-->

Friday, February 23, 2018

Setangkai Senja


Cerpen Idwar Anwar

Senja menari-nari di bibir laut, membiaskan memar di atas kota basah. Ombak-ombak menyanyikannya dengan ritme gelisah. Menghempas karang-karang yang menatapnya nanar.
Di sebuah bangku tua yang pada setiap tepinya lapuk dan kusam, aku duduk melingkarkan lengan pada seonggok kehangatan yang resah menanti dentuman bibir sang kekasih menggetarkan cintanya. Angin yang berhembus membawa aroma laut menerpa wajahku dan sebuah kehangatan yang kurangkul mesra.
            Setangkai senja itu menggelayut gelisah. Di mataku keresahannya membayang membentuk sebuah siluet; ragu-ragu. Di kejauhan membayang pulau-pulau, bagang-bagang[*] dan perahu-perahu nelayan yang sesekali tenggelam dalam pandanganku oleh ombak yang menghempas menyisakan gemuruh. Orang-orang berlarian menghindari rinai hujan yang menjuntai dari langit yang mulai pekat. Ada yang mencelupkan tubuhnya ke dalam tenda-tenda, tempat para penjual yang nongkrong setiap sore di Pelabuhan Tanjung Ringgi’ menjajakan potongan-potongan kehidupan. Ada yang membungkus diri dengan mantel yang penuh dengan bekas lipatan-lipatan. Ada yang berlari sekencang-kencangnya menghampiri mobilnya dan tertelan ke dalamnya. Ada juga yang tetap pulang dan rela tubuhnya dicecah hujan.
            Aku masih tetap duduk di atas bangku lapuk, sisa-sisa kesetiaan yang suram. Sesekali menggeser dan mengangkat sedikit pantatku yang mulai penat. Sebuah paku yang terbuka kurasakan menusuk pahaku, saat kian mendekati tubuhnya yang dibekap pakaian berwarna krem. Tubuh itu menebar aroma parfum yang membuai kesadaranku. Di atasku, gemuruh seng yang diterpa angin menyisakan keterkejutan. Beberapa orang kulihat masih asyik-masyuk dengan kail di tangannya, tafakur di bibir laut, memancing kesetiaan ombak pada laut. Membiarkan tubuh-tubuh mereka basah oleh cecah hujan yang rintik.
            Diam dalam seribu bahasa, membuat kami hanya seperti berlomba menghirup udara senja. Rintik hujan berhamburan dihempas angin yang sesekali bertiup kencang. Butiran-butirannya yang halus kadang kala menerpa wajahku. Sesekali kuusap dengan telapak tanganku yang mulai dialiri gigil.
            Karena tak kuasa, akhirnya kubenturkan binar mataku ke permukaan wajahnya. Kulihat wajahnya masih beku oleh angin yang menggigilkan. Lalu pindah ke bola matanya yang berombak. Aku tahu ada gelisah di sana.
“Kenapa senja ini membuatku gelisah?” tanyanya membuyarkan keterpukauan kami pada lebam di tepi langit.
            “Ah, kau ini ada-ada saja,” timpalku sekenanya. Aku tahu gelisah itu tumbuh dari penantiannya akan sebuah ucapan yang keluar dari bibirku. Tapi sudahlah. Degup jantungku pun mulai berontak.
            “Kita sama-sama tak tahan diseruduk ketidakpastian.” Kalimatku tak sempat keluar karena buru-buru kutelan. Aku lalu tertawa kecil, meski degup jantungku semakin kencang dan tak kuasa kuredakan.
            “Ayo kita pulang. Rinai hujan sesekali telah menjelma serbuk di angkasa,” ucap perempuan itu lagi. Sorot matanya menuju laut, menerjang serbuk hujan yang berhamburan yang kadang-kadang berubah dan datang begitu cepat menusuk-nusuk permukaan bumi. Aku tak peduli. Kulihat matanya malah menolak apa yang diucapkan bibirnya. Aku tahu itu bagian dari kegelisahannya.
