-->

Friday, February 23, 2018

Televisi

Cerpen Idwar Anwar

Dengan penuh rasa dongkol yang mengganjal, televisi yang baru kubeli beberapa minggu lalu, yang masih larut dengan siaran  telenovelanya, kutinggalkan. Beribu kuman-kuman kurasakan hinggap di kepalaku sambil tertawa terbahak-bahak.  Aku begitu muak dengan siaran televisi sore itu.
Betapa tidak, setiap bersantai di sore hari sembari menonton televisi, aku selalu  dikerubungi anak-anak dan  ibu-ibu  yang selalu memaksaku larut dalam kegemaran mereka, telenovela atau jika malam mereka selalu larut dengan tayangan sinetron. Aku selalu digiring  ke  dalam dunia yang begitu  kubenci. Ya, terus terang saja aku tidak senang dengan kedua tayangan yang bagiku memuakkan itu.
Sejak warga desa mengetahui aku pulang dari kota membawa televisi  dan antena parabola, rumahku setiap hari,  baik  siang maupun  malam, selalu saja dipenuhi para tetangga yang ingin menonton telenovela atau sinetron. Maklum di desaku, baru aku dan  kepala desa  yang memiliki televisi dan antena parabola untuk menangkap siaran tv.
Dan  beberapa hari sejak saat itu pula, aku selalu dihantui kuman-kuman telenovela itu. Hari-hari yang kulalui sejak teknolo­gi  informasi  tersebut hadir di rumahku,  begitu  memuakkan. Aku seperti digiring ke dalam dunia yang benar-benar  asing.
Setiap hari aku harus dijejali film-film telenovela yang sangat menyiksa batinku. Dan yang mengherankan, telenovela atau sinetron  ini tidak pernah  habis-habisnya bahkan ada yang sampai berseri. Belum lagi telenovela yang tidak pernah habis-habisnya didatangkan dari Amerika Latin yang    menur­utku sangat  jauh berbeda dengan budaya  kita. Namun, berbagai telenovela dan sinetron yang ditayangkan di televisi itu, semakin banyak digemari warga desa termasuk istri dan anak-anakku.
Ah, entahlah. Yang jelas aku begitu muak dengan siaran tele­visi sore itu. Aku heran mengapa warga desaku begitu doyan dengan film-film seperti itu. Padahal bagiku siaran itu begitu memuakkan dan tak sedikit pun memiliki muatan edukatif utamanya bagi anak-anak. Bagiku semua itu semata-mata hanya film-film komersial.
Dan yang membuatku juga heran, jika kupancing dengan memin­dahkan chanel, mereka ramai-ramai protes. Seolah-olah aku  telah merampas  hak mereka. Dan seolah-olah pula televisi  yang kubeli itu milik mereka atau memang khusus kubeli untuk mereka. Padahal  aku merasa merekalah yang telah merampas hak dan kesenanganku. Dan  istriku  serta anak-anak yang kucintai  pun seakan  sepakat beramai-ramai ikut melakukan hal yang  sama.  Aku bahkan  dipaksa untuk tidak memiliki kesenangan dan pilihan lain kecuali  harus ikut dengan keinginan dan kesukaan mereka;  warga desa, istri, dan anak-anakku.
Sebenarnya, aku tidak mau ambil pusing. Sebab, aku bisa saja menonton berita, acara kegemaranku yang disiarkan di malam hari. Namun, aku merasakan ada yang telah  rusak dari  warga desa, istri utamanya anak-anakku. Aku merasa  kasihan dengan mereka. Mereka telah digerogoti oleh khayalan khayalan yang memuakkan. Anak-anak dan anak-anak tetanggaku pun telah larut dan terkontaminasi dengan segala sesuatu yang sepantasnya tak perlu mereka lihat, dalam usia mereka yang masih bau kencur.
Suatu sore, aku memaksakan diri untuk larut dengan kegemaran mereka. Saat itu rumah panggung yang kubangun 6 tahun lalu yang luasnya hanya  7x6 meter dengan dinding gamaccaq dan berlantai papan dengan model arsitektur Bugis, seperti bioskop. Penuh dan terasa begitu sumpek. Anak-anak, sampai orang tua berjubel menanti penanyangan sebuah telenovela yang ditayangkan di sebuah stasiun tv swasta.
