-->

Sunday, February 25, 2018

Lelaki dalam Lipatan Kelaminku

Cerpen Idwar Anwar


Pukul 03.50 dini hari…

…kadang.… aku ingin berdoa kepada Tuhan… agar tak lagi menciptakan kelamin.

Asap rokok mengepul. Dentuman musik menggiring degup jantung menuju pagi. Botol-botol wiski bercampur ekstasi berseliweran di atas meja. Bergegas kurapikan kelaminku. Sebelumnya begitu berantakan. Bahkan berdebu di sana sini. Untung saja tidak berlumut. Ha…ha…ha… tak mungkinlah berlumut.
Sebagai alat penghasil uang, kelaminku senantiasa kujaga kebersihannya. Berbagai peralatan dan obat-obatan selalu kubeli untuk membuatnya cantik dan menyenangkan. Aku toh tak salah jika merawat sesuatu yang mampu membuatku hidup berkecukupan, bahkan mungkin terbilang mewah.
Selain kujaga kebersihanya, kelamimku juga kujaga dari orang-orang yang akan menganiayanya. Perbuatan kasar pada kelaminku akan kuhindari. Aku akan pilih-pilih pada orang-orang yang akan memakainya. Tentu juga memilih orang-orang yang berkantong tebal. Kalau perlu yang masih muda dan tampan. Kan akan lebih nikmat dibanding bercinta dengan orang tua dan jelek. He…he…he. Karenanya, jangan pernah berbuat kasar pada kelaminku, sebab ia begitu lembut dan penuh kasih sayang.
Seperti malam itu. Aku seketika muak dengan seorang lelaki tua yang tiba-tiba saja menghampiriku. Selama ini, lelaki tua itu senantiasa mengincarku. Tapi aku berusaha untuk menghindar dengan alasan telah ada janji dengan seseorang, paling tidak untuk tidak mengecewakannya. Namun karena selalu kutolak, suatu hari ia bahkan ingin membayar empat kali lipat dengan bayaran orang yang telah berjanji denganku.

Ia sepertinya begitu ingin mengajakku terbang bersamanya. Padahal sayap-sayapnya telah rapuh. Itu juga aku tahu dari teman-teman yang pernah bersamanya. Dan kini, aku tak tahu apa sayap-sayapnya masih bisa membuatku terbang. Kalau pun bisa, mungkin tak lagi begitu lama.

“Kemarilah sayang. Bukankah malam ini begitu indah dan dingin!”
Lelaki tua, berbaju rapi dan berdasi bergegas itu berjalan ke arahku. Suara sepatunya begitu bernafsu menembus hiruk pikuk kaki-kaki yang lalu-lalang. Rokok di tangannya yang belum sempat dibakarnya, menggigil. Sepertinya ia benar-benar ingin berteduh. Wajahnya pucat. Bibirnya bergetar. Matanya sayu, namun memandangku penuh gairah dan harapan.

Puiihhh! Aku tak ingin kelaminku kembali acak-acakan karena lelaki itu. Aku tahu, dia lelaki terhormat, duduk di kursi terhormat dan berada di dalam gedung yang terhormat. Hampir tiap hari yang keluar dari bibirnya hanya tentang rakyat. Tapi, aku tak menyukainya. Mungkin aku takut. Atau mungkin juga aku jijik. Tak tahulah. Yang pasti, saat ini aku tidak ingin bersamanya berapa pun yang ia ingin bayar.

Aku tahu, dengan orang tua seperti dia, aku tak perlu bekerja keras. Sebentar saja dia pasti akan menyerah sendiri dan tak sanggup lagi berbuat apa-apa. Paling-paling setelah itu, lelaki tua itu hanya mampu menataku dengan penuh birahi, namun tak sanggup lagi berbuat apa-apa. Orang tua seperti dia hanya memperturutkan birahinya, tanpa peduli pada kemampuannya.

Kalau pun lelaki tua itu mimun obat kuat, paling-paling bisa bertahan berapa lama. Atau malah jangan-jangan penyakit jantungnya bisa kumat. Wah, bisa lebih bahaya. Masa orang terhormat seperti dia harus mati di atas perempuan sepertiku. Apa tidak kasihan pada anak istrinya. Bagaimana pula tanggapan orang-orang yang selama ini menghormatinya dan menganggapnya sebagai panutan rakyat. Ha…ha…ha….