            “Sebentar lagi. Bukankah malam tidak lama lagi akan menghamparkan tudung hitamnya? Sebaiknya kita nikmati dulu senja ini. Senja dengan luka bakar di tepinya.” Mataku perlahan-lahan semakin beriak. 
            Perempuan itu tertunduk. Seperti ingin memenjarakan tatapannya di keheningan lantai yang kian basah. Tapi sekali lagi aku tahu, ia tak akan mampu begitu lama melakukannya. Aku tiba-tiba mengerti betul riak di bola matanya. Entah mengapa aku begitu yakin akan apa yang ada dalam benakku.
            Warna lampu merkuri yang dipaksa menerangi, menyaput malas permukaan wajahku yang membungkus perempuan itu dalam kehangatan. Ritme jantungnya kurasakan mengalir ke seluruh permukaan tubuhnya yang di balut hawa dingin.
            “Ah, mengapa senja ini begitu berpihak padaku,” kataku membatin. Di sudut bibirku menggelayut kepuasan. Guratan itu kian jelas, namun berusaha kusembunyikan.
            Kulihat perempuan itu menatapku. Aku menangkap potongan-potongan bening matanya yang dikaburkan senja. Ada yang mengalir deras dari sorot mata itu. Aku bisa merasakannya. Gemuruh dalam dirinya membuat bibirnya dingin dan beku.
            Dalam keterpakuan kami, tak terasa bibirku juga menjelma ngarai; sunyi. Berbagai kata yang telah kupersiapkan untuk kuucapkan di hadapannya, seketika saja lenyap. Semuanya menguap di angkasa, menari-nari bersama awan, namun tak juga hendak turun bersama air hujan.
            Kami sama-sama diam. Entah mengapa lidahku teramat kaku. Ketakutan macam apa yang dengan garangnya memenjarakanku. Menghempasku dalam ketidakberdayaan. Tarikan nafasku bergemuruh menahan kalimat yang tersumbat di tenggorokanku. Angin dingin semakin beringas menerjang tubuh kami.
            “Aku kedinginan,” ucapnya.
Berkali-kali ingin kukatakan bahwa aku tahu apa yang bergejolak dalam dirinya. Angin dingin hanya bagian terkecil dari kegelisahan itu. Kutarik kembali nafas yang makin memburu. Beribu keraguan menghempas bersamanya. Kusobek keheningan wajahnya dengan tatapanku yang berusaha menembus cahaya yang kian berkurang di mayapada. 
            Diam…. Cukup lama suasana itu mematok kami. Hingga dengan segala keberanian….
            “Ambillah setangkai senja ini. Jangan biarkan layu membentuk kerutan-kerutan kepedihan. Biarlah kusemai di ranum bibirmu, di tiap helai rambut yang menjuntai indah, di setiap pori-porimu, di denyut nadimu dan debar jantungmu. Di potongan-potongan  nafasmu dengan khusyuk kusemai setangkai senja itu.” Akhirnya keluar juga kalimat yang sekian lama mendesak-desak.
            Perempuan itu tergeragap, lalu diam menatapku tanpa ekspresi. Hanya matanya yang berucap. Hanya matanya yang melantunkan orkestra musim semi. Hanya matanya yang menari-nari penuh kegirangan. Hanya matanya yang memancarkan binar. Dan hampir tak kusangka… ternyata hanya di matanya pula kutemukan keraguan.
            “Kita beda….”
Aku tersentak. Tapi cinta teramat mampu menepis segalanya. Sebuah kekuatan dengan cepat memenjarakan selaksa keraguan di senin sore medio februari itu….

