Cerpen Idwar Anwar
Senja
 menari-nari di bibir laut, membiaskan memar di atas kota basah. 
Ombak-ombak menyanyikannya dengan ritme gelisah. Menghempas 
karang-karang yang menatapnya nanar. 
Di
 sebuah bangku tua yang pada setiap tepinya lapuk dan kusam, aku duduk 
melingkarkan lengan pada seonggok kehangatan yang resah menanti dentuman
 bibir sang kekasih menggetarkan cintanya. Angin yang berhembus membawa 
aroma laut menerpa wajahku dan sebuah kehangatan yang kurangkul mesra.
            Setangkai
 senja itu menggelayut gelisah. Di mataku keresahannya membayang 
membentuk sebuah siluet; ragu-ragu. Di kejauhan membayang pulau-pulau, bagang-bagang[*]
 dan perahu-perahu nelayan yang sesekali tenggelam dalam pandanganku 
oleh ombak yang menghempas menyisakan gemuruh. Orang-orang berlarian 
menghindari rinai hujan yang menjuntai dari langit yang mulai pekat. Ada
 yang mencelupkan tubuhnya ke dalam tenda-tenda, tempat para penjual 
yang nongkrong setiap sore di Pelabuhan Tanjung Ringgi’ menjajakan 
potongan-potongan kehidupan. Ada yang membungkus diri dengan mantel yang
 penuh dengan bekas lipatan-lipatan. Ada yang berlari 
sekencang-kencangnya menghampiri mobilnya dan tertelan ke dalamnya. Ada 
juga yang tetap pulang dan rela tubuhnya dicecah hujan. 
            Aku
 masih tetap duduk di atas bangku lapuk, sisa-sisa kesetiaan yang suram.
 Sesekali menggeser dan mengangkat sedikit pantatku yang mulai penat. 
Sebuah paku yang terbuka kurasakan menusuk pahaku, saat kian mendekati 
tubuhnya yang dibekap pakaian berwarna krem. Tubuh itu menebar aroma 
parfum yang membuai kesadaranku. Di atasku, gemuruh seng yang diterpa 
angin menyisakan keterkejutan. Beberapa orang kulihat masih asyik-masyuk
 dengan kail di tangannya, tafakur di bibir laut, memancing kesetiaan 
ombak pada laut. Membiarkan tubuh-tubuh mereka basah oleh cecah hujan 
yang rintik.
            Diam
 dalam seribu bahasa, membuat kami hanya seperti berlomba menghirup 
udara senja. Rintik hujan berhamburan dihempas angin yang sesekali 
bertiup kencang. Butiran-butirannya yang halus kadang kala menerpa 
wajahku. Sesekali kuusap dengan telapak tanganku yang mulai dialiri 
gigil. 
            Karena
 tak kuasa, akhirnya kubenturkan binar mataku ke permukaan wajahnya. 
Kulihat wajahnya masih beku oleh angin yang menggigilkan. Lalu pindah ke
 bola matanya yang berombak. Aku tahu ada gelisah di sana. 
“Kenapa senja ini membuatku gelisah?” tanyanya membuyarkan keterpukauan kami pada lebam di tepi langit.
            “Ah,
 kau ini ada-ada saja,” timpalku sekenanya. Aku tahu gelisah itu tumbuh 
dari penantiannya akan sebuah ucapan yang keluar dari bibirku. Tapi 
sudahlah. Degup jantungku pun mulai berontak. 
            “Kita
 sama-sama tak tahan diseruduk ketidakpastian.” Kalimatku tak sempat 
keluar karena buru-buru kutelan. Aku lalu tertawa kecil, meski degup 
jantungku semakin kencang dan tak kuasa kuredakan. 
            “Ayo
 kita pulang. Rinai hujan sesekali telah menjelma serbuk di angkasa,” 
ucap perempuan itu lagi. Sorot matanya menuju laut, menerjang serbuk 
hujan yang berhamburan yang kadang-kadang berubah dan datang begitu 
cepat menusuk-nusuk permukaan bumi. Aku tak peduli. Kulihat matanya 
malah menolak apa yang diucapkan bibirnya. Aku tahu itu bagian dari 
kegelisahannya.
            “Sebentar
 lagi. Bukankah malam tidak lama lagi akan menghamparkan tudung 
hitamnya? Sebaiknya kita nikmati dulu senja ini. Senja dengan luka bakar
 di tepinya.” Mataku perlahan-lahan semakin beriak.  
            Perempuan
 itu tertunduk. Seperti ingin memenjarakan tatapannya di keheningan 
lantai yang kian basah. Tapi sekali lagi aku tahu, ia tak akan mampu 
begitu lama melakukannya. Aku tiba-tiba mengerti betul riak di bola 
matanya. Entah mengapa aku begitu yakin akan apa yang ada dalam benakku.
