia masih tersenyum.
“Mereka telah pergi,“ ucapnya seakan mengerti jalan pikiranku.
“Dunia
 bagi mereka adalah mimpi. Kepergian adalah sebuah kedamaian bagi jiwa 
mereka. Mereka telah meninggalkan tubuh yang telah memenjarakan.”
Aku menatapnya dengan tanda tanya besar di kepala. Rasa takut terus menjalar. Ia masih tersenyum. 
“Kamu
 tak perlu takut, semuanya telah ada yang mengatur. Kematian adalah 
bayang-bayang. Kematian adalah kenangan. Kematian adalah kepasrahan. 
Kematian adalah keikhlasan.” Ia menatap lurus ke depan, tanpa memperdulikan aku. 
Kulihat
 di luar malam semakin pekat. Angin dingin menyusup dari cela-cela 
jendela yang sedikit terbuka. Aku menutupnya perlahan dan mengeluarkan 
jaket. Hatiku mulai tenang, meski tanda tanya masih menggelayut di 
benakku.
Perlahan
 laju bus menjadi lamban. Dan derit suara rem yang terinjak kembali 
memekik. Beberapa penumpang berdiri. Di antaranya seorang ibu dengan 
bayi mungil dalam dekapannya. Wajah mereka kaku, berjalan menuju pintu. 
Seberkas cahaya melesat dan membawa mereka. Putih. Suara desut 
tertinggal di kejauhan.   
Aku
 menatap kepergian mereka dengan dingin. Namun tanda tanya begitu banyak
 menggelayut di kepalaku. Kupejamkan mata dan menenangkan perasaan. 
Benar-benar kejadian aneh yang tak dapat kucerna dengan pikiranku. Orang
 tua di sampingku duduk tenang dengan pandangan lurus ke depan, seolah 
menerobos pekatnya  malam. 
Perlahan lelaki tua itu menoleh ke arahku. Wajahnya tenang menyimpan berlaksa misteri.
“Mereka
 telah pergi, tapi jangan katakan mati. Mereka tidak mati. Mereka bangun
 hanya dari mimpi yang selama ini melenakan. Mereka adalah jiwa yang 
tenang, penuh kemenangan,” ucapnya lirih. 
Aku
 menatapnya tenang. Aku berusaha menata hatiku. Menata segala yang 
menggelisahkanku. Lelaki tua itu kembali tersenyum. Teduh sekali. Hampir
 tak ada kegetiran yang berkecamuk dalam jiwanya. Aku ingin bertanya, 
tapi kerongkonganku seakan tersumbat dan lidahku menjadi beku. Aku hanya
 mampu melekatkan pandanganku ke wajahnya, lalu ke luar jendela di mana 
malam begitu membekukan. 
Perjalanan
 terasa makin panjang. Ketakutan kadang menyerangku tiba-tiba. Namun 
pudar begitu saja oleh senyum orang tua yang duduk tenang di sampingku. 
Udara di dalam bus pengap, terasa tak ada kehidupan di dalamnya. Laju 
bus kurasakan semakin kencang. Di luar tak kulihat bulan terlebih 
bintang. Kaca-kaca jendela bus terlihat retak membentuk peta-peta sunyi.
Lalu….
Suara
 derit kembali melengking. Seorang lelaki hampir setengah baya dengan 
pakaian jas dan dasi serta rambut yang disisir licin, berdiri. Wajahnya 
beku. Perlahan ia berjalan menuju pintu. Tubuhnya perlahan koyak 
seberkas cahaya begitu cepat menerjang dan menarik lehernya, lalu gaib, 
menyisakan lengkingan panjang menyayat di kejauhan. Aku terhenyak.
Orang
 tua itu berpaling ke arahku. Tatapannya sejenak membentur kedua bola 
mataku lalu kembali menatap ke depan. Pandangan matanya tenang; teduh.
