Cerpen Idwar Anwar
Masuk…!
 Bukk….” Sebuah tendangan sepatu lars dengan cepat menghantam punggung 
Ato. Ia terpental dan menerjang pintu yang sedikit terbuka. Kegelapan 
menyeruak dari balik pintu yang kini telah terbuka lebar oleh tubuh Ato 
yang dengan keras menghantamnya. 
“Kamu
 juga masuk! Plak! Plak!” Tamparan tangan sang petugas bolak- balik 
menghujam pipi Joni. Ia pun hilang di balik pintu yang gelap.
“Kamu.
 Kamu juga, cepat masuk!” Pukulan dan tendangan bertubi-tubi melaju 
begitu cepat ke tubuhku dan tubuh Tono yang berada di depanku. Aku 
sempat menangkis satu tamparan di pipiku, tapi sebuah tendangan yang 
menghantam bokongku tak dapat kuelakkan. Kami berdua pun terhuyung 
menerjang pintu yang kini terbuka lebar.
“Silahkan
 masuk!”. Dalam keremangan aku melihat orang yang menyambut kami, dengan
 sedikit membelalakkan mata. Kepalanya botak. Tubuhnya sedikit lebih 
kecil dibanding tubuhku yang tinggi dan besar. 
“Mungkin dia algojo di sini,” pikirku.
“Brak!”
 Pintu sel tertutup. Dan kegelapan dengan cepat merambat. Bau pesing 
yang kucium sejak masuk ruangan, mulai ganas menusuk hidungku. 
“Iwan,
 ayo duduk.” Suara Ato terdengar menggema dalam ruangan. Mataku masih 
beradaptasi dalam kegelapan. Cukup lama. Samar-samar aku mulai melihat 
bayangan beberapa orang duduk di atas dipan. Ada enam orang.  Seorang  lainya masih berdiri sedikit menjauh dari tempatku berdiri. Aku belum bisa mengenali wajah mereka. 
Perlahan
 aku melangkah. Bau pesing semakin menyengat hidungku. Ruang sel begitu 
pengap. Tak ada ventilasi udara. Hanya ada satu lubang di pintu yang 
lebarnya sekitar 2 cm dan panjang kira-kira 15 cm. Memang hanya 
diperuntukkan bagi sepasang bola mata. Dari situlah sumber cahaya 
satu-satunya yang menerangi ruang sel. Dinding dan lantai terasa dingin.  Dalam ruang sel  malam dan siang seperti  berlalu tanpa perbedaan. Gelap dan pengap. Langit-langit sel laksana ribuan kelelawar yang menggantung diam. 
Suasana
 hening. Orang yang sejak tadi berdiri perlahan duduk. Aku masih tetap 
berdiri. Pandanganku mengembara dalam ruang sel yang kini menenggelamkan
 tubuh kami dalam kegelapan dan kepengapan. Ruang sel yang mengurung 
kami begitu sempit bagi delapan tubuh yang terkungkung di dalamnya. 
Mataku
 yang sudah mulai beradaptasi dengan kegelapan terus mengembara. 
Perlahan aku menyandarkan tubuh di dinding. Dingin. Dan saat tubuhku 
mencecah permukaannya, seketika itu pula catnya luruh ke lantai bersama 
semen yang bercampur pasir. Suara dentumannya terdengar jelas menggema 
dalam ruangan.  
“Bangunan ini sudah sangat tua, mungkin peninggalan Belanda atau Jepang,” pikirku. 
Kupandang orang-orang di depanku.  Lalu,
 perlahan melangkah dan duduk di atas dipan yang tingginya kurang lebih 
10 cm dari permukaan lantai dengan luas kurang lebih dua kali dua meter.
 
“Kenapa
 kamu diam saja, Wan?” Ato perlahan menggeser duduknya mendekatiku. 
Sedang Joni dan Tono kulihat mulai berkenalan dengan penghuni sel yang 
lebih dulu masuk. 
“Tidak,
 aku tidak apa-apa.” Aku lalu beranjak dan bergabung dengan yang lain. 
Kami pun berkenalan dan saling bercerita tentang hal-hal yang membuat 
kami masing-masing harus meringkuk di ruang sel. 
Orang yang tadi kukira algojo dalam sel yang kutempati bernama  Roni. Ia  masuk
 dalam sel karena telah memperkosa seorang gadis yang masih duduk di 
kelas tiga SMP. Sebelumnya, karena tidak mau mengaku, petugas lalu 
menyetrum kemaluannya dan membakar bulunya sampai benar-benar gundul. 
Bahkan kemaluannya disulut api rokok petugas. Tubuhnya penuh bekas luka 
akibat serangan berbagai macam benda dari petugas. Usianya kira-kira 28 
tahun, hampir sebaya denganku. 
