-->

Sunday, February 25, 2018

Cahaya-Cahaya di Atas Langit

Cerpen Idwar Anwar
DI DALAM gubuknya yang reyot, di dalam bilik yang tidak terlalu luas dengan sebuah ranjang tua, Dullah terbaring berselimutkan kain kusam. Tak seorang pun menemaninya. Sejak  istrinya meninggal dua tahun lalu, ia hidup sebatang kara. Kasim, anaknya yang semata wayang  pun, setahun lalu telah mendahuluinya. Di  pinggiran desa yang sangat terpencil, lelaki berusia 70 tahun itu menghabiskan sisa-sisa  hidupnya.
Dullah masih terbaring letai. Wajahnya lesi. Tubuhnya nampak kurus dibalut pakaian yang beberapa hari tak pernah digantinya. Sejak tiga hari lalu, Dullah merasa seluruh tubuhnya terasa sakit dan sangat sulit digerakkan. Ia tak pernah ke luar rumah.  Selama itu pula, tak satu pun penduduk yang datang menjenguknya. Jarak gubuknya dari rumah-rumah penduduk memang cukup jauh.
Di luar angin berhembus, disertai renai hujan yang turun sejak menjelang petang. Daun-daun berjatuhan dan bayangan pepohonan yang tumbuh di pekarangan, terlihat laksana sosok raksasa yang berdiri angkuh. Suara serangga malam mulai bernyanyi. Perlahan Dullah menggerakkan tubuhnya dan beranjak menuju jendela. Sejenak pandanganya mengembara di halaman rumahnya yang nampak kotor oleh dedaunan yang berserakan. Ia menghela nafas. Matanya terpejam sesaat, lalu menutup jendela perlahan. Suara jendela menderit.
Dullah kembali merebahkan tubuhnya. Ditariknya selimut. Di luar, kegelapan semakin menggelayut. Detap-detap renai  hujan masih terdengar menimpa atap rumbia,  menetes dan meletis membasahi lantai kamar yang dingin. Dari celah-celah jendela, angin mendesir dan menyusup menerpa tubuh Dullah yang kian lemah. Sesekali ia menarik nafas panjang. Begitu berat.  Bibirnya bergetar.
Malam bertambah pekat. Angin mendesut dan meluruhkan dedaunan. Pohon-pohon bergerak saling bertabrakan. Dullah makin mendekap selimut yang menutupi tubuhnya. Bibirnya bergetar dan wajahnya kian lesi. Matanya sesekali terbuka. Dilihatnya jendela yang semula telah ditutupnya, tiba-tiba terkuak. Ada cahaya yang melesat masuk ke kamarnya. Satu, dua, tiga, cahaya itu bahkan bertambah banyak, hingga memenuhi biliknya. Dullah hanya menatapnya tanpa ekspresi.
“Siapa  kalian?” Suaranya begitu lemah.
Cahaya-cahaya itu hanya berputar, bermain, seolah saling berkejaran. Bahkan sesekali mencecah tubuh Dullah.
“Siapa kalian? Dari mana? Mau apa?”
Tak ada jawaban. Cahaya-cahaya itu masih terus berputar-putar dan sesekali melesat keluar dan pudar di kegelapan, di antara gerimis dan dedaunan yang terlepas dari tangkainya.
“Mengapa kalian hanya diam?” Suara Dullah terdengar lemah. Ia berusaha bangkit, tapi tak mampu. Tubuhnya terasa berat. Angin dingin yang menerobos melalui jendela menggigilkan tubuhnya.
Di antara jaring-jaring laba-laba yang banyak menggelayut di langit-langit biliknya, cahaya-cahaya itu terus saja berputar, seolah bermain begitu riang. Cahaya-cahaya itu semakin banyak. Dullah kembali berusaha bangkit. Tapi tetap tak mampu. Tubuhnya terasa berat. Bibirnya yang pucat bergetar.
“Siapa kalian?” Suaranya berat, bergetar dan semakin lemah, bahkan hampir tak terdengar.
“Kami dari langit dan ingin menemanimu.”
“Tapi aku tak butuh ditemani oleh kalian. Aku hanya butuh istri dan anakku. Aku tak butuh kalian.”
“Kami ingin mengantarmu menemui istri dan anakmu.”
“Tapi mereka telah tiada. Mereka telah lama dipanggil. Aku tak mungkin lagi dapat melihatnya.”
“Kami ingin mengantarmu menemui mereka. Mereka juga sangat merindukanmu. Dan kamu diperkenankan untuk bertemu mereka.”
“Betulkah...?”
Belum sempat Dullah meneruskan kata-katanya, dengan sekejap cahaya-cahaya itu menyelubungi tubuhnya. Tubuh renta itu pun melayang perlahan. Dullah merasa tubuhnya begitu ringan. Ia melayang terus ke langit, di antara renai hujan dan angin yang bertiup kencang. Dilihatnya angin saling berkejaran di antara hujan yang melintasinya dan tak membuatnya basah.
