Cerpen Idwar Anwar
Pada
 mulanya adalah ketiadaan. Lalu hidup dan mati menjelmakan diri. Mati 
menjelma ketiadaan hidup; hidup menjelma ketiadaan mati. Angin 
berkesiur. Lalu diam. Bayangan pepohonan bergerak. Kemudian hening. Satu
 persatu retas dalam hitungan-Nya. 
Dan…
 di bawah sepenggal langit yang tersisa. Di sana ada mati. Ada hidup. 
Tak ada keabadian. Maka satu persatu dedaunan gugur ke tanah. 
Burung-burung yang merentas langit kembali ke asalnya.  Kefanaan adalah keniscayaan dunia. 
Mati.
 Bagaimana mati bercerita tentang hidup. Ketika ketiadaan menanti di 
atas bumi. Adalah mengapa mati membuat tiadanya keniscayaan abadi. 
Mengapa mati menjadi sesuatu yang menakutkan? 
Lalu,
 bagaimana ketika seorang kakek yang telah tua renta hanya tersenyum 
manakala malaikat maut datang dan mengajaknya berjalan-jalan di angkasa,
 menyingkap tirai-tirai langit yang selama hidupnya hanya dapat 
ditangkap dengan matanya yang ternyata juga fana. Mungkin mati berlalu 
tanpa kesan. Tak ada sepotong tangis. Tak ada  kepedihan atau mungkin ketakutan.
“Siapa?”
“Aku. Malaikat maut.”
“Syukurlah. Akhirnya kamu datang juga.”
Dan
 ketika pertama malaikat maut mengetuk pintu, sang kakek berdiri membuka
 pintu dengan senyum tulus, lalu mempersilahkannya masuk dan duduk. Ia 
lantas bergegas ke belakang dan dengan tangan gemetar akibat ketuaan, 
datang membawa secangkir kopi dan sepiring singkong  rebus yang masih mengepulkan asap. 
Lantas, di  manakah
 mati, ketika malaikat maut datang? Ia malah duduk kemudian hanya 
bercerita dan bercanda dengan sang kakek. Ia tertawa. Bahkan sang kakek 
sampai terpingkal-pingkal, terlebih saat menyaksikan Sang Maut tertawa. 
Sang
 Maut bercerita. Bercerita tentang apa saja yang tak tertangkap oleh 
nalar orang tua renta itu. Dengan bahasa yang juga tak pernah dikenal 
sang kakek. Dengan suara yang juga tak pernah didengar dengan 
telinganya. Tapi, ia tahu, Sang Maut berkata jujur. Ia tahu, Sang Maut 
ingin mengajaknya pergi. Pergi ke tempat yang ia sendiri tak sanggup 
menjelaskannya dengan nalar kemanusiaannya yang hanya setitik air di 
lautan yang maha luas.
Sang
 Maut adalah tempat pertemuan. Dan mati bukanlah suatu peristiwa yang 
kejam. Ia hanya bagian dari sebuah rencana Maha Agung. Sang Maut terus 
bermain tanpa pernah merasa berdosa. Dan sang kakek adalah sebuah 
kerinduan yang menanti. Sang kakek adalah kepasrahan. Ia adalah 
kecintaan yang membuncah dan selalu menggelegar.        
Pertemuan
 seorang kakek tua dan Sang Maut adalah kepastian. Kerinduannya selalu 
hadir. Ada yang tak mereka mengerti. Pertemuan mereka adalah awal 
retasnya kefanaan. Keduanya adalah sedikit dari cinta yang agung. 
Maka,
 setelah berkemas. Sang kakek berjalan menghampiri Sang Maut. 
“Bagaimana…? Kita pergi sekarang?” ucap sang kakek sambil memegangi 
perutnya yang mules akibat tertawa.
Tapi Sang Maut kembali tertawa. “Sebentar lagi. Kau sangat lucu. Aku tak dapat menahan tawa. Aku senang bertemu denganmu.”