Tapi dengan orang tua itu, tentu aku akan mendapatkan uang yang banyak tanpa harus bekerja keras. Sebagai orang terhormat, duduk di kursi terhormat dan di dalam gedung terhormat, pasti ia bergaji besar. Belum lagi uang-uang negara yang telah digerogotinya. Tentulah lelaki tua itu berkantong tebal, bahkan teramat tebal. Itu belum terhitung berbagai perusahaan besar yang dimilikinya.

Tapi, bagaimanapun aku lebih menyayangi kelaminku. Jadi aku juga harus menjaganya. Aku tahu, kelaminku setangkai mawar merekah di taman, yang tumbuh di antara ilalang-ilalang meretakkan langit. Kelopak-kelopaknya lembut, tapi begitu kuat dan perkasa menelan sejuta birahi yang seliar apa pun. Di pusatnya kehangatan melenakan iblis atau malaikat sekalipun. Baunya harum, serupa aroma surga.

“Mengapa kau pasang badai di matamu,” suara lelaki itu dikerumuni kecemasan. Penghambaannya hampir saja menerjang, namun ia masih mampu menguasai dirinya. Bibirnya masih gemetar.

“Aku tak memasang badai. Badai itu datang sendiri karena kehadiranmu.”
“Tak adakah waktu untukku malam ini?” Ia nampak mulai kalah. Aroma kelaminku menjadikannya tersengal. Lelaki terhormat, duduk di kursi terhormat di dalam gedung terhormat itu sepertinya tak mampu lagi menguasai dirinya. Dan akhirnya lelaki itu tersungkur tepat di depanku; mengiba-iba. Dasinya yang terseret di atas lantai tak lagi dipedulikannya.

Aku masih berdiri tegap. Tak mau mengharapkan apa-apa dari lelaki itu. Aku tahu, bahkan teramat tahu, aku tak mungkin lagi melakukannya. Kelaminku telah kukemas dengan baik. Kusimpan dalam pigura berhias sutra dengan bunga-bunga kesturi yang tumbuh di sekitarnya. Aku tak ingin ia terbangun dan menyaksikan keganasan lelaki itu melepas selaksa dahaganya.  

Maka kujawab dengan tegas dan sedikit meninggikan suara, “Tidak!”

Aku menyayangi kelaminku. Sejak kesadaran akan kelaminku muncul, ia selalu kurawat dengan penuh kasih sayang untuk kusuguhkan pada mereka yang benar-benar butuh; tapi tentu mereka harus selembut sutra.

Tiba-tiba aku ingat bait-bait yang tergeletak di atas sebuah lontara’[1]; …lelaki yang pantas memasuki kelamin perempuan hanyalah lelaki setampan nabi Yusuf. Ha… ha… ha… ha…. Puuiihh!
Dulu aku senang pada sesuatu yang kusebut omong kosong ini. Semua itu menurutku hanya tata krama yang idealis untuk kelamin-kelamin yang tidak taat peraturan.

Tapi kelaminku, aku rasa telah taat peraturan. Bahkan teramat taat malah. Aku menyuguhkannya kepada mereka yang benar-benar butuh dan tentu aku juga menyukainya; mencintainya mungkin. He…he…he…he. Cinta? Ya, cinta. Aku menyebut cinta dengan segala ketulusanku.

Tapi lelaki itu tak juga mau berhenti memohon.

“Apakah kau benar-benar ingin pergi bersama angin. Bukankah dingin malam ini bagai puncak-puncak bukit Tursina. Kita bisa melayang mengarungi kesejukannya. Menghirup segala aroma yang dihembuskannya.”

“Aku tak tertarik menuju puncaknya. Pergilah ke Samarkan! Di sama maut sedang menunggu.”

Lalu malam kubiarkan pergi begitu saja.

***

Dini hari yang buruk. Di sebuah kota yang bisu….

Seorang perempuan menggelepar. Mengerang dengan segala ketakberdayaannya.

“Tidak! Tidak! Jangan! Akhh! Tolong…!”
“Dasar perempuan kampung….”

Lelaki itu lalu kutemukan terkapar di dalam kelaminku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Kelaminku tercabik oleh orang yang tak kukenal. Lelaki itu memporak-porandakan kelaminku. Menusuk-nusuk hingga ke jantungku. Ia menghisap payudaraku; bagai mesin-mesin penyedot di ladang-ladang minyak. Puiiihh!

