-->

Sunday, February 25, 2018

Menggambar Bapak

Cerpen Idwar Anwar

Usianya menjelang 10 tahun. Tapi tidak seperti anak-anak sebayanya, ia belum pernah merasakan bagaimana suka dukanya menjadi anak sekolahan. Sehari-hari ia harus bergelut dengan debu di persimpangan jalan, di bawah traffic light, menjajakkan koran yang diambilnya dari agen koran langganannya setiap hari selepas shalat subuh.
Setiap hari ia harus berlarian ke sana-kemari menawarkan koran yang dibawanya ke setiap mobil yang berhenti di saat lampu merah menyala. Dan dari kaca-kaca mobil yang terbuka, ia mengais sedikit demi sedikit rejeki untuk meyambung hidup. Dipikirannya yang berkecamuk hanyalah uang, uang dan uang , serta apa yang harus dimakan hari ini untuk mengisi perutnya yang kadang hanya diisi sekali sehari.
Namanya Dogel. Ia memang masih kecil, namun telah dipaksa oleh keadaan untuk bergelut dan larut dengan segala penderitaan. Ia telah mengerjakan sesuatu yang sepantasnya dikerjakan oleh orang-orang dewasa. Dunia kanak-kanaknya terbang begitu saja dihempas angin bercampur debu dan panasnya matahari, di antara kendaraan yang lalu lalang.
Sejak kecil ia dipelihara oleh Daeng Tima, orang yang mulanya sama sekali tidak mengenalnya dan akhirnya diyakini sebagai ibu kandungnya. Ibu kandungnya membuangnnya di dekat jembatan, di sekitar rel kereta api. Padahal saat itu usianya belum cukup sehari.
Daeng Tima menemukannya ketika subuh menjelang. Tubuhnya masih merah berlumur darah dan air ketuban yang telah mengering. Tali pusarnya belum dipotong. Suara tangis yang melengking memekakkan telinga, telah menggelitik kesadaran Daeng Tima yang saat itu sedang tertidur di bawah kolong jembatan, tak jauh dari tempatnya terbaring dengan selimut kumal membalut tubuh.
Nasib akhirnya membawanya hidup bersama Daeng Tima yang sehari-harinya bekerja sebagai pemulung. Ia belum bersuami. Nasibnya tidak jauh tragisnya dengan Dogel yang kini ia rawat seperti anaknya sendiri.
Daeng Tima berasal dari desa yang jauh di pedalaman.  Ia tak pernah mengenal bagaimana hiruk pikuk dan kejamnya kehidupan kota, terlebih kota metropolitan Jakarta. Namun karena keinginannya yang sangat kuat untuk mencari pekerjaan serta tergiur cerita teman-temannya tentang indahnya kehidupan kota, ia pun langsung menyetujui ketika seseorang yang tidak dikenalnya berniat membawanya  ke kota untuk bekerja pada sebuah perusahaan pabrik.  Dengan pikiran yang masih lugu dan tanpa curiga sedikit pun, ia mempercayai semua kata-kata Randy, orang yang belakangan baru diketahuinya sebagai seorang pencari wanita untuk dijadikan budak nafsu laki-laki hidung belang di kota.
Mulanya dengan perasaan yang sangat gembira dan penuh harapan, ia melangkah meninggalkan desanya yang selama ini mengasuhnya dengan keramahan alam dan senyum penduduk desa yang tulus. Sangat lain dengan senyum yang kini disaksikannya di kota, tempat yang selama ini disangkanya seperti sebuah sorga.
Hingga suatu hari nasib buruk datang menimpanya. Belum sempat ia bekerja, seperti janji Randy ketika pertama kali membawanya, ia malah diperkosa. Randy, orang yang selama ini dipercayainya telah merenggut mahkotanya. Sesuatu yang begitu berharga bagi seorang wanita bila ingin dikatakan gadis, tanpa merasa berat meyandangnya.
Setelah beberapa hari menjadi pemuas nafsu laki-laki bejat, ia pun berhasil melarikan diri dari kamar yang selama ini dirasakannya sebagai neraka. Di kamar itu, ia harus melayani rata-rata lima lelaki dalam sehari semalam. Sebuah kamar dengan sisa-sisa desahan yang terus menggerogoti batinnya. Penyesalan begitu menghantui.
Sekian lama ia harus terkatung-katung, menyusuri gang-gang sempit, tidur di emper-emper toko, di pinggiran rel kereta api, dan di kolong-kolong jembatan. Hari-hari dilaluinya dengan penderitaan. Hingga akhirnya ia menetap di sebuah gubuk kecil, di bawah kolong jembatan yang luasnya tak lebih dari dua kali dua meter. Dindingnya terbuat dari karton. Atapnya terbuat dari plastik dengan tinggi yang juga tak lebih dari dua meter. Lantainya beralas karton dan kain-kain sarung bekas yang didapatnya dari tempat-tempat pembuangan sampah.
Di sekelilingnya, bangunan-bangunan megah berdiri kokoh dan begitu angkuh. Kendaraan-kendaraan mewah dan orang-orang yang berpakaian modis berkeliaran tak henti-hentinya. Sebuah pemandangan yang sangat kontras dengan kehidupan yang sedang dijalaninya. Setiap hari orang-orang yang lalu lalang menatap dengan pandangan jijik dan terkadang tersenyum sinis.
Beberapa lama Daeng Tima hidup sendiri. Sampai akhirnya nasib mempertemukannya dengan seorang bayi yang kemudian diberinya nama Dogel. Anak yang masih hijau itulah yang selama ini membantunya mencari nafkah untuk menyambung hidup.