“Tapi
 ‘kan tugasmu untuk membawaku jalan-jalan? Membawaku meninggalkan tempat
 ini. Sebagai malaikat maut, engkau tak boleh lalai dalam melaksanakan 
tugas.”
“Iya, aku tahu. Tapi ini belum saatnya. Aku hanya datang menjengukmu.”
“Lalu
 kapan? Aku ingin sekali pergi ke tempat-tempat yang kau ceritakan tadi.
 Menurutku tempat itu sangat indah. Di dunia ini mana ada tempat semacam
 itu. Aku benar-benar ingin melihatnya. Menghirup bau bunga-bunganya 
yang pasti semerbak. Tak seperti semerbaknya aroma bunga-bunga di bumi 
tempatku mengais-ngais hidup ini.”
“Sabarlah.”
“Tapi kapan?
“Waktunya
 pasti akan tiba. Kamu juga nantinya akan terus berada di tempat itu. 
Kamu nikmati dululah pertemuan kita ini. Aku tahu kau sangat berbahagia 
dengan kedatanganku.” 
Dan
 Sang Maut terus saja tertawa. Lelaki tua itu juga tak mau kalah. 
Tawanya semakin berderai menyembulkan gusinya yang sudah tak bergigi. 
***
Namanya
 Daeng Rani. Lelaki renta dengan nasib renta hidup di sela-sela 
kerentaan batin manusia-manusia. Ia hanya bagian yang tak begitu penting
 dalam catatan panjang kehidupan manusia. Mungkin ia bahkan tak begitu 
penting bagi dirinya sendiri. 
Daeng
 Rani adalah hidup yang di dalamnya ada mati. Malaikat maut masih saja 
bersamanya. Duduk dalam ketiadaan. Martil-martil kematian telah 
digenggam dan di arahkan ke jantungnya. Kepergian baginya adalah 
kebahagiaan. Ia tahu dan tak mendustakan bahwa ruang dan waktu bukanlah 
miliknya. Ia tahu awal dan tak melupakan akhir.
Kematian
 adalah bayang-bayang. Kematian adalah kenangan. Kematian adalah 
kepasrahan. Kematian adalah keikhlasan. Kematian adalah keniscayaan 
hidup. Daeng Rani tahu itu. Daeng Rani lalu berdiri dan menatap Sang 
Maut yang masih duduk. 
“Bagaimana…? Kita pergi sekarang?”
“Sebentar
 lagi. Aku suka melihatmu. Orang sepertimu cukup jarang. Kalau yang lain
 akan ketakutan bila bertemu denganku. Mereka begitu takut kehilangan 
dunianya. Tubuhnya gemetaran. Bahkan sampai menjerit-jerit. 
Menjengkelkan! Kamu malah tertawa. Aku jadi geli melihatmu. Kamu 
benar-benar lucu.”
Tiba-tiba
 suara tawa Daeng Rani kembali menggelegar. Tubuhnya terguncang-guncang.
 Tangannya kembali memegangi perutnya yang mules: 
“Kamu
 juga sangat lucu. Mana ada malaikat maut wajahnya seperti kamu. Kamu 
menawan sekali. Sedang yang ada dalam benakku, malaikat maut itu 
wajahnya seram; menakutkan. Kamu tidak pantas menjadi malaikat maut. 
Wajahmu terlalu indah dipandang. Mana ada yang takut melihatmu.” Daeng 
Rani semakin tertawa. Suaranya menyeruak di antara kesunyian. 
Sang Maut kembali tertawa. Tawanya bahkan semakin menggelegar. 
“Itu menurutmu. Menurut penglihatanmu. Kamu tak melihatku dengan mata, tapi dengan hati.”
“Jadi
 aku aku harus melihatmu dengan mataku. Bukankah mataku tidak buta. 
Sejak tadi aku memandangmu dengan mataku yang terbuka lebar. Aku tahu, 
meski telah sedikit kabur, namun aku masih bisa menangkap garis-garis 
wajahmu dalam keremangan.  