“Pelatuk-pelatuk
 kematian telah ditarik dan di arahkan ke jantungnya dengan tergesa-gesa
 dan kejam. Kepergian baginya adalah ketersiksaan,” ujarnya tanpa 
menoleh kepadaku. 
“Ia
 mungkin tak tahu atau telah mendustakan bahwa ruang dan waktu bukanlah 
miliknya. Ia tahu awal, tapi ternyata melupakan akhir.” Suaranya 
terdengan parau, namun masih tetap tenang.
Aku
 hanya terdiam. Otakku seperti tak dapat lagi kugunakan untuk mencerna 
apa yang terjadi di hadapanku. Beribu tanda tanya terus menggelayut.
Perjalanan
 kurasakan semakin panjang. Di luar angin terasa begitu membekukan. Dan 
malam masih pekat menggelayut. Satu persatu para penumpang turun. Kadang
 suara jeritan melengking di kejauhan, kadang sunyi mencekam. Ada tangis
 yang menjalar dari kesunyian. Halus, lirih merintih dan menyusur labur 
di malam yang pekat. Lalu diam menyelinap tiba-tiba. Angin berhenti 
berhembus.
Orang
 tua di sampingku terdiam. Wajahnya beku. Kursi-kursi yang berjejer di 
dalam bus perlahan menjadi kusam. Dinding-dinding bus retak-retak dan 
berkarat. Di luar hembusan angin seketika berhenti. Malam begitu 
mencekam. Pepohonan berdiri diam, tegak menatap kaku. 
Kulipat
 kedua tanganku di depan dada. Perasaanku kembali tak menentu. Aku 
merasa dipenjarakan dalam ruang yang begitu sumpek dan mengerikan. 
Gelap. Wajah-wajah yang beku. Angin yang berhenti. Pepohonan yang 
angkuh. Sunyi mencekam. Dan jeritan halus, lirih di kejauhan menyayat; 
perih. 
Orang tua itu masih terdiam. Wajahnya nampak semakin beku. Tak ada ekspresi seperti sebelumnya. Ia menatap kosong ke depan. 
“Kini giliranku. Saatnya aku harus pergi,” ucapnya tanpa menoleh. 
“Aku telah dipanggil.” Suaranya lenguh.
Aku terdiam. Begitu dingin. 
“Kamu belum saatnya pergi.” Semakin tanpa daya. 
Ia lalu bangkit, berjalan tanpa menoleh. Dan seperti  sebelum-sebelumnya, ia pun pergi. Lalu sunyi…. 
Teramat
 dingin. Semuanya seperti mati. Tinggal aku sendiri. Semuanya telah 
pergi. Bahkan sopir yang membawa kami pun tak lagi kulihat. 
Kebingungang
 menggerayangi kesadaranku. Aku benar-benar tak mengerti apa yang telah 
terjadi. Sungguh, aku tak benar-benar mengerti….
***
“Ia sudah sadar…. Lelaki itu sudah siuman….” 
Sayup-sayup
 kudengar suara begitu gaduh. Semuanya tiba-tiba menggema dan 
menggelitik kesadaranku. Perlahan mataku terbuka. Cahaya yang 
menyilaukan memicingkan mataku. 
Meski agar kabur, aku lebih dulu menemukan wajah ibu. Guratan kecemasan sedikit demi sedikit nampak jelas di wajahnya.  Tubuhku terasa sakit. 
“Alhamdulillah, kamu selamat.” 
Tubuh ibu dengan cepat menghambur ke arahku. 
“Hanya kamu satu-satunya yang selamat, nak.” 
Pelukan
 ibu begitu erat. Tubuhku yang berada dalam pelukannya kurasakan seperti
 remuk. Rasa sakit mencengkram. Sesekali aku meringis. 
“Hanya aku…? Maksudnya…?
“Jadi mereka….?”
“Orang tua itu….?” oke
Makassar, 3 Desember 2000


0 comment