***

“Koran….Koran. Korannya, Pak”
Perlahan kubuka kaca mobil, “Korannya satu.”
Disodorkannya sebuah Koran harian. “Namamu siapa? Entah, tiba-tiba, tidak seperti biasanya ketika membeli Koran di jalan, aku bertanya seperti itu.
“Dogel, Pak,” jawabnya dengan mimik yang begitu lugu. Sesekali ia memperbaiki letak koran yang menggunung di dadanya. Wajahnya kusut dengan pakaian yang sangat kumal. Beberapa noda hitam menghiasi hampir semua bagian bajunya. Keringat yang mengucur deras dari pori-porinya, sesekali menetes membasahi tumpukan koran yang dibawanya.
“Kamu tinggal di mana?”
“Di bawah kolong jembatan sebelah sana, Pak. Dekat rel kereta api di sekitar bagunan itu,” ucapnya sembari mengangkat tangan dan mengarahkannya ke sebuah gedung yang menjulang tinggi. Sesaat pandanganku terseret mengikuti gerakan tangannya.
“Ooo. Ini uangnya.” Kutarik uang lima puluh ribuan dari dompetku dan menyerahkannya.
“Wah, tidak ada uang kembaliannya, Pak.”
“Ambil saja semua. Mungkin ini rejekimu,” ucapku sambil menutup kembali kaca mobil.
“Terima kasih, Pak. Semoga Tuhan membalas kebaikan bapak.” Tiba-tiba aku terhenyak. Dia menyebut nama Tuhan, sesuatu yang selama ini sangat jarang keluar dari mulutku. Sesaat aku memandangnya dari celah kaca mobil yang hampir tertutup.
Itulah saat pertama aku berjumpa dengan Dogel, seorang penjual koran, yang entah, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan penjual koran lainnya. Dari sorot matanya yang bening, seperti ada sesuatu yang sedang berkecamuk dalam batinnya.
Entah, kekuatan apa yang membuatku setiap pagi, saat berangkat kerja, selalu ingin melewati jalan itu. Jalan di mana Dogel sehari-hari berlarian di antara padatnya kendaraan, sambil menawarkan koran yang bertumpuk di dadanya dari satu kendaraan ke kendaraan lain.
Pada pertemuan kedua, aku menyempatkan diri menghabiskan separuh malam di tempatnya. Sejak saat itu, aku selalu ingin mampir ke tempatnya, mendengar keluh kesah Daeng Tima yang selama ini mengasuh Dogel. Atau menyaksikan betapa susahnya kehidupan keduanya dan para penghuni kolong jembatan yang nasibnya tidak jauh beda.
“Bapakmu sekarang dimana?” tanyaku suatu ketika saat menemaninya duduk di tepi trotoar. Ketika itu, aku baru saja pulang dari kantor dan melihatnya  sedang istirahat di bawah kolong jembatan sambil menghitung hasil penjualan korannya.
“Ibu bilang, bapak sekarang sedang berada di tempat lain. Jauuuuh sekali. Dan mungkin akan kembali setelah aku besar,” jawabnya ringan. Meski aku tahu ada sesuatu yang sedang menjalari batinnya.
Tapi, ia masih saja asyik menghitung uang yang ada di genggamannya. Sesekali tatapannya liar menghalau kendaraan yang lalu lalang di hadapan kami.
“Kamu tidak ingin bertemu dengan bapakmu,” tanyaku kembali menghalau kecemasan yang entah mengapa tiba-tiba saja datang merambati batinku.
“Sangat ingin. Tapi ibu bilang, ayah akan datang kalau aku sudah besar. Dan kini aku sudah besar. Bisa mencari uang sendiri. Aku yakin bapak sebentar lagi akan datang.” Suaranya masih tetap tenang. Ia begitu yakin akan ucapan ibunya.
Perjumpaan itu sepertinya menyisakan sesuatu yang sulit terlupakan. Entah, aku sendiri tak tahu. Dan setiap aku melewati jalan itu, di dekat traffic light, tempat Dogel setiap hari menjajakkan koran, selalu ada rasa rindu untuk melihat wajahnya. Wajah yang selalu melukiskan guratan kebahagiaan. Sementara kehidupannya, dalam kacamataku dan mungkin semua orang, sebenarnya begitu menderita. Ada kebahagiaan tersendiri bila melihat pemilik wajah yang seakan tak merasakan pedihnya penderitaan yang sedang ia jalani.
Aku teringat pada seseorang yang pernah mengatakan bahwa kebahagiaan dan penderitaan itu, hanyalah pengejawantahan dari sebuah sikap diri terhadap apa yang kita jalani dalam kehidupan ini.
Dogel mungkin salah satu orang yang yang menjalani dan menghayati penderitaan sebagai sebuah kebahagiaan. Atau hanya karena ia masih kecil, hingga belum tahu apa itu penderitaan atau kebahagiaan. Sehingga apa yang ia kerjakan setiap harinya, dilaluinya hamper tanpa beban.

