Cerpen Idwar Anwar
DI LUAR kegelapan mulai menggelayut. Matahari memar di kaki langit menyisakan luka
bakar di cakrawala. Gelap bagai kerumunan kelelawar yang begitu garang
menghisap sisa darah yang basah pada langit. Cahaya bulan pucat pasi
mengerjap-ngerjap di antara dedaunan yang gelisah tertiup angin. Bayangan
pepohonan tafakur.
Lalu, di antara pepohonan, suara-suara
burung hantu resah. Dan di kejauhan rintihan terdengar menyayat dari mulut
orang-orang. Ketika cahaya bulan tertimbun gerimbunan awan hitam yang
saling bertaut. Ketika cahaya bulan yang melekat di dedaunan perlahan
tersesap gelap. Ketika gelisah mengecambah dan malapetaka meretas kedamaian.
Sebuah kerinduan bagai gemuruh ombak menerkam di dada.
Jerit ribuan kelelawar yang menjuntai di
atas kuburan tua, menyisakan pilu. Di atas kuburan tua, langit bercerita tentang masa silam. Suara angin mendesir menyusup memecah di
antara jerit suara-suara jangkrik. Lalu diam. Sunyi menjalar.
Burung-burung tak lagi merentas di kaki langit. Masa lalu
menjadi sebuah cerita yang memilukan. Rengsa seolah menjelma keabadian.
Cahaya-cahaya berpendar, lalu lenyap meninggalkan gelap. Sisa-sisa kesunyian
dan udara dingin meremangkan bulu roma. Angin sesekali berkesiur. Lalu malam
menjelma ngarai. Sunyi menebah resah.
***
Begitulah, setelah kesunyian yang
menggelisahkan itu berlalu, cahaya-cahaya berpendar dan melayang di angkasa.
Kadang pula menyisakan erang. Perih menyayat. Langit benderang dan angin
berdesir lembut. Suara lolongan anjing, kabarkan berita ketiadaan fana; kematian yang meretas mimpi.
Lamat-lamat suara tahlilan masih terdengar
lembut tertiup angin malam yang dingin. Kulihat ibu terisak. Matanya sembab
oleh air mata. Dari bibirnya suara lirih
lenguh menyebut namaku. Di depannya jasadku terbujur kaku.
“Lihatlah, ibumu begitu bersedih. Ia
benar-benar kehilangan.”
Cahaya yang sejak pertama menemaniku
memelukku.
“Ibumu sangat menyayagimu.”
Beberapa tetangga nampak berusaha untuk
menenangkan ibu. Desis suara rintihan ibu masih terdengar. Pilu…. Begitu menyayat. Kudekati tubuh ibu
yang masih terisak-isak. Udara yang bertiup membuat tubuhnya menggigil. Aku
berusaha mendekapnya. Kuusap wajah ibu
yang mulai berkerut.
“Bu, aku di sini. Di dekatmu. Aku akan
menemani ibu.”
Kucium dahinya. Lembut….
“Ibu, aku di dekatmu.”
Ibu mendadak tersentak. Sejenak ia
terdiam. “Aku mencium bau anakku. Ya. Aku mencium baunya. Ia pasti masih ada di
dekatku.”
Para tetangga seketika terperanjak. Mereka
saling berbisik. Beberapa di antaranya mendekati ibu dan berusaha
menenangkannya.
“Anakmu pasti sedang berbahagia.”
Namun ibuku nampak gelisah. Meski tak ada
resah.
“Betul ibu, aku sangat berbahagia di sini.
Aku seakan bangun dari tidur panjang. Tubuhku seakan terlepas dari penjara dan
melayang di angkasa.” Kubelai rambutnya yang telah banyak memutih.
“Tapi aku mencium bau anakku,” jeritnya
lalu kembali menangis. Perempuan-perempuan yang berada di sampingnya pun akhirnya
juga ikut menangis.
Mereka menganggap ibu sedang menghayal.
Aku berusaha menenangkan ibu. Tapi ia tak menyadari kedatanganku. Air matanya
masih saja mengalir membasahi pipinya. Sesekali ia menyeka dengan sapu tangan
yang disulamnya sebagai hadiah ulang tahunku. Di situ namaku tergurat indah
dengan warna biru kesukaanku. Dan di bawah namaku, tertulis dengan benang
keemasan, hari, tanggal, bulan dan tahun kelahiranku. Bahkan jam, dan menit tak
lupa ibu sulamkan.