Lain lagi dengan Aco. Ia masuk sel karena menjambret seorang wanita tua di pasar. Waktu pertama masuk, menurutnya, tubuhnya  penuh
 dengan luka memar, berdarah dan juga tulangnya seperti remuk. Tubuhnya 
lebih kecil dibanding Roni dengan rambut yang juga botak. Kasusnya belum
 disidangkan sama seperti kasus Roni. Ia telah mendekam di sel hampir 
dua bulan, hanya tiga hari lebih cepat dari Roni. 
Kasus Udin persis dengan  Rio,
 yang membuatnya juga terkurung dalam ruang sel yang pengap dan gelap. 
Nasibnya pun hampir sama ketika ditangkap dan dijebloskan dalam sel. 
Remuk, lebam., dan berdarah. Keduanya ingin mencuri ayam. Namun naas, 
sebab ketika keduanya hendak keluar kandang dengan beberapa ekor ayam, 
pemiliknya memergoki. Dan ia pun berteriak sekencang-kencangnya hingga 
penduduk berkerumun dengan cepat. 
Keduanya tak sempat lari bahkan melawan, ketika massa dengan segala caci-maki, hinaan, disertai pukulan dengan berbagai macam   cara
 dan alat, menerjang tubuh keduanya begitu beringas. Namun untung 
petugas datang disaat kritis. Mereka pun diangkut ke kantor polisi dalam
 kondisi babak belur. 
Di
 kantor polisi ternyata mereka masih mendapat tambahan jatah pukulan dan
 tendangan serta siksaan lainnya. Tiba-tiba saja aku teringat tendangan 
dan pukulan serta tamparan yang mungkin termasuk jatah kami saat masuk 
tadi. 
Di
 antara perkenalan yang layaknya seperti di alam bebas, senda gurau dan 
tawa berderai tanpa kendali. Terlebih saat bercerita tentang si Roni 
yang kalau tidur, katanya seperti orang yang sedang mengunyah tulang.  
“Brak. Jangan  ribut! Ini ruang sel, bukan rumahmu. Brak.” Seketika hening. Kami saling menatap dan sekuat tenaga menahan tawa. 
Perlahan
 aku berdiri dan melangkah menuju pintu. Melalui lubang kecil di pintu, 
aku mengintip ke luar. Angin kencang seketika menerpa kedua bola mataku.
 Di luar kulihat jam dinding yang menempel di atas pintu masuk yang 
tanpa pintu. 
“Pukul
 20.15 malam. Kurang lebih 15 menit aku berada dalam ruang sialan ini”, 
gerutuku membatin. Hembusan angin malam makin gencar menerpa kedua bola 
mataku. Kelopak mataku beberapa kali mengerjap untuk melindungi terpaan 
angin yang terasa memerihkan bola mataku. 
Kulihat
 dua orang petugas sedang mengetik. Di sudut ruangan 4 orang sedang 
asyik bermain domino. Sedang dua orang lainnya sedang asyik bercerita di
 pos jaga. Kubalikkan badanku dan bersandar di pintu. Kutarik nafas 
begitu berat dan berusaha menghembuskannya perlahan. Tapi tak bisa. 
Seperti ada yang mengganjal keras dalam rongga dadaku. 
“Kapan
 aku akan keluar dari ruang brengsek ini? Kapan mereka datang 
membebaskan kami?” Sambil memejamkan mata, kembali kutarik nafas 
perlahan. 
“Mungkin banyak orang yang mati.”  Aku
 tersentak. Bayangan gedung yang meledak serta jeritan orang-orang yang 
berada di dalamnya kembali terlintas. Aku melihat beberapa orang di luar
 gedung terkapar bersimbah darah. Mungkin banyak yang mati. Entahlah.  Aku hanya sempat melihatnya sekilas dan berlalu.
“Akhhhh….” 
Dalam
 ruangan sel, angin seperti mati. Dan bau pesing terus memburu lubang 
hidungku begitu garang. Sepertinya tak satu milipun dalam ruangan sel 
yang tidak terserang aroma pesing. 
Dengan
 sempoyongan kulangkahkan kaki dan kembali duduk di atas dipan. 
Pandanganku membentur lantai. Gelap, tak ada satu pun yang tertangkap 
oleh mataku. Semuanya sama; hitam. 
Kusentuh permukaannya dengan tanganku. Dingin. Lantai yang terbuat dari semen itu telah tertutupi tanah yang cukup tebal. 
“Tenang, Wan, Jangan gundah seperti itu. Mereka pasti akan datang untuk mengeluarkan kita  dari ruang sel sialan ini. Tunggu saja sebentar lagi kita pasti keluar.” Joni mendekatiku  dan merangkul pundakku. 
“Tapi kita sudah cukup lama dalam ruangan brengsek ini.”
 “Iya. Sabarlah, sebentar lagi kita pasti akan keluar.” Ato dan Tono menimpali hampir bersamaan. 