“Kamu benar-benar lucu. Aku senang bertemu denganmu.”
Keduanya
 tertawa. Cahaya bulan muram. Titik air yang terpahat di dedaunan 
sesekali memantulkan cahayanya yang terkadang buyar dalam gelap. Bunyi 
kepak sayap burung hantu melengking di kejauhan, meninggalkan suara 
gemeresek saat menerobos rimbunan dedaunan. 
“Sudahlah! Kita pergi sekarang. Aku sudah sangat ingin melihat tempat yang kau ceritakan itu.”
Di
 kejauhan, lamat-lamat suara burung hantu lenguh menyeruak kesunyian. 
Sang Maut kemudian terdiam. Daeng Rani terpaku. Dinding kamarnya 
menjelma batu. Ada hitam. Ada gelap. Lantainya menjelma langit. Ada 
awan. Ada  bulan yang bercahaya. Ada bintang yang berkerlip. Suara angin berhembus begitu lembut.
Sang
 Maut masih duduk. Dan Daeng Rani, dunia baginya adalah mimpi. Kepergian
 adalah sebuah kedamaian bagi jiwa. Ia ingin meninggalkan tubuh yang 
telah memenjarakannya. Tapi Sang Maut masih duduk. Ia masih tetap 
tertawa melihat Daeng Rani yang mematung.
“Baiklah
 kalau kamu belum mau membawaku pergi sekarang. Tapi terus terang aku 
sudah muak di tempat ini. Aku merasa tersiksa. Kalau memang kau ingin 
menolongku, cepatlah bawa aku pergi.” 
“Kamu memang benar-benar lucu. Ada orang yang sangat takut kubawa, sedang kamu malah sebaliknya.”
Daeng
 Rani terdiam. Ada diam di antara mereka. Diam yang senyap. Tapi belum 
tentu diam bagi jiwa yang gelisah. Bahkan tidak akan mungkin diam bagi 
jiwa yang rindu. Diam hanya ketiadaan suara yang tertangkap oleh 
telinga. Diam hanya ada dalam realitas eksternal. Maka ketika Daeng Rani
 dan Sang Maut diam, mereka sebenarnya sedang berbincang sambil tertawa.
 Tertawa dalam rindu yang menggerayangi totalitas penghambaan keduanya. 
Malam
 semakin senyap. Suara-suara serangga meski lenguh, tapi semuanya masih 
menyisakan sesuatu bagi malam. Daeng Rani duduk. Bola matanya sesekali 
mendekam dalam pelupuknya. Sang Maut masih tafakur. Kesiur angin 
menerbangkan gaun putihnya. Daeng Rani terpana.
Sang
 Maut lalu membawanya pergi melintasi ruang dan waktu. Jauh. Bayangan 
bumi menjauh dan tertinggal di tepi pandangannya. Di atas langit ada 
cahaya yang berpendar. Keduanya melayang menyusur keabadian. 
Daeng
 Rani terkesiap. Lalu tersenyum. Ada yang lain dalam dirinya. Ada yang 
kini ia mengerti dan semakin ia pahami. Semuanya benar-benar jelas. Tak 
ada lagi hijab. Ia tahu Sang Maut tidak akan pernah membohonginya. 
Lalu,
 mati…. Tubuhnya membujur di atas kasur berbalut seprei kusam. 
Ditatapnya penjara bagi ruhnya itu dalam-dalam. Daeng Rani tersenyum. 
“Selamat tinggal.” 
Tapi,
 tak ada yang tertinggal. Tak ada yang hilang. Tak ada yang kurang. Tak 
ada…. Semuanya begitu sempurna. Daeng Rani benar-benar mengerti. Sang 
Maut terus membawanya melintasi semua yang selama ini tak pernah 
tertangkap oleh matanya. Setiap pandangan adalah cahaya-cahaya. Setiap 
gerak adalah ketiadaan kesiur angin. 
“Selamat tinggal,” ucapnya kembali membatin.