Sebuah masa silam yang terukir indah dalam
genggamanya. Bibirnya terus memempel di guratan namaku. Aku merasakannya.
Sentuhan kasih sayang seorang ibu. Hari-hari di masa purba telah kulewatkan
bersamanya. Ada selarit jerit kerinduan yang membuncah di dadanya. Suaranya
lirih tak henti-henti menyebut namaku.
Kembali aku mengusap wajahnya. “Ibu
bersabarlah. Ini aku, Amin, anakmu. Aku sedang mengusap wajahmu, menyeka bening
air matamu dan membelai rambutmu yang masih tergerai panjang.”
Ibu malah semakin menangis. Suaranya kian
menggema. “Aku mencium bau anakku. Ia berada di dekatku. Aku benar-benar
mencium baunya.”
Aku melayang dan berputar di atas kepala
ibu. Lalu cahaya yang menemaniku juga turut berputar mengikuti gerak hatiku.
“Ibu ini aku. Aku di atas kepalamu.... Aku
bersama malaikat. Lihatlah cahaya-cahaya di atas kepalamu.”
Aku kembali menciun keningnya. Tenang.
Kerinduanku bagai gemuruh badai yang tiba-tiba saja hening tatkala berumah di
bening mata ibu.
“Anakku…. Aku mencium baunya. Ia berada di
dekatku,” jeritnya dengan air mata yang kian mengalir membasahi pipinya.
Disekanya sesekali, lalu kembali menangis.
Perempuan-perempuan yang berada di
sampingnya kembali menenangkan ibu. Mereka membawa ibu ke dalam kamar.
“Berbaringlah dulu. Tenangkan perasaanmu.”
Tubuh ibu masih terguncang-guncang oleh
tangisnya yang semakin keras. Kulihat
tubuhku masih terbujur kaku terbungkus kain kafan. Seorang lelaki tua, bersila
di samping tubuhku. Lalu mulutnya komat-kamit membacakan doa. Suasana hening.
Hanya suara isak yang tertahan terdengar sesekali dari ruang bilik ibu.
Setelah semuanya selesai, beberapa orang
mengangkat tubuhku dan memindahkannya ke dalam keranda. Lantunan ayat-ayat
al-Quran mengiringi. Setelah menyelesaikan semua prosesi, mereka lantas mengangkat
keranda dan membawanya ke tempat pemakanan yang tidak begitu jauh dari tempat
tinggalku.
Gundakan tanah pekuburan yang digali nampak
masih merah basah. Cahaya bulan pucat terpantul dipermukaannya. Suara jangkrik
melengking di tengah kesunyian kuburan tua. Orang-orang bergerombol
mengerubungi liang tempat tubuhku akan dibenamkan. Beberapa lelaki turun dan
meletakkan tubuhku. Kulihat saudara ibu dan anaknya meletakkan tubuhku.
Lantunan doa-doa mengiringi….
Perlahan-lahan tanah merah yang masih
basah itu diuruk. Kulihat ibu jongkok di samping gundukan tanah yang panjangnya
tak lebih dari setengah meter dan memegang nisanku. Ia masih menangis. Matanya
merah dan bengkak.
Lalu sepi…. Orang-orang yang mengantar jasadku,
satu persatu meninggalkan kuburan tua yang gelap dan mencekam. Derap langkah
kaki-kaki mereka masih terdengar meninggalkan jejak-jejak di tanah yang masih
basah. Rinai memang baru saja berlalu. Udara dingin menggigilkan dedaunan yang
memantulkan cahaya bulan. Angin berkesiur lembut.
Kuburan tua kembali lengang. Mencekam.
Cahaya-cahaya berpendar menuju langit. Ada jeritan yang sesekali menggema
meninggalkan kepedihan. Di atas langit, gerimbunan awan bertengger memeluk
bulan. Aku melesat menembus kegelapan meninggalkan tubuhku.
***
Di kamar masih terdengar suara ibu yang
terisak. Matanya nampak sembab. Di dadanya menempel fotoku yang didekapnya erat-erat.