Aku pura-pura larut dalam perbincangkan mereka tentang sosok tokoh dalam telenovela tersebut, baik yang dibenci maupun yang  mereka senangi. Atau melihat mereka yang tidak sempat menyaksikan episode lalu, beramai-ramai bertanya pada orang yang menyaksikannya, agar tidak ketinggalan dan dapat menyambung dengan cerita yang sebentar lagi akan mereka saksikan. Saat itu aku memang ingin masuk ke dalam dunia mereka dengan ikhlas. Dan menyaksikan dengan ikhlas pula dunia yang selama ini begitu kubenci. Aku  ingin merasakan dan menghayati, seperti penghayatan mereka ketika menonton telenovela atau sinetron yang ketika chanel kupindahkan, mereka ramai-ramai protes, seakan-akan aku telah merampas hak mereka. Aku tidak ingin lagi dipaksa dan digiring untuk masuk ke dalam dunia mereka. Aku ingin ikut dan larut dengan ikhlas. Ya, penuh keikhlasan. Semoga. Kulihat istriku nampak sedikit senang menyaksikan keha­diranku di tengah-tengah mereka. Berbaur  dengan tetangga dan bercerita tentang telenovela yang kini telah mulai ditayangkan.
Memang tidak seperti biasa, aku selalu menghindar dan mengeram di kamar ketika mereka sedang asyik menonton telenovela. Tapi beberapa saat setelah berusaha untuk ikut dan larut dengan ikhlas, aku sadar, ternyata aku memang tidak dapat melakukannya. Aku merasa tidak sanggup memaksakan diri untuk ikhlas. Sebab, nuraniku memang tidak menginginkannya.  Hati kecilku telah menyatakan TIDAK.
Namun, aku masih tetap berusaha, meski saat itu yang kurasakan, kepalaku mulai pusing. Mungkin warga desa, istri, anak-anakku merasa aku telah berubah dan tidak lagi memusuhi sesuatu yang mereka sukai. Tapi, aku tak  ambil pusing. Aku memang harus tahu bagaimana rasanya menonton telenovela yang telah membuat warga desa, istri  dan anak-anakku seperti ketagihan. Ya, aku memang harus merasakan-nya. Aku harus merasakan bagaimana dahsyatnya virus ini. Virus yang telah menggerogoti warga desa dan keluargaku.
Perkenalanku dengan  telenovela ini memang tidak terlalu memberikan kenangan manis. Bahkan berakhir dengan kumatnya penya­kit darah tinggi yang kuderita setahun yang lalu. Saat itu, aku memang hanya merasakan kepalaku begitu pusing dan tiba-tiba rasa mual menyerangku. Virus-virus di kepalaku terasa semakin mengger­ogoti.  Bahkan ketika sedang berada di kamar setelah perkenalan perdanaku dengan telenovela, aku jatuh pingsan.
Ketika siuman, kulihat istriku masih nampak kebingungan. Tatapannya seakan menuntutku untuk memberikan penjelasan. Namun, kepalaku masih terasa berat dan pening.
”Bapak kenapa?” tanyanya dengan wajah miris. Aku hanya diam. Mataku kuarahkan ke rambutnya yang panjang terurai dengan warna hitam pekat.
“Dia memang cantik,” gumanku dalam hati. Wanita yang begitu kucintai itu telah memberiku empat orang penerus yang dititipkan Tuhan.
“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya merasa pusing. Mungkin terlalu capek.”
“Aku buatkan kopi, ya?” Aku hanya mengangguk. Tubuhku masih terasa lemas.
Kurebahkan kembali tubuhku di atas pembaringan. Aku merasa telah membuat dosa besar dengan menjerumuskan warga desa dan istriku ke dalam dunia telenovela, dunia yang seharusnya tak mereka saksikan jika saja aku tak membeli televisi dan antena parabola itu. Dan yang paling kusesali, aku telah menjerumuskan anak-anakku dan anak-anak warga desaku, ke dalam lembah yang paling dalam. Sebuah dunia yang kuanggap hitam bagi generasi muda.
Perasaan bersalah benar-benar merasuki batinku. Namun, aku mencoba untuk tidak menampakkan keresahan itu di depan warga desa, isteri serta anak-anakku. Aku bahkan tetap berusaha untuk selalu bersama mereka, jika sedang menonton telenovela.
Namun tanpa kusadari, kebiasaan ini telah menjeratku ke dalam dunia yang begitu gelap. Hari- hariku terasa begitu menyiksa sejak berusaha ikhlas mengikuti petualangan mereka dengan berbagai tayangan telenovela itu.
Aku selalu dihantui rasa bersalah. Aku selalu memikirkan anak-anakku yang semakin larut dengan adegan-adegan dalam film itu. Aku selalu memikirkan tetangga dan anak-anaknya yang seakan tidak dapat melepaskan diri dari jeratan film itu dan aku juga memikirkan istriku.