Tak
 ada sesal…. Tak ada sedih…. Sang Maut memang tidak pernah berencana. Ia
 hanyalah pemain. Dan Daeng Rani juga adalah pemain. Keduanya terus 
bermain dalam sebuah lakon panjang dan baka. Keduanya terus menjauh dari
 kefanaan.
Jauh.
 Kefanaan tersesap baka. Keduanya terus melesat. Tak ada lagi beban yang
 Daeng Rani rasakan. Ia mengembara di alam yang begitu sulit ia 
lukiskan.  Kerinduannya semakin besar. Semakin jauh 
meninggalkan dunia, ia merasa kian dekat dengan kerinduan. Tak ada 
kehampaan yang tersisa. Semuanya menjelma dalam berlaksa makna.
Kerinduan
 membuatnya tak lagi ingin kembali. Dibuangnya jauh-jauh kefanaan yang 
telah memenjarakannya. Ia sungguh tak ingin lagi kembali. Ia ingin 
menjelma sebuah keabadian. Keabadian yang selalu dinantikannya. Hidup di
 sebuah alam yang penuh dengan kerinduan dan cinta.  Ia benar-benar tak ingin kembali.
Tapi…
 semuanya terjadi begitu cepat…. Lalu, hidup. Ada yang tiba-tiba 
memuakkannya. Seketika ia kembali terpenjara dalam jasad yang telah 
ditinggalkannya. Tak dapat bergerak. Tak ada kuasa. Yang tersisa hanya 
ketersiksaan. Kesedihan begitu garang menampakkan wajahnya. 
Tangan-tangannya menjulur beringas berusaha keluar dari tubuh yang 
dengan cepat kembali memenjarakannya. 
Daeng
 Rani terkesiap…. Sang Maut pun bergegas meninggalkannya. Ruang dan 
waktu tiba-tiba mengungkungnya. Ia meronta. Terus dan terus. Sang Maut 
berlalu tak peduli. Pergi menjauh, ke tempat yang pernah disaksikannya. 
“Mengapa
 malaikat maut tak membawaku. Bukankah secangkir kopi dan sepiring 
singkong rebus yang masih hangat adalah sebuah kebaikan? Atau tak 
cukupkah jika ditambah dengan keramahan dan keikhlasan?” Daeng Rani 
terpaku.
“Mengapa
 malaikat maut tak lagi menertawaiku sebelum ia bergegas pergi 
meninggalkanku? Katanya aku begitu lucu. Padahal aku merasa tidak. Tapi 
biarlah. Aku tak perduli semuanya. Bukankah itu juga adalah sebuah 
kebaikan? Yang kuinginkan hanyalah pergi bersamanya….”
Lalu hening…. Daeng Rani terus menanti. Kerinduan pada Sang Maut begitu menggelisahkannya. 
Berjam-jam.
 Berhari-hari. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Sang Maut tak juga 
menampakkan diri. Setiap hari Daeng Rani hanya duduk di depan rumahnya. 
Segelas kopi dan sepiring singkong rebus yang masih mengepulkan asap 
terhidang di atas meja. Tapi Sang Maut tak juga kunjung datang. 
Hingga…
Di
 suatu malam yang pekat. Cahaya bulan terhisap oleh tumpukan awan hitam.
 Angin tak lagi berkesiur dengan ramah. Malam yang membutakan. Sungguh 
memabukan.  
“Siapa di luar?”
“Aku.” Seorang dengan wajah yang tertutup kain hitam muncul di balik pintu yang terbuka dengan paksa.
“Siapa kau?”
“Orang yang akan membunuhmu.”
“Akkhh…!” 
Tubuhnya seketika gemetar. Butiran-butiran keringat bermunculan dari seluruh pori-porinya. 
“Mengapa kau bukan malaikat maut?” 
“Aku juga malaikat maut.”
Lalu malam menjelma kebisuan. Sepotong nisan berdiri kaku. (Ok)
Makassar, April- Mei 2001


0 comment