“Ibumu benar-benar merasa kehilangan.”
Pandanganku masih melekat di wajahnya.
Kesedihan menggelayut jelas di raut wajahnya yang telah ditumbuhi garis-garis
ketuaan yang kian tegas. Namaku masih menebar dari kedua bibirnya yang
bergetar. Lirih... Kepiluan mengendap bersamanya.
Aku ingin kembali menenangkannya. Kudekati
tubuhnya yang kian letih. Suara desis lembut terus menebarkan namaku. Lenguh….
Ada getaran kerinduan yang retas menyayat.
“Ibu, ini aku anakmu. Lihatlah
cahaya-cahaya di atas kepalamu. Itu aku ibu, anakmu. Aku ingin kau merasakan
sentuhanku.” Kugerai rambutnya yang nampak acak-acakan dan membelainya dengan
lembut. Ia hanya merasa kedinginan. Seperti ada angin yang menerpa rambutnya.
Ia masih tak merasakan kehadiranku. Lalu keningnya kukecup.
“Ibu aku di sini. Aku di atas kepalamu.
Lihatlah cahaya-cahaya itu.” Ibu malah melangkah ke arah jendela dan
menutupnya. Tubuhnya lunglai dan langkahnya gontai kembali menuju pembaringan.
Aku hanya menatapnya. Kerinduan akan belaiannya, kian membuatku gundah.
“Bersabarlah. Ibumu tak akan dapat
merasakan kehadiranmu.”
“Aku tak ingin ibu seperti itu. Aku tak
ingin ibu menderita karena kepergianku. Sungguh, aku begitu menyayanginya.”
“Tunggulah sampai ia tertidur. Lalu
ajaklah ia berbincang dan berikan ketenangan kepadanya.”
Angin malam yang menerobos melalui
celah-celah jendela kamar, menyisakan desir dan dingin yang meregangkan
pori-pori. Malam bertambah kelam. Cahaya bulan seolah terhisap gerimbunan awan.
Ibu kembali merebahkan tubuhnya. Diraihnya
fotoku dan didekapnya begitu lembut. Suara isak masih terdengar lirih dari
bibirnya. Malam dilaluinya dengan terus
memeluk fotoku. Sesekali diciuminya dengan penuh kasih sayang. Hingga menjelang
subuh, ibu baru tertidur. Foto di dadanya masih melekat. Begitu erat.
“Sekarang panggillah ibumu! Peganglah
tangannya! Jangan lepaskan!”
“Ibu, kemarilah. Ini aku, anakmu.”
Ketika ibu melihatku, ia tersentak dan
buru-buru kembali bersembunyi. Ia terbangun, nafasnya memburu.
“Aku bertemu anakku. Ya… Amin datang
menemuiku,” ucapnya lirih. Nafasnya tersengal.
“Iya, ibu. Aku memang ingin menemuimu. Aku
ingin engkau tahu bahwa aku di sini bagitu bahagia.”
Ibuku tak juga mendengar ucapanku. Namun,
beberapa saat kemudian, ia kembali tertidur.
Lalu….
“Ibu kemarilah. Ini aku, Amin, anakmu.”
Aku kembali memanggilnya. Kutarik tangan ibu dengan lembut. Perlahan, ia pun
keluar dari persembunyiannya.
Seperti orang kebingungan, pandangan ibu mengembara, “Anakku. Mengapa engkau
berada di sini?”
“Aku ingin menemani ibu.”
“Kau nampak gagah sekali. Tubuhmu sangat
bersih dan wajahmu bercahaya. Kau pasti sangat berbahagia.” Ibu mendekapku erat-erat, tapi terasa begitu lembut.
“Aku baik-baik saja. Aku masih hidup. Aku
hanya tertidur ibu. Dunia ternyata hanya mimpi dan mati hanyalah jalan
menuju kehidupan yang abadi. Lihatlah, bukankah aku masih hidup?”
Kulihat wajah ibu nampak berseri.
Kebahagiaan terlukis indah di wajahnya. “Jadi kau masih hidup anakku?”
“Iya, ibu. Aku bahkan semakin sehat. Aku
sangat berbahagia di sini. Ayah dan adikku juga bersamaku. Mereka sedang
berkumpul di atas sana.”
