Cerpen Idwar Anwar
Usianya
 menjelang 10 tahun. Tapi tidak seperti anak-anak sebayanya, ia belum 
pernah merasakan bagaimana suka dukanya menjadi anak sekolahan. 
Sehari-hari ia harus bergelut dengan debu di persimpangan jalan, di 
bawah traffic light, menjajakkan koran yang diambilnya dari agen koran langganannya setiap hari selepas shalat subuh.
Setiap
 hari ia harus berlarian ke sana-kemari menawarkan koran yang dibawanya 
ke setiap mobil yang berhenti di saat lampu merah menyala. Dan dari 
kaca-kaca mobil yang terbuka, ia mengais sedikit demi sedikit rejeki 
untuk meyambung hidup. Dipikirannya yang berkecamuk hanyalah uang, uang 
dan uang , serta apa yang harus dimakan hari ini untuk mengisi perutnya 
yang kadang hanya diisi sekali sehari.
Namanya
 Dogel. Ia memang masih kecil, namun telah dipaksa oleh keadaan untuk 
bergelut dan larut dengan segala penderitaan. Ia telah mengerjakan 
sesuatu yang sepantasnya dikerjakan oleh orang-orang dewasa. Dunia 
kanak-kanaknya terbang begitu saja dihempas angin bercampur debu dan 
panasnya matahari, di antara kendaraan yang lalu lalang. 
Sejak
 kecil ia dipelihara oleh Daeng Tima, orang yang mulanya sama sekali 
tidak mengenalnya dan akhirnya diyakini sebagai ibu kandungnya. Ibu 
kandungnya membuangnnya di dekat jembatan, di sekitar rel kereta api. 
Padahal saat itu usianya belum cukup sehari.
Daeng
 Tima menemukannya ketika subuh menjelang. Tubuhnya masih merah berlumur
 darah dan air ketuban yang telah mengering. Tali pusarnya belum 
dipotong. Suara tangis yang melengking memekakkan telinga, telah 
menggelitik kesadaran Daeng Tima yang saat itu sedang tertidur di bawah 
kolong jembatan, tak jauh dari tempatnya terbaring dengan selimut kumal 
membalut tubuh.
Nasib
 akhirnya membawanya hidup bersama Daeng Tima yang sehari-harinya 
bekerja sebagai pemulung. Ia belum bersuami. Nasibnya tidak jauh 
tragisnya dengan Dogel yang kini ia rawat seperti anaknya sendiri.
Daeng Tima berasal dari desa yang jauh di pedalaman.  Ia
 tak pernah mengenal bagaimana hiruk pikuk dan kejamnya kehidupan kota, 
terlebih kota metropolitan Jakarta. Namun karena keinginannya yang 
sangat kuat untuk mencari pekerjaan serta tergiur cerita teman-temannya 
tentang indahnya kehidupan kota, ia pun langsung menyetujui ketika 
seseorang yang tidak dikenalnya berniat membawanya  ke kota untuk bekerja pada sebuah perusahaan pabrik.  Dengan
 pikiran yang masih lugu dan tanpa curiga sedikit pun, ia mempercayai 
semua kata-kata Randy, orang yang belakangan baru diketahuinya sebagai 
seorang pencari wanita untuk dijadikan budak nafsu laki-laki hidung 
belang di kota.
Mulanya
 dengan perasaan yang sangat gembira dan penuh harapan, ia melangkah 
meninggalkan desanya yang selama ini mengasuhnya dengan keramahan alam 
dan senyum penduduk desa yang tulus. Sangat lain dengan senyum yang kini
 disaksikannya di kota, tempat yang selama ini disangkanya seperti 
sebuah sorga.
Hingga
 suatu hari nasib buruk datang menimpanya. Belum sempat ia bekerja, 
seperti janji Randy ketika pertama kali membawanya, ia malah diperkosa. 
Randy, orang yang selama ini dipercayainya telah merenggut mahkotanya. 
Sesuatu yang begitu berharga bagi seorang wanita bila ingin dikatakan 
gadis, tanpa merasa berat meyandangnya.
Setelah
 beberapa hari menjadi pemuas nafsu laki-laki bejat, ia pun berhasil 
melarikan diri dari kamar yang selama ini dirasakannya sebagai neraka. 
Di kamar itu, ia harus melayani rata-rata lima lelaki dalam sehari 
semalam. Sebuah kamar dengan sisa-sisa desahan yang terus menggerogoti 
batinnya. Penyesalan begitu menghantui.
Sekian
 lama ia harus terkatung-katung, menyusuri gang-gang sempit, tidur di 
emper-emper toko, di pinggiran rel kereta api, dan di kolong-kolong 
jembatan. Hari-hari dilaluinya dengan penderitaan. Hingga akhirnya ia 
menetap di sebuah gubuk kecil, di bawah kolong jembatan yang luasnya tak
 lebih dari dua kali dua meter. Dindingnya terbuat dari karton. Atapnya 
terbuat dari plastik dengan tinggi yang juga tak lebih dari dua meter. 