***

Di suatu sore, aku menemukan Dogel sedang duduk di atas pasir putih, di sebuah pantai. Ia duduk termenung. Tumpukan Koran di dadanya masih cukup banyak. Dengan jemarinya yang mungil, sesekali ia memperbaiki letaknya. Lalu tatapannya kembali berkeliaran ke arah orang-orang yang berlarian di atas pasir putih.
Saat itu matahari mulai bersinar redup dengan warna kemerahan di ujung cakrawala. Orang-orang yang berjalan dan berlarian di tepi pantai menoreh bayang-bayangnya sendiri di atas pasih putih.
Cukup lama aku mengamatinya. Dogel terlihat masih asyik memerhatikan orang-orang yang lalu-lalang d depannya. Beberapa saat kemudian, ia meletakkan koran yang bertumpuk di dadanya. Ia menggeser duduknya dan mengambil sebilah kayu. Perlahan ia menorehkan ujung  kayu itu di atas pasir.
“Kamu sedang menggambar apa?” tanyaku saat berada di dekatnya.
Mendengar suara yang berada di dekatnya, ia perlahan menoleh. Hanya tersenyum. Tak sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya.
Dogel kembali menggerakkan ujung kayu yang berada di tangannya. Perlahan aku duduk di sampingnya dan pandanganku mengikuti gerak jemarinya yang mungil.
“Aku menggambar bapak,” jawabnya tanpa kutanya lagi. Kepalanya terus bergoyang mengikuti gerak tangannya. Ia terus saja menggambar, menggerak-gerakkan bambu di tangannya tanpa mempedulikan aku dan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya.
Sejenak aku terhenyak. “Tapi mengapa bertanduk dan berkaki empat?”
“Tidak tahu.” Sesekali ia menghapus lendir yang keluar dari hidungnya dengan tangannya. “Aku memang tidak pernah melihatnya.”
Lalu ia berdiri, berlari meninggalkan gambarnya yang perlahan merintih dan hilang terinjak kaki-kaki yang menyeret langkahnya tak peduli. Dogel berlarian ke arah pantai meneriakkan kata-kata yang tak jelas kutangkap dengan kedua telingaku. Wajahnya berseri. Tangannya menggapai-gapai ke langit sembari meneriakkan kata-kata yang masih ak sanggup kutangkap dengan kedua telingaku.
Kulihat bayang-bayang Dogel kian memanjang. Bayangan orang-orang yang berseliwerang saling berkait, membentuk sekerumunan awan gelap yang tiba-tiba saja menerjang benakku.
Seketika anganku menggantung di langit Januari, sepuluh tahun yang lalu. Saat itu aku meninggalkan seorang perempuan yang sedang mengandung anakku, hasil dari sebuah persekongkolan iblis.
Akhhh….
Tubuhku tiba-tiba bergetar. Wajahku mengeras. Aku merasa menjelma menjadi patung yang kian hari semakin bertambah dan memenuhi hingga sudut-sudut kota. Aku muncul dari bar-bar, pub-pub, diskotik-diskotik, hotel-hotel, taman-taman bunga, rumah-rumah kost bahkan sampai ke desa-desa. Aku tumbuh begitu liar memenuhi hajat kebinatangan manusia.
Dan setiap kali Dogel menggambar bapaknya, saat itu pula lahir Dogel-Dogel baru. Mereka terus bermunculan dari balik keliaran manusia. Mereka adalah hasil persekutuan Adam dan Hawa dari berbagai zaman. Persemaian tanpa aturan yang merambahi kehidupan manusia dengan segala sisa-sisa kebinatangannya.

Makassar, 8 Oktober 1999

0 comment