 
            Warna
 lampu merkuri yang dipaksa menerangi, menyaput malas permukaan wajahku 
yang membungkus perempuan itu dalam kehangatan. Ritme jantungnya 
kurasakan mengalir ke seluruh permukaan tubuhnya yang di balut hawa 
dingin. 
            “Ah,
 mengapa senja ini begitu berpihak padaku,” kataku membatin. Di sudut 
bibirku menggelayut kepuasan. Guratan itu kian jelas, namun berusaha 
kusembunyikan.
            Kulihat
 perempuan itu menatapku. Aku menangkap potongan-potongan bening matanya
 yang dikaburkan senja. Ada yang mengalir deras dari sorot mata itu. Aku
 bisa merasakannya. Gemuruh dalam dirinya membuat bibirnya dingin dan 
beku. 
            Dalam
 keterpakuan kami, tak terasa bibirku juga menjelma ngarai; sunyi. 
Berbagai kata yang telah kupersiapkan untuk kuucapkan di hadapannya, 
seketika saja lenyap. Semuanya menguap di angkasa, menari-nari bersama 
awan, namun tak juga hendak turun bersama air hujan. 
            Kami
 sama-sama diam. Entah mengapa lidahku teramat kaku. Ketakutan macam apa
 yang dengan garangnya memenjarakanku. Menghempasku dalam 
ketidakberdayaan. Tarikan nafasku bergemuruh menahan kalimat yang 
tersumbat di tenggorokanku. Angin dingin semakin beringas menerjang 
tubuh kami.
            “Aku kedinginan,” ucapnya.
Berkali-kali
 ingin kukatakan bahwa aku tahu apa yang bergejolak dalam dirinya. Angin
 dingin hanya bagian terkecil dari kegelisahan itu. Kutarik kembali 
nafas yang makin memburu. Beribu keraguan menghempas bersamanya. Kusobek
 keheningan wajahnya dengan tatapanku yang berusaha menembus cahaya yang
 kian berkurang di mayapada.  
            Diam…. Cukup lama suasana itu mematok kami. Hingga dengan segala keberanian….
            “Ambillah
 setangkai senja ini. Jangan biarkan layu membentuk kerutan-kerutan 
kepedihan. Biarlah kusemai di ranum bibirmu, di tiap helai rambut yang 
menjuntai indah, di setiap pori-porimu, di denyut nadimu dan debar 
jantungmu. Di potongan-potongan  nafasmu dengan khusyuk kusemai setangkai senja itu.” Akhirnya keluar juga kalimat yang sekian lama mendesak-desak. 
            Perempuan
 itu tergeragap, lalu diam menatapku tanpa ekspresi. Hanya matanya yang 
berucap. Hanya matanya yang melantunkan orkestra musim semi. Hanya 
matanya yang menari-nari penuh kegirangan. Hanya matanya yang 
memancarkan binar. Dan hampir tak kusangka… ternyata hanya di matanya 
pula kutemukan keraguan.
            “Kita beda….”
Aku
 tersentak. Tapi cinta teramat mampu menepis segalanya. Sebuah kekuatan 
dengan cepat memenjarakan selaksa keraguan di senin sore medio februari 
itu…. 
***
Tiba-tiba
 aku terperanjat. Pandanganku tanpa kusadari perlahan kabur oleh air 
mata. Di bangku yang menggiringku pada abad-abad renyah, aku ternyata 
masih tetap terduduk. Aku tak pernah kembali menemui perempuan itu di 
abad lampau. Yang ada, hanya kenangan itu menggiring kesadaranku ke 
dalam kuasanya.  
            Beribu
 kepedihan dan rasa penyesalan datang menggerogoti dan memenjarakan 
bibirku hingga dipaksa untuk kehilangan tawa bahkan senyum sekalipun 
jika mengingatnya. Kuyakin tak seorangpun akan mampu mendapatkan lagi 
tempat dalam diriku yang ditinggalkannya, sebab ketulusan itu telah 
mempersembahkan diri seutuhnya. 
Tapi
 kini perempuan itu telah terbujur kaku dalam kepedihan yang kutabur. 
Ketidak-jujuranku membuatnya ingin mematahkan dan mencampakkan setangkai
 senja yang dulu kusematkan ke dalam totalitas dirinya. Aroma kebencian 
seperti menggumpal-gumpal dan beriring mendekap kepedihannya. Sepertinya
 semua potensi dirinya meronta-ronta ingin meninggalkan segala kenangan 
yang pernah kami semai pada setiap detak jantung dan tarikan nafas. 
Sesaat,
 pandanganku menohok tajam ke arah laut lepas. Perahu-perahu nelayan 
berseliweran di riak mataku. Ada kesedihan yang terpancar. Bangku 
tempatku menyematkan setangkai senja, menggeliat. Kurasakan keresahanku 
merasukinya. Membuatnya ingin kembali mengulang kisah lampau. Aku 
tersentak.