Lantainya beralas karton dan kain-kain sarung bekas yang didapatnya dari
 tempat-tempat pembuangan sampah.
Di
 sekelilingnya, bangunan-bangunan megah berdiri kokoh dan begitu angkuh.
 Kendaraan-kendaraan mewah dan orang-orang yang berpakaian modis 
berkeliaran tak henti-hentinya. Sebuah pemandangan yang sangat kontras 
dengan kehidupan yang sedang dijalaninya. Setiap hari orang-orang yang 
lalu lalang menatap dengan pandangan jijik dan terkadang tersenyum 
sinis. 
Beberapa
 lama Daeng Tima hidup sendiri. Sampai akhirnya nasib mempertemukannya 
dengan seorang bayi yang kemudian diberinya nama Dogel. Anak yang masih 
hijau itulah yang selama ini membantunya mencari nafkah untuk menyambung
 hidup.
***
“Koran….Koran. Korannya, Pak”
Perlahan kubuka kaca mobil, “Korannya satu.” 
Disodorkannya
 sebuah Koran harian. “Namamu siapa? Entah, tiba-tiba, tidak seperti 
biasanya ketika membeli Koran di jalan, aku bertanya seperti itu.
“Dogel,
 Pak,” jawabnya dengan mimik yang begitu lugu. Sesekali ia memperbaiki 
letak koran yang menggunung di dadanya. Wajahnya kusut dengan pakaian 
yang sangat kumal. Beberapa noda hitam menghiasi hampir semua bagian 
bajunya. Keringat yang mengucur deras dari pori-porinya, sesekali 
menetes membasahi tumpukan koran yang dibawanya.
“Kamu tinggal di mana?”
“Di
 bawah kolong jembatan sebelah sana, Pak. Dekat rel kereta api di 
sekitar bagunan itu,” ucapnya sembari mengangkat tangan dan 
mengarahkannya ke sebuah gedung yang menjulang tinggi. Sesaat 
pandanganku terseret mengikuti gerakan tangannya.
“Ooo. Ini uangnya.” Kutarik uang lima puluh ribuan dari dompetku dan menyerahkannya.
“Wah, tidak ada uang kembaliannya, Pak.”
“Ambil saja semua. Mungkin ini rejekimu,” ucapku sambil menutup kembali kaca mobil.
“Terima
 kasih, Pak. Semoga Tuhan membalas kebaikan bapak.” Tiba-tiba aku 
terhenyak. Dia menyebut nama Tuhan, sesuatu yang selama ini sangat 
jarang keluar dari mulutku. Sesaat aku memandangnya dari celah kaca 
mobil yang hampir tertutup.
Itulah
 saat pertama aku berjumpa dengan Dogel, seorang penjual koran, yang 
entah, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan penjual koran lainnya.
 Dari sorot matanya yang bening, seperti ada sesuatu yang sedang 
berkecamuk dalam batinnya.
Entah,
 kekuatan apa yang membuatku setiap pagi, saat berangkat kerja, selalu 
ingin melewati jalan itu. Jalan di mana Dogel sehari-hari berlarian di 
antara padatnya kendaraan, sambil menawarkan koran yang bertumpuk di 
dadanya dari satu kendaraan ke kendaraan lain.
Pada
 pertemuan kedua, aku menyempatkan diri menghabiskan separuh malam di 
tempatnya. Sejak saat itu, aku selalu ingin mampir ke tempatnya, 
mendengar keluh kesah Daeng Tima yang selama ini mengasuh Dogel. Atau 
menyaksikan betapa susahnya kehidupan keduanya dan para penghuni kolong 
jembatan yang nasibnya tidak jauh beda.
“Bapakmu
 sekarang dimana?” tanyaku suatu ketika saat menemaninya duduk di tepi 
trotoar. Ketika itu, aku baru saja pulang dari kantor dan melihatnya  sedang istirahat di bawah kolong jembatan sambil menghitung hasil penjualan korannya.
“Ibu
 bilang, bapak sekarang sedang berada di tempat lain. Jauuuuh sekali. 
Dan mungkin akan kembali setelah aku besar,” jawabnya ringan. Meski aku 
tahu ada sesuatu yang sedang menjalari batinnya. 
Tapi,
 ia masih saja asyik menghitung uang yang ada di genggamannya. Sesekali 
tatapannya liar menghalau kendaraan yang lalu lalang di hadapan kami.
“Kamu
 tidak ingin bertemu dengan bapakmu,” tanyaku kembali menghalau 
kecemasan yang entah mengapa tiba-tiba saja datang merambati batinku.
“Sangat
 ingin. Tapi ibu bilang, ayah akan datang kalau aku sudah besar. Dan 
kini aku sudah besar. Bisa mencari uang sendiri. Aku yakin bapak 
sebentar lagi akan datang.” Suaranya masih tetap tenang. Ia begitu yakin
 akan ucapan ibunya. 
