Cerpen Idwar Anwar
TIDAK seperti kota-kota lainnya, di kota ini kutemukan diriku menjadi hijau.
Lumut-lumut yang melekat bertumbuh menjadi nyanyian-nyanyian malaikat. Di kota
ini, aku bisa melihat matahari bermekaran. Kuntum-kuntumnya bergerak lembut
membiaskan kehangatan. Aku bahkan dapat memetik matahari tanpa harus kurasakan
panasnya yang menyengat, seperti di kota-kota lain.
Bulan
di kota ini juga ternyata lebih indah dari yang pernah kubayangkan. Warnanya
perak dengan tepinya sedikit jingga. Cahayanya lembut menerangi dengan selaksa kesejukan.
Aromanya wangi menyemarakkan bunga-bunga bertangkai petir yang tumbuh di setiap
pori-pori waktu.
Aku
bahkan pernah menjadi bagian dari sinarnya. Kurasakan sebuah kesejukan yang
teramat sangat mendekap seluruh kesadaranku. Sungguh, aku menjadi sesuatu yang lain.
Sesuatu yang selama ini tak pernah terbayangkan akan melingkupi diriku begitu
cepat, hingga aku sendiri begitu sulit mempercayainya.
Di kota
ini aku ternyata bisa menjadi malaikat bahkan melebihi malaikat. Aku menari
mengikuti segala arah angin, membelai setiap yang kusapa, mengusap dengan
jemariku yang lembut. Aku lantas menjelma buih-buih di pantai mengiringi riak-riak ombak yang
bergoyang kadang mengganas. Burung-burung camar sesekali meningkahi dengan
menukik dan mencecah permukaannya melahirkan suara-suara rindu. Cekikikan
burung-burung itu membawa keriangan tersendiri yang berbeda dengan kota-kota
lain. Sungguh, aku bisa merasakannya.
Memasuki kota ini, aku juga menjelma kunang-kunang. Aku
beterbangan kian kemari dengan riangnya. Tak peduli dengan apa pun yang ada di
sekitarku. Sayap-sayapku begitu ringan menghalau angin, menepiskannya hingga
membuatku terangkat tinggi dan melayang ke angkasa.
Di kota ini aku tak lagi menemukan kegelapan.
Cahaya-cahaya muncul dari dalam diriku, membias pada setiap titik-titik ruang
dan waktu yang kujalani. Aku menyaksikan tubuhku meningkahi kegelapan dengan
riangnya, hingga pekat menjelma menjadi terang.
Menemukan kota ini merupakan sebuah anugerah yang maha
dahsyat dan tak akan mungkin terhapus dari totalitas kedirianku. Aku tak akan
mungkin melupakan penjalanan ini. Melupakannya berarti juga melupakan ruh yang
ada dalam diriku. Di kota inilah bermacam keindahan tumbuh, menjalar menelusuri
setiap hitungan waktu yang telah kurengut sekian lama.
Kota ini menjadikanku begitu berarti. Kesengsaraan selama
menjalani kehidupan, seperti tak ada artinya ketika menyadari keberadaan kota
ini. Semuanya sirna ketika memasuki dan berumah di kota ini. Kota ini seperti
mendekap kenikmatan dan meletakkannya dengan hikmat pada setiap titik ruang dan
waktu dari perjalanan hidupku.
Memasuki kota ini membuatku merasakan kenikmatan yang
luar biasa. Aku larut dan rela dialirkan ke mana saja dalam kota ini. Aku tak
takut. Aku malah bergembira dapat berenang dan mengalir lembut dalam kota ini.
Kota yang telah mengajariku tujuan dari setiap tarikan nafasku; tujuan dari
setiap gerak tubuhku; tujuan dari setiap gerak jiwaku.
Ah, di kota ini kebahagiaan tumbuh dimana-mana dan
menjalar memasuki setiap rongga perjalanan kehidupanku. Aku sungguh
merasakannya; gerak lembutnya menjalari kemanusiaanku; gerak lembutnya menyapa;
membelai; melelapkanku dalam ketulusan.
***
Sungguh, kurasakan begitu banyak yang runtuh dalam diriku
sebelum menemukan kota ini. Di sini, aku ingin memburu dan menghapus
titik-titik hitam waktu yang telah aku semai sendiri dalam perjalanan hidupku.
Memburu masa-masa purba yang kusam dan gelap untuk kutaburi cahaya-cahaya.
Ingin kubangun kota ini, setelah sekian lama runtuh;
puing-puingnya berserakan menutupi jejak-jejak. Serpihan-serpihan kota ini
kupungut satu demi satu. Tangan-tanganku menjulur ke langit, gemetar, memintal
satu demi satu puing-puing dan debu-debunya yang beterbangan di langit kelam.
Namun entah mengapa, aku merasakan tak akan sanggup lagi
membangun dan membuatnya sebagai kota yang indah, seperti ketika aku baru
pertama kali menghirup udara di bumi ini. Tapi aku akan tetap melakukannya. Meski
aku tahu semua itu akan menghabiskan waktuku.
Waktu…? Bukankah waktuku memang seharusnya kuhabiskan
untuk membangun kota ini. Kota yang dijelmakan oleh zat yang maha agung untuk
memberikan cahaya pada siapa saja. Kota yang dibangun untuk menuntun hidup
setiap tubuh-tubuh yang di dalamnya bersemayam ruh. Tubuh-tubuh yang tumbuh
dari tanah. Ya… tanah yang kotor.
Membangun kota ini, seperti merancang kembali kehidupan
baru bahkan jauh lebih sulit. Kertas putih yang penuh noktah hitam, sungguh
sulit kuputihkan lagi, walau dengan air mata yang terus mengalir hingga membentuk