            “Kau
 telah menghianatiku! Cintamu telah terbagi!” Ucap sengit yang 
berhamburan dari bibirnya yang lembut itu menerjangku. Kalimat itu 
meluncur dari mulutnya, di suatu hari, di sebuah keheningan malam yang 
pekat. 
Aku
 hanya diam. Telepon yang kupegang bergetar mengiringi kecemasanku. 
Adakah kata pengkhianatan dalam cinta? Batinku meradang. Benarkah cinta 
terbagi? Dan kalau pun terbagi, benarkah ia akan berkurang? Yang 
kupahami, tak pernah ada pengkhianatan dalam cinta. Cinta adalah sebuah 
totalitas dari sebuah penghambaan seorang pencinta pada yang 
dicintainya. Cinta tidak pernah terbagi, sebab ia sesuatu yang non 
material. Dan kalau pun harus mengatakan “terbagi”, maka cinta itu tak 
akan pernah berkurang. Ia akan tetap menjadi sebuah cinta yang utuh, 
meski harus dibagi hingga titik kepuasan tertinggi kita membaginya. 
Kualitas –atau kalau terpaksa harus mengatakan kuantitas-- cinta itu 
sesungguhnya ditentukan oleh hubungan pencinta dan sang kekasih. 
Seberapa hebatnya hubungan itu, sebegitu hebatnya pula kualitas cinta 
yang miliki. Cinta pada seseorang tidak akan pernah sama dengan cinta 
pada seorang lainnya. Itu bukan karena berkurangnya kualitas cinta yang 
“terbagi”. Akan tetapi ditentukan oleh seberapa hebat hubungan pencinta 
dan sang kekasih. Sebab cinta pada seorang yang sama pun, dari detik ke 
detik pasti tidak akan pernah sama kualitasnya. Cinta bukan sesuatu yang
 statis. Ia dinamis dan akan terus berfluktuasi, tergantung dari 
seberapa hebat hubungan antara pencinta dan sang kekasih.
            Cepat-cepat
 kutarik nafas dalam-dalam. Tak sanggup lagi aku meneruskan kalimat yang
 ingin terus meluncur dari bibirku, sebagai penjelasan atas semua 
kesalahan yang disematkan padaku. Bayangan awan hitam yang menggantung 
di wajah perempuan itu membuatku takut. Cap pengkhianat menempel erat di
 wajahku. Padahal yang kupahami tidak ada kata pengkhianatan dalam 
cinta. Sebab cinta itu adalah sebuah penghambaan. Ia datang dari Tuhan. 
Ia akan tetap suci. Cinta tidak akan pernah ternoda. Tak ada secuil 
pengkhianatan di dalamnya. 
            Aku
 masih duduk di bangku itu ketika senja datang menghampiri. Tapi senja 
ini tak seperti senja ketika aku bersama dengan perempuan itu meneguk 
segala kenikmatan yang ditawarkannya. 
            “Biarlah
 akan aku ramu kembali setangkai senja yang patah pada nisan hatimu, 
agar engkau selalu terkenang sebait senja yang telah mempertautkan kita 
dalam ranah yang mungkin tak pernah kita bayangkan. Aku tak ingin 
setangkai senja itu pergi begitu saja, meninggalkan kehampaan. Setangkai
 senja itu tak pernah kuharap akan patah di hatimu,” pintaku lirih yang 
dengan cepat dihempas angin. Tak seorang pun yang mendengar.
            Beberapa
 hari telah kulewatkan di tepat itu seorang diri. Di sebuah bangku, di 
bawah temaram lampu merkuri, tempat dimana kami pernah saling 
mempertautkan segala keinginan. Aku terus menunggu setiap senja yang 
datang. Tapi entah, aku merasakan cinta yang dikukuhkan pada senja 
temaram itu, tiba-tiba disergap mendung malam yang gulita.
            Aku
 terus mencarinya. Dari senja ke senja aku terus berjalan. Hari 
berganti, waktu berlalu, detik demi detik telah kuhabiskan untuk mencari
 setangkai senja yang telah mempertautkan segala kepolosan kami. Seolah 
tak ada lagi senja yang tak terekam di benakku. Tapi aku tak pernah 
menemukannya; setangkai senja yang pernah kusematkan di totalitas 
perempuan itu.
            Meninggalkan
 sebuah bangku kenangan, tempat sebuah harapan disematkan adalah 
ketersiksaan yang maha dahsyat. Aku hanya terus berharap, setangkai 
senja yang pernah kusematkan dalam totalitasnya akan tetap tumbuh, agar 
aku bisa tetap menikmatinya. Kendati juga aku harus rela, jika kelak, 
aku tak akan mampu menikmati setangkai senja itu seutuhnya. 
makassar, 6 oktober 2005
Fajar, 23 Oktober 2005
[*]
 Perahu besar bercadik yang digunakan sebagai alat penangkap ikan. 
Perahu ini menggunakan jaring yang besar yang diletakkan pada baratengnya (tempat memasang cadik).

0 comment