Perjumpaan
 itu sepertinya menyisakan sesuatu yang sulit terlupakan. Entah, aku 
sendiri tak tahu. Dan setiap aku melewati jalan itu, di dekat traffic light,
 tempat Dogel setiap hari menjajakkan koran, selalu ada rasa rindu untuk
 melihat wajahnya. Wajah yang selalu melukiskan guratan kebahagiaan. 
Sementara kehidupannya, dalam kacamataku dan mungkin semua orang, 
sebenarnya begitu menderita. Ada kebahagiaan tersendiri bila melihat 
pemilik wajah yang seakan tak merasakan pedihnya penderitaan yang sedang
 ia jalani.
Aku
 teringat pada seseorang yang pernah mengatakan bahwa kebahagiaan dan 
penderitaan itu, hanyalah pengejawantahan dari sebuah sikap diri 
terhadap apa yang kita jalani dalam kehidupan ini. 
Dogel
 mungkin salah satu orang yang yang menjalani dan menghayati penderitaan
 sebagai sebuah kebahagiaan. Atau hanya karena ia masih kecil, hingga 
belum tahu apa itu penderitaan atau kebahagiaan. Sehingga apa yang ia 
kerjakan setiap harinya, dilaluinya hamper tanpa beban.
***
Di
 suatu sore, aku menemukan Dogel sedang duduk di atas pasir putih, di 
sebuah pantai. Ia duduk termenung. Tumpukan Koran di dadanya masih cukup
 banyak. Dengan jemarinya yang mungil, sesekali ia memperbaiki letaknya.
 Lalu tatapannya kembali berkeliaran ke arah orang-orang yang berlarian 
di atas pasir putih.
Saat
 itu matahari mulai bersinar redup dengan warna kemerahan di ujung 
cakrawala. Orang-orang yang berjalan dan berlarian di tepi pantai 
menoreh bayang-bayangnya sendiri di atas pasih putih.
Cukup
 lama aku mengamatinya. Dogel terlihat masih asyik memerhatikan 
orang-orang yang lalu-lalang d depannya. Beberapa saat kemudian, ia 
meletakkan koran yang bertumpuk di dadanya. Ia menggeser duduknya dan 
mengambil sebilah kayu. Perlahan ia menorehkan ujung  kayu itu di atas pasir.
“Kamu sedang menggambar apa?” tanyaku saat berada di dekatnya.
Mendengar suara yang berada di dekatnya, ia perlahan menoleh. Hanya tersenyum. Tak sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya. 
Dogel
 kembali menggerakkan ujung kayu yang berada di tangannya. Perlahan aku 
duduk di sampingnya dan pandanganku mengikuti gerak jemarinya yang 
mungil.
“Aku
 menggambar bapak,” jawabnya tanpa kutanya lagi. Kepalanya terus 
bergoyang mengikuti gerak tangannya. Ia terus saja menggambar, 
menggerak-gerakkan bambu di tangannya tanpa mempedulikan aku dan 
orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya.
Sejenak aku terhenyak. “Tapi mengapa bertanduk dan berkaki empat?”
“Tidak tahu.” Sesekali ia menghapus lendir yang keluar dari hidungnya dengan tangannya. “Aku memang tidak pernah melihatnya.”
Lalu
 ia berdiri, berlari meninggalkan gambarnya yang perlahan merintih dan 
hilang terinjak kaki-kaki yang menyeret langkahnya tak peduli. Dogel 
berlarian ke arah pantai meneriakkan kata-kata yang tak jelas kutangkap 
dengan kedua telingaku. Wajahnya berseri. Tangannya menggapai-gapai ke 
langit sembari meneriakkan kata-kata yang masih ak sanggup kutangkap 
dengan kedua telingaku.
Kulihat
 bayang-bayang Dogel kian memanjang. Bayangan orang-orang yang 
berseliwerang saling berkait, membentuk sekerumunan awan gelap yang 
tiba-tiba saja menerjang benakku. 
Seketika
 anganku menggantung di langit Januari, sepuluh tahun yang lalu. Saat 
itu aku meninggalkan seorang perempuan yang sedang mengandung anakku, 
hasil dari sebuah persekongkolan iblis. 
Akhhh….
Tubuhku
 tiba-tiba bergetar. Wajahku mengeras. Aku merasa menjelma menjadi 
patung yang kian hari semakin bertambah dan memenuhi hingga sudut-sudut 
kota. Aku muncul dari bar-bar, pub-pub, diskotik-diskotik, hotel-hotel, 
taman-taman bunga, rumah-rumah kost bahkan sampai ke desa-desa. Aku 
tumbuh begitu liar memenuhi hajat kebinatangan manusia. 
Dan
 setiap kali Dogel menggambar bapaknya, saat itu pula lahir Dogel-Dogel 
baru. Mereka terus bermunculan dari balik keliaran manusia. Mereka 
adalah hasil persekutuan Adam dan Hawa dari berbagai zaman. Persemaian 
tanpa aturan yang merambahi kehidupan manusia dengan segala sisa-sisa 
kebinatangannya.
Makassar, 8 Oktober 1999


0 comment