Aku tak bisa lupa, lelaki itu mengerang seperti singa kelaparan. Lalu, kudengar kelaminku bernyanyi lagu musim gugur. Rintihannya meluruhkan daun-daun. Lonceng kerontang dengan ilalang di padang tandus mengiringinya. Perih. Dadaku sesak oleh tangis yang tertahan.

Lelaki itu mengerang. Lalu lelaki-lelaki lain datang pula; mendengus seperti anjing mengendus; lapar… haus… birahi…. Hanya bayangan hitam yang mengurai di wajahnya.

Harus kusebut apa lelaki-lelaki itu?

Sekujur tubuhku bergetar. Takut. Perih memenjara. Ada kengerian menjalari… dingin hingga menikam-nikam ke ulu hati, mengiris perasaan; sembilu.

Tiba-tiba aku ingat perempuan-perempuan Bosnia; meregang di antara dengusan tentara-tentara rakus; di bawah todongan senjata dan popornya yang seringkali disusupkan ke dalam kelamin-kelamin mereka.

Sungguh, ketika itu aku belum mengenal betul arti seonggok kelamin. Apalagi tahu kelembutan dan aroma surga yang ditawarkannya. 15 tahun usiaku. Aku hanya tahu bahwa melalui kelaminkulah kelak akan keluar janin-janin yang dititip Tuhan di dunia. Di kelaminkulah akan berumah lelaki yang kelak akan kusebut suami yang akan menyemai firman Tuhan di dalam rahimku.

Tapi, mengapa mereka memperlakukan pintu dunia itu dengan kasar dan beringas. Setelah merampas segalanya, mereka memasukkan botol-botol minuman ke dalam kelaminku. Bagai laras senjata; dingin meluluhkan hatimu. Air mataku mengaliri batok-batok kesadaranku. Namun aku tak sanggup berbuat apa-apa. Tangisku hanya mengaung di padang tandus.

Aku ingat perempuan-perempuan Bosnia; kelamin-kelamin yang teraniaya; berdarah tanpa cinta.

…kadang… aku ingin berdoa kepada Tuhan… agar tak lagi menciptakan kelamin.

***

Dan 10 tahun berlalu begitu saja. Bayang-bayang kelam itu mengantarku untuk lebih mencintai kelaminku. Aku hanya akan memberikannya pada lelaki-lelaki yang membutuhkan dan tentu saja aku juga setuju; mungkin pula karena aku mencintainya.

Telah berpuluh-puluh lelaki berteduh dalam kelaminku. Ada yang kubiarkan berteduh karena aku benar-benar butuh uang. Ada karena terpaksa, karena ia terus menghibah. Ada pula yang karena aku menyukainya. Aku malah tak ingat lagi lelaki mana yang paling berarti bagi kelaminku; menyayangi dan benar-benar membutuhkannya.

Jika kau bertanya, apakah kelaminku melakukannya tanpa cinta, maka kujawab kadang-kadang. Bukankah kadang orang normal pun melakukannya tanpa cinta, meski mereka menikah secara resmi?
Tentu aku juga masih membutuhkan cinta, bahkan mungkin mengagungkannya. Bukankah cinta adalah bagian terpenting dalam hidup ini. Cinta hadir dalam ritme tanpa batas dalam orkestra keabadian; mungkin juga tak mengenal ruang dan waktu. Ia hadir begitu saja dan tumbuh pada diri siapa saja; walau mungkin tanpa kelamin.

Tanpa kelamin? Ha… ha… ha…ha…!
Mungkinkah cinta hadir dan bersemi tanpa kelamin?
Mungkin saja! Cinta sejati!
Tapi… akhh, aku rasa cinta masih butuh kelamin?!
He… he… he… he…. Benarkah?
Tak tahulah. Yang pasti kelaminku harus tetap kurawat. Sebab hanya dengan dialah aku bisa bertahan hidup.
Aku tahu, semua orang telah meremehkanku. Menganggapku kotor. Tapi bagaimana dengan mereka yang kerap menghibah-hibah di hadapanku? Memohon agar dapat berteduh dalam kelaminku. Aku tak tahu, harus kusebut apa mereka yang telah mengoyak-ngoyak kepolosan kelaminku saat usiaku 15 tahun. Harus kusebut apa mereka yang telah menjerumuskan aku ke dalam ruang yang oleh mereka sendiri menyebutnya sebagai pekerjaan yang kotor.