Perasaan bersalah ini semakin menggerogori batinku. Perasaan berdosa terhadap anak-anakku dan anak-anak tetangga semakin mencekik urat-urat leherku. Aku terasa dicekik tatkala menyaksikan mereka selalu asyik dengan godaan-godaan telenovela. Mungkin mereka lebih mengenal Paulina,... dari pada Sultan Hasanuddin, Andi Jemma, Arung Palakka, Pangeran Diponegoro atau beberapa Pahlawan Revolusi. Benar-benar ironis.
Suatu waktu aku sedang menonton bersama anak-anak yang masih ingusan. Saat itu adegan ciman sedang ditayangkan dengan jelas oleh televisi sialan yang kubeli. Iseng-iseng kusaksikan wajah lugu anak-anakku dan anak-anak tetangga. Mereka nampak tersipu. Tak sedikit pun memalingkan wajah, padahal saat itu aku pura-pura mendehem.
Mereka seperti tidak merasa malu menyaksikan adengan itu. Padahal beberapa orang tua berada di sekitar mereka. Tiba-tiba rasanya aku ingin menampar wajahku sendiri. Aku begitu malu melihat anak-anakku dan anak-anak tetangga menyaksi­kan adegan ciuman itu sambil tersipu. Bahkan di mataku, mereka sepertinya sedang membayangkan adegan itu, seolah-olah mereka pernah melakukannya.
”Ah, benar-benar memuakkan! Sangat memalu-kan!” batinku.
Aku bahkan ragu dengan generasi yang kusaksikan ini. Seketika darah yang mengalir ke kepalaku terasa semakin deras menghantam pembuluh-pembuluh darah di otakku. Pandanganku mulai mengabur.
Perla­han kutinggalkan mereka yang masih saja larut dengan mimpi-mimpi di depan televisi brengsek yang kubeli.
”Aku telah merusak mereka. Aku telah merusak mereka. Aku telah merusak warga desa, istriku dan anak-anakku,” jeritku membatin di dalam kamar.
Tiba-tiba tubuhku menggigil. Dan sesaat kemudian, aku tak sadarkan diri. Ketika sadar, kulihat istriku nampak masih panik. Raut wajahnya seperti orang kebingungan. Perlahan ia duduk di sisi pembaringan. Aku mendekapnya begitu erat.
“Maafkan aku. Aku telah menjerumuskan kalian. Aku telah merusak kalian!” Kulihat wajahnya semakin kebingungan. Namun, ia masih saja terdiam. Kulihat anak-anakku satu persatu berdiri di tepi pembar­ingan.
”Bu, aku ingin menjual televisi dan antena parabola itu. Aku telah merusak kalian dan warga desa ini.”
Mendengar maksudku, istri dan anak-anakku tersentak. Mereka dengan begitu sigap dan mata yang melotot, protes. Mereka tidak setuju. Kulihat anakku yang bungsu berlari ke luar rumah. Entah untuk apa.
Kini aku yang kebingungan. Aku tak menyangka mereka akan bersikap seperti itu.
”Tapi aku melihat televisi dan telenovela itu telah merusak kalian dan warga desa ini. Anak-anak kita bahkan  anak-anak  te­tangga tidak pernah lagi belajar, mereka semua asyik menonton. Bahkan tingkah-laku mereka kulihat semakin menyimpang. Aku begitu takut, mereka semua rusak gara-gara telenovela itu. Dan biangnya adalah aku.”
Aku berusaha memberikan berbagai alasan tentang niatku itu. Namun, mereka malah semakin marah. Tiba-tiba aku melihat istri dan anak-anakku seperti dalam adegan telenovela; melawan, membentak-bentak dan mengata-ngatai. Aku semakin terperanjat.
Dan di luar rumah, suara-suara meng­gelegar berseliwerang menghantam gendang telingaku. Tak kusangka, maksudku menjual televisi itu telah tersebar di seluruh desa. Aku tak  percaya. Kulihat hampir seluruh warga desa beramai-ramai menggelar spanduk. Mereka protes terhadap maksudku yang berniat menjual televisi yang kuanggap telah merusak genera­si muda dan warga desa serta keluargaku  sendiri.
Aku  melihat mereka seperti orang-orang yang telah dirampas haknya. Dan pela­kunya adalah aku. Tiba-tiba pandanganku mengabur dan kulihat awan hitam men­yerang kesadaranku. Aku terjatuh dan tak sadarkan diri. Di mataku, sebuah serial telenovela yang selalu dinantikan warga desa, istri dan anak-anakku, tertayang di televisi yang kubeli sebulan yang lalu. Dia seakan mengejekku. Seketika itu keben­cianku menggunung. Aku ingin membunuhnya. Ya. Seketika aku ingin menjadi pembunuh.

Makassar, 1 Desember 1999

Catatan:                Gamaccaq = dinding yang terbuat dari anyaman bambu atau pelepah sagu.

0 comment