“Iya,
 kalian enak. Punya banyak kenalan pejabat serta pengusaha yang kaya. 
Jadi kalian bisa dengan cepat dibebaskan. Sedang kami orang miskin. 
Bagaimana bisa berkenalan dengan pejabat atau pengusaha kaya.” Roni 
tiba-tiba nyeletuk dari belakang. 
“Betul!
 Kami sebenarnya juga sudah tidak betah tinggal di sini. Tiap hari harus
 menjadi santapan kepalan tangan dan lars petugas. Belum lagi pentungan 
atau popor senapan atau pistol,” sambung Aco. 
“Betul.
 Betul . Apalagi kami berdua. Benar nggak, Din?” Rio menimpali dan 
wajahnya dengan cepat dipalingkan ke arah Udin. Udin hanya mengangguk. 
“Kami
 hanya mencuri ayam. Itupun tidak berhasil karena keburu ketahuan yang 
punya rumah. Dan syukur di gelandang ke kantor polisi, sebab masyarakat 
seperti begitu buas ingin memangsa kami. Padahal itu kami lakukan hanya 
untuk perut kami sekeluarga.” Suara Rio semakin meninggi.
“Persis!
 Kamu betul!” timpalku. “Itu berarti kamu mempertahankan keberadaan 
kelompok kamu. Sama. Kami juga masuk dalam sel brengsek ini karena 
mempertahankan harga diri kelompok kami. Kami tak ingin diinjak-injak 
oleh kelompok lain, apapun taruhannya. Aku kira kelompok yang lain pun 
sependapat denganku. Bukan hanya geng-geng remaja. Kelompok-kelompok 
politik atau kelompok apapun namanya, pasti sependapat denganku,”  ucapku begitu bersemangat.
“Hanya
 bedanya, kalian mempertahankan dari kelaparan untuk tetap hidup. Sedang
 kami mempertahankan demi harga diri kami dan kelompok kami.”  Aku  kembali berdiri.
“Kalian bisa lihat, banyak orang yang rela mati demi kelompoknya. Atau  sebaliknya  banyak kelompok yang melakukan gerakan demi menjaga kewibawaan orang yang dianggap simbol kelompoknya. Atau     paling tidak sebagai simbol solidaritas, meski  mungkin itu buta. Terlebih lagi jika kelompok atau orang yang dibela memberikan banyak keuntungan material.”
“Yang jelas kalian sebentar lagi akan keluar. Sedang kami mesti tinggal lama di tempat ini.  Belum
 jelas kapan kami akan keluar. Di sini untuk buang air kecil, kami 
dilarang keluar. Bahkan untuk buang air besar pun kami selalu 
dipersulit,” suara Roni menyambar dengan cepat.
“Buk.
 Buk! Hai…Jangan ribut!.” Suara pintu yang ditendang menggema dalam 
ruang sel. Pintu perlahan terbuka. Seorang petugas berdiri tepat di 
depan pintu ruang sel. 
“Tomi, Ato, Tono, Joni. Keluar!.  Kalian
 bebas. Kalian ditunggu di ruang Kepala,” perintah sang petugas. Ato, 
Tono, dan Joni perlahan menuju pintu. Aku masih terdiam. 
“Pak, kapan kami keluar?” tanya Rio setengah teriak. 
“Nanti, masih diproses!” jawab petugas sekenanya. 
Aku mendekati Rio, Aco, Udin, dan Roni sambil berkata sedikit berbisik, “Maaf kawan, kami duluan. Nanti kalian meyusul.”
“Betul?” ucap keempatnya hampir bersamaan.
“Selamat tinggal.” Kulangkahkan kaki begitu ringan.
Þ
Segelas
 kopi terhidang di atas meja. Di halaman belakang, di samping kolam 
renang, sebuah kursi panjang melintang menghadap ke kolam. Pagi yang 
begitu indah. Burung-burung berkicau. Embun pagi belum lagi hilang.  
Aku duduk dan segera meraih surat kabar pagi yang tergeletak di atas meja.  Di halaman depan, judul berita terpampang dengan huruf besar, Empat Orang Narapidana Bunuh Diri di Ruang Selnya.              
Kutarik nafas dalam-dalam. “Kalian memang tidak pantas mendengarnya.”
Kulihat Joni melangkah dengan cepat ke arahku. 
“Sudah baca koran hari ini.”
“Sudah.”  
“Bagaimana rencana selanjutnya?” 
“Berdasarkan
 perintah, kita harus lebih hati-hati lagi. Gerakan kita akan terus 
berjalan sesuai rencana. Jangan sampai tinggalkan jejak.”
“Kalau begitu, kita kumpulkan kembali teman-teman.”
Palopo-Makassar,28 Des. 2000- 23 April 2001


0 comment