Tubuh Dullah terus melayang meningkahi lintasan spektrum tanpa batas. Terbang melintasi cakrawala, ringan bagai kapas. Lalu perlahan cahaya-cahaya itu satu persatu melesat meninggalkan tubuhnya. Semua terbang seperti bermain dan bersendagurau. Ia merasakan kesejukan tatkala cahaya-cahaya yang menemaninya mencecah tubuhnya dan setiap sentuhan ada getaran yang tersisa. Tubuh Dullah melayang menyusuri langit. Benderang di sana-sini.
Dilihatnya ke bawah. Tubuhnya masih terbaring berselimut kain kusam pemberian istrinya sewaktu sakit. Ia melihat ruang dan waktu terpenjara. Jauh…. Waktu menggapai-gapai.  Ia pun terus saja melayang dan hinggap di alam lain yang sungguh begitu asing baginya. Pandangannya menyapu alam yang begitu aneh. Tak ada sesuatu pun yang sama dengannya.  Binatang dan semua wujud yang pernah  ada dalam memorinya tak  ia temukan di sini. Semuanya hanya cahaya yang beterbangan kian kemari.
“Alam ini hanya dipenuhi oleh cahaya. Semuanya hanya cahaya. Sama seperti cahaya-cahaya yang bermunculan di bilik kamarku.” Ia kebingungan. Ditebarkannya kembali pandangannya. Yang ada hanya cahaya-cahaya yang bergerak tak teratur. Dan cahaya yang semula menemaninya pun tak ia kenali.
Cahaya-cahaya itu terus saja bermain dan seolah saling berkejaran. Dullah merasa semakin aneh di alam yang baru dilihatnya.  Tak  ada yang ia kenali. Cahaya-cahaya itu semuanya sama. Semuanya meningkahi alam yang tak pernah ia saksikan selama ini, bahkan dalam mimpi sekali pun.
“Di mana anak dan istriku, katamu!”  teriaknya ke arah kerumunan cahaya-cahaya di hadapannya.
Tak ada jawaban. Cahaya-cahaya itu masih saja beterbangan. Begitu banyak, seolah memenuhi alam.
“Di mana istri dan anakku?” Kembali Dullah berteriak. Semakin  keras, hingga terbatuk-batuk.   
“Bapak, aku di sini.”
“Suamiku, aku di sini.”
Dua titik cahaya melesat menghampirinya. Dullah terperanjat. Suara yang selama ini begitu akrab di telinganya menggema, begitu jelas seakan pemilik suara itu tengah berdiri di sampingnya. Ia menatap dua buah cahaya yang melesat dan semakin dekat. Kedua cahaya itu sejenak berputar dan seketika keduanya berubah menjadi sosok manusia seperti dirinya. Dullah terperangah. Dilihatnya istri dan anaknya telah berdiri di hadapannya.
“Mengapa kalian berada di sini?” 
“Kami memang dikumpulkan di sini.”
“Kalian baik-baik saja?”
“Kami baik-baik saja.”
Dullah dengan penuh kerinduan menghambur ke arah istri dan anaknya. Orang tua itu ingin memeluk keduanya. Dullah begitu gembira dapat bertemu orang yang sangat dicintainya. Hingga tanpa ia sadari kedua bola matanya sembab.
“Aku begitu merindukan kalian.”
“Tapi mengapa bapak ada di sini?”
“Entahlah. Sebetulnya saat ini aku sedang sakit. Tapi entah dari mana datangnya, kulihat satu persatu cahaya masuk ke dalam bilikku. Cahaya-cahaya itu semakin lama bertambah banyak dan memenuhi kamar. Aku seperti terkurung dan tak dapat bergerak. Lalu, aku bertanya tentang mereka. Mereka kemudian berjanji akan mempertemukan aku dengan kalian. Aku begitu senang. Lalu tiba-tiba, smuanya terjadi begitu saja, aku merasa diriku begitu ringan. Aku melayang perlahan. Kulihat tubuhku masih terbaring. Dan aku melesat dengan cepat melintasi cakrawala. Cahaya-cahaya yang semula menemaniku satu persatu meninggalkan tubuhku.” Dullah terus menuturkan pengalamannya yang ia rasakan begitu aneh.
Istri dan anaknya hanya terdiam. Ditatapnya wajah orang yang dicintainya. Ada rasa iba yang terlihat di wajah mereka.
“Kami juga sangat merindukan bapak. Kami selalu memohon, agar bapak segera dipanggil dan kita dapat berkumpul di tempat ini.” Istrinya menatap Dulla begitu iba.
“Bagaimana keadaan istriku,” tanya Kasim, anaknya.
“Surti juga telah pergi, sebulan yang lalu. Apakah kalian tak pernah melihatnya?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, di mana ia sekarang? Aku juga ingin melihatnya!”
“Ia tak pernah bersama kami. Mungkin ia masih di bawah sana,” jawab istrinya sembari menunjuk ke arah tempat yang begitu gelap.