“Di mana mereka, aku ingin bertemu?”
Matanya mengekori arah telunjukku. Yang dilihatnya hanya cahaya.
“Tidak ibu. Ibu tak dapat menemui mereka.
Tapi ayah dan adikku dalam keadaan baik. Mereka sangat berbahagia. Sama seperti
aku. Itu semua berkat doamu.”
“Anakku, sekarang ibu tinggal sendiri. Ibu
merasa kesepian.” Wajah ibu tertunduk. Lesu. Kembali ia menatapku. Dirabahnya
wajahku, lalu mengusapnya perlahan penuh kasih sayang.
“Tidak ibu. Aku akan tetap bersama ibu.
Aku selalu menemani ibu. Lihatlah nanti cahaya-cahaya di atas kepala ibu. Itu
aku, anakmu. Aku selalu berada di dekatmu.”
“Siapa dia?”
“Dia malaikat yang menemaniku.”
“Cepat lepaskan tangan ibumu! Biar ia
dapat merasakan kehadiranmu.”
Segera kulepas tangannya. Kulihat ibu,
terbangun. Matanya mengerjap—ngerjap, lalu
menatap ke seluruh pojok kamar. Fotoku masih dalam dekapannya.
Semakin erat tangannya melekatkan fotoku
di dadanya.
“Anakku masih hidup. Anakku masih hidup.”
Ibu lalu menghambur berlari ke luar kamar. Dan fotoku diletakkan di ubun-ubun
kepalanya.
“Anakku masih hidup. Anakku masih hidup.”
Ia terus berlari menerobos kebisingan suara-suara.
Rambutnya yang terurai acak-acakan
terhempas angin pagi. Ia terus saja berlari. Mengabarkan kebahagiaan yang ia
rasakan. Kegelisahan tak lagi mengecambah. Malapetaka tak lagi meretas kerinduan. Dan rengsa pun tak lagi menjelma
keabadian.
Ibu semakin berlari mengejar burung-burung
yang merentas di kaki langit. Lalu
menghempaskan kesiur angin yang meninggalkan selarit jerit. Di atas kepalanya,
cahaya-cahaya memendar ke langit.
“Anakku masih hidup. Anakku masih hidup.”
Wajah ibu lebuk oleh debu. Langkahnya
terus terayun melintas dan menelikung di antara daun-daun yang berjatuhan.
Suaranya menggema di ceruk-ceruk lembah.
Lalu menebah resah di cakrawala. Di mulut orang-orang, suara itu
menyisakan kesedihan. Namun, ibu terus berlari. Ia terus tertawa. Ada kedamaian
yang menggenang.
“Anakku masih hidup. Anakku masih
hidup.” Di atas kepalanya cahaya-cahaya
begitu menyilaukan. Aku terus membelai rambutnya yang tergerai angin.
Langkahnya semakin cepat meninggalkan
desir kepedihan yang meretas bahagia. Kepedihan bukan lagi keabadian yang
mengejawantah. Bajunya yang menjuntai, bergesekan menyusuri tanah menghempaskan
debu. Jeritnya terus menggema.
“Anakku masih hidup. Anakku masih hidup.
Lihatlah cahaya-cahaya di atas kepalaku…!!! Lihatlah cahaya-cahaya di atas
kepalaku…!!!”
Ibu terus berlari mengejar keabadian.
Hidupnya hanya untuk keabadian. Ia begitu mencintai keabadian. Sungguh… sebuah kemurnian
cinta telah membuatnya lupa akan dunianya. Ia terus berlari. Dan cahaya-cahaya
di atas kepalanya adalah garis-garis penegas kerinduan.
Lalu, hening. Angin seketika mati.
Daun-daun yang jatuh berhenti laksana manik-manik yang menjuntai dari langit.
Langit kembali bercerita tentang masa
silam. Suara lenguh burung-burung hantu tak lagi terdengar. Lolongan anjing
yang menyayat menggiring sisa-sisa kepedihan. Di sebuah kuburan, gundukan tanah
masih merah basah dengan tiang-tiang nisan yang dingin. (Oke)
Makassar, 5 Muharram 1422 H
0 comment