***

Tiba-tiba aku terperanjat. Pandanganku tanpa kusadari perlahan kabur oleh air mata. Di bangku yang menggiringku pada abad-abad renyah, aku ternyata masih tetap terduduk. Aku tak pernah kembali menemui perempuan itu di abad lampau. Yang ada, hanya kenangan itu menggiring kesadaranku ke dalam kuasanya. 
            Beribu kepedihan dan rasa penyesalan datang menggerogoti dan memenjarakan bibirku hingga dipaksa untuk kehilangan tawa bahkan senyum sekalipun jika mengingatnya. Kuyakin tak seorangpun akan mampu mendapatkan lagi tempat dalam diriku yang ditinggalkannya, sebab ketulusan itu telah mempersembahkan diri seutuhnya.
Tapi kini perempuan itu telah terbujur kaku dalam kepedihan yang kutabur. Ketidak-jujuranku membuatnya ingin mematahkan dan mencampakkan setangkai senja yang dulu kusematkan ke dalam totalitas dirinya. Aroma kebencian seperti menggumpal-gumpal dan beriring mendekap kepedihannya. Sepertinya semua potensi dirinya meronta-ronta ingin meninggalkan segala kenangan yang pernah kami semai pada setiap detak jantung dan tarikan nafas.
Sesaat, pandanganku menohok tajam ke arah laut lepas. Perahu-perahu nelayan berseliweran di riak mataku. Ada kesedihan yang terpancar. Bangku tempatku menyematkan setangkai senja, menggeliat. Kurasakan keresahanku merasukinya. Membuatnya ingin kembali mengulang kisah lampau. Aku tersentak.
            “Kau telah menghianatiku! Cintamu telah terbagi!” Ucap sengit yang berhamburan dari bibirnya yang lembut itu menerjangku. Kalimat itu meluncur dari mulutnya, di suatu hari, di sebuah keheningan malam yang pekat.
Aku hanya diam. Telepon yang kupegang bergetar mengiringi kecemasanku. Adakah kata pengkhianatan dalam cinta? Batinku meradang. Benarkah cinta terbagi? Dan kalau pun terbagi, benarkah ia akan berkurang? Yang kupahami, tak pernah ada pengkhianatan dalam cinta. Cinta adalah sebuah totalitas dari sebuah penghambaan seorang pencinta pada yang dicintainya. Cinta tidak pernah terbagi, sebab ia sesuatu yang non material. Dan kalau pun harus mengatakan “terbagi”, maka cinta itu tak akan pernah berkurang. Ia akan tetap menjadi sebuah cinta yang utuh, meski harus dibagi hingga titik kepuasan tertinggi kita membaginya. Kualitas –atau kalau terpaksa harus mengatakan kuantitas-- cinta itu sesungguhnya ditentukan oleh hubungan pencinta dan sang kekasih. Seberapa hebatnya hubungan itu, sebegitu hebatnya pula kualitas cinta yang miliki. Cinta pada seseorang tidak akan pernah sama dengan cinta pada seorang lainnya. Itu bukan karena berkurangnya kualitas cinta yang “terbagi”. Akan tetapi ditentukan oleh seberapa hebat hubungan pencinta dan sang kekasih. Sebab cinta pada seorang yang sama pun, dari detik ke detik pasti tidak akan pernah sama kualitasnya. Cinta bukan sesuatu yang statis. Ia dinamis dan akan terus berfluktuasi, tergantung dari seberapa hebat hubungan antara pencinta dan sang kekasih.
            Cepat-cepat kutarik nafas dalam-dalam. Tak sanggup lagi aku meneruskan kalimat yang ingin terus meluncur dari bibirku, sebagai penjelasan atas semua kesalahan yang disematkan padaku. Bayangan awan hitam yang menggantung di wajah perempuan itu membuatku takut. Cap pengkhianat menempel erat di wajahku. Padahal yang kupahami tidak ada kata pengkhianatan dalam cinta. Sebab cinta itu adalah sebuah penghambaan. Ia datang dari Tuhan. Ia akan tetap suci. Cinta tidak akan pernah ternoda. Tak ada secuil pengkhianatan di dalamnya.
            Aku masih duduk di bangku itu ketika senja datang menghampiri. Tapi senja ini tak seperti senja ketika aku bersama dengan perempuan itu meneguk segala kenikmatan yang ditawarkannya.
            “Biarlah akan aku ramu kembali setangkai senja yang patah pada nisan hatimu, agar engkau selalu terkenang sebait senja yang telah mempertautkan kita dalam ranah yang mungkin tak pernah kita bayangkan. Aku tak ingin setangkai senja itu pergi begitu saja, meninggalkan kehampaan. Setangkai senja itu tak pernah kuharap akan patah di hatimu,” pintaku lirih yang dengan cepat dihempas angin. Tak seorang pun yang mendengar.
            Beberapa hari telah kulewatkan di tepat itu seorang diri. Di sebuah bangku, di bawah temaram lampu merkuri, tempat dimana kami pernah saling mempertautkan segala keinginan. Aku terus menunggu setiap senja yang datang. Tapi entah, aku merasakan cinta yang dikukuhkan pada senja temaram itu, tiba-tiba disergap mendung malam yang gulita.
            Aku terus mencarinya. Dari senja ke senja aku terus berjalan. Hari berganti, waktu berlalu, detik demi detik telah kuhabiskan untuk mencari setangkai senja yang telah mempertautkan segala kepolosan kami. Seolah tak ada lagi senja yang tak terekam di benakku. Tapi aku tak pernah menemukannya; setangkai senja yang pernah kusematkan di totalitas perempuan itu.
            Meninggalkan sebuah bangku kenangan, tempat sebuah harapan disematkan adalah ketersiksaan yang maha dahsyat. Aku hanya terus berharap, setangkai senja yang pernah kusematkan dalam totalitasnya akan tetap tumbuh, agar aku bisa tetap menikmatinya. Kendati juga aku harus rela, jika kelak, aku tak akan mampu menikmati setangkai senja itu seutuhnya.

makassar, 6 oktober 2005
Fajar, 23 Oktober 2005


[*] Perahu besar bercadik yang digunakan sebagai alat penangkap ikan. Perahu ini menggunakan jaring yang besar yang diletakkan pada baratengnya (tempat memasang cadik).

0 comment