Maka itulah, aku sangat menjaga kelaminku setelah 10 tahun lalu tercabik-cabik dan tercampakkan. Aku baru tahu di antara kehangatan kelaminku –yang kedalamannya antara 10-12,5 cm dan memanjang dalam posisi 45 derajat terbuat dari jaringan kulit, otot dan jaringan serat--, bertumpuk lelaki ingin berteduh di dalamnya; mengais-ngais kehangatan.
Kehangatan?
Ya… kehangatan. Begitu banyak lelaki yang datang meminta kehangatan dari kelaminku. Tidak peduli, apakah ia pejabat berdasi, bersepatu lars, aktivis, atau pengusaha. Mereka kadang saling menyikut tanpa peduli tua atau muda.

“Aku ingin menabur bunga di dalamnya,” suara seorang lelaki yang kukenal sebagai aktivis organisasi keagamaan yang terkenal di negeri ini suatu hari.

“Omong kosong! Sudahlah! Datang saja. Aku juga butuh. Tapi jangan kau menabur bunga di dalamnya. Kelaminku lebih harum dari seribu bunga yang kau tabur.”

Lelaki-lelaki itu sering datang berteduh; membawa bunga yang kemudian dicampakkannya sendiri karena aku memang tak butuh.

Kehangatan macam apalagi yang kubutuhkan. Bukankah hidup hanya persemaian kelamin? Bahasa paling gersang yang pernah kuucapkan; membutakanmemabukkan….

***

Toh aku tak membutuhkan suara burung-burung di pagi hari. Aku hanya mengenal malam dengan bulan dan bintang-bintangnya. Akhh, tentu saja dengan kepekatan dan anginnya yang dingin. Itu pasti. Bukankah angin dingin yang senantiasa mengantarkan lelaki-lelaki itu datang dan mengais-ngais kehangatan dalam lipatan kelaminku?

Tentu saja, aku tak boleh melupakan angin malam yang dingin dengan gigilnya yang seksi itu. Maka pasti, aku tak butuh lagi cericit burung-burung di pepohonan yang berlompatan dari satu ranting ke ranting lain; dari satu pohon ke pohon lain. Tidak juga dengan matahari pagi. Aku bahkan telah melupakannya; bagaimana warnanya; bagaimana aromanya.

Setelah 10 tahun berlalu, aku hampir tak pernah lagi bertemu dengan matahari pagi yang menyembul di balik gunung yang berdiri kokoh di belakang rumahku di kampung; matahari pagi yang mengerjap-ngerjap di antara reranting dan dedaunan. Butiran keringat yang menggelinding dari setiap pori-poriku di pagi hari juga hampir tak pernah lagi kurasakan. Aroma tanah sawah yang gembur telah berganti aroma parfum merek luar negeri memeloroti aroma tubuhku.

Akhhh, semuanya telah berlalu bersama lelaki-lelaki dengan keberingasannya itu. Mereka telah memporak-porandakan hidupku dan memenjarakanku dalam ruang gelap; tempat lelaki-lelaki mengendus aroma tubuh perempuan-perempuan sepertiku; aroma bibir, payudara, kelamin ….

***

Di sebuah malam dengan gigilnya yang membuncahkan segala hasrat, sebelum aku menyadari benar tentang kelaminku, kubiarkan lelaki-lelaki itu kembali datang; politisi, aktivis, birokrat, penguasa,…. Yang berseragam, berdasi, memakai jas dengan lambang garuda, bermobil plat merah,….
Aku kembali membaca jejak-jejak padang tandus yang kukemas sekian lama. Mantra-mantra langit telah berujung duka; retak. Aku tak peduli lagi. Aku lantas merapikan kelaminku setelah semuanya kembali berlalu. Dan… astaga, kembali kutemukan sobekan lelaki terkulai di dalamnya. Bukankah lelaki itu yang mengajariku beribadah, di kampung dulu?

…Tuhan berhentilah menciptakan kelamin….

makassar, Juli 2006
malam dimana tiba-tiba aku membenci kelamin…

0 comment