Dullah hanya terpaku mengikuti arah telunjuk istrinya. Ia tak mengerti. Dilihatnya hanya kegelapan.
“Tempat apa itu?”
“Tempat penyucian diri,”  jawab keduanya hampir bersamaan.
“Apa yang terjadi dengan Surti?”
“Entahlah. Tapi mungkin ia harus disucikan terlebih dahulu sebelum dibawa ke tempat ini.”
Orang tua itu masih tidak mengerti. Ia hanya terdiam. Mulutnya seperti terkunci. Hanya matanya yang tak pernah lepas menatap istri dan anaknya.
Diam. Hanya itu yang mampu Dullah lakukan. Begitu banyak yang tak ia mengerti tentang keadaannya sendiri. Terlebih lagi tentang keadaan istri dan anaknya. Atau tentang keberadaan cahaya-cahaya yang yang begitu banyak yang dilihatnya. Ia benar-benar tak mengerti.
Dullah tak mengerti, kerinduan macam apa yang telah menggerayangi dirinya. ia teka mengerti lagi akan dirinya. Semuanya berjalan begitu saja.
Hingga….
“Waktunya telah habis. Kami harus kembali. Bapak juga harus kembali.” Lalu kedua orang yang dicintainya itu menjelma cahaya dan melesat meninggalkan Dullah yang hanya mampu menatap diam.
Dullah masih saja terpaku. Ia seakan tak percaya pertemuan dengan orang yang dicintainya, hingga seberkas cahaya seketika menyelimutinya. Kehangatan terasa menyusup tiba-tiba. Dan ia pun melesat ke bawah meninggalkan cahaya-cahaya. Meninggalkan orang yang dicintainya yang  berada di antara cahaya-cahaya itu.
Tubuh Dullah terus melesat menjauhi cahaya-cahaya. Ia seakan ditarik dan dihempaskan. Tersentak. Ada sesuatu yang begitu aneh yang lelaki tua itu rasakan. Dullah melayang melintasi cakrawala. Dilihatnya gubuk dan tubuhnya yang masih terbaring. Ia tiba-tiba meronta sekuat  tenaga. Dullah tak ingin kembali. Lelaki tua itu ingin pergi bersama istri dan anaknya. Ia tak ingin kembali ke jasadnya. Dengan semua kekuatannya, Dullah terus meronta, membolak-balik dirinya, berusaha lepas dari cahaya yang menyelimutinya.
“Lepaskan aku. Aku tidak mau kembali. Aku ingin pergi bersama istri dan anakku. Aku ingin menemani mereka. Lepaskan….,”  teriaknya.
Kakinya menendang-nendang. Dullah menjerit sekencang-kencangnya. Tapi cahaya itu terus menyelimutinya. Ia terus menyelinap di antara angin dan dedaunan, lalu masuk ke dalam biliknya.
Tubuhnya  seketika terasa berat.  Dullah terhenyak.
“Mengapa aku berada di sini. Bukankah….”
Cepat-cepat Dullah menebarkan pandangannya ke seluruh ruang biliknya. Hanya cahaya yang berpendar begitu menyilaukan yang bertengger di antara jaring-jaring laba-laba. Orang tua itu memicingkan mata. Cahaya itu telah menghalangi pandangannya.
“Mengapa kalian kembalikan aku,” hardiknya. Sekuat tenaga ia berusaha bangkit, lalu menunjuk-nunjuk ke arah cahaya di hadapannya. Namun tak ada jawaban.
“Mengapa kalian tega berbuat itu padaku. Kalian begitu tega membawaku kembali ke jasadku. Aku ingin bertemu kembali dengan istri dan anakku. Aku tak mau kembali ke sini. Jasad ini telah membelengguku puluhan tahun.” Ia terus menghardik, sembari berusaha bangkit. Tangannya menuding-nuding ke arah cahaya di depannnya.
“Kembalikan aku. Aku ingin bertemu Dia. Aku ingin bertemu….” Matanya seketika sembab. Dullah terus saja berteriak ke arah cahaya yang masih juga terdiam. Teriakannya semakin lama kian melemah. Akhirnya, ia pun terkulai.
Lalu cahaya itu dengan cepat menerjang tubuh Dullah.  Ia berputar mengelilingi tubuh tua yang terkulai tanpa daya itu.
“Dullah. Bangunlah. Kita akan kembali ke langit. Bukankah itu yang kau inginkan. Kerinduan akan Sang Kekasih itu telah membuat dirimu menjadi penghuni taman-taman indahnya.”
Perlahan Dullah bangkit, lalu melayang meninggalkan tubuhnya bersama cahaya yang menyelimuti. Ia melesat dan larut di malam yang pekat. Wajahnya nampak bercahaya. Angin yang sedari tadi berhembus, seketika mati. Di luar pepohonan tak satu pun yang bergerak. Bayangan dedaunan yang luruh disinari cahaya bulan, beku. Suara serangga malam tak lagi bernyanyi. Semuanya diam. Senyap. Malam yang hening. Oke

Makassar,  Muharram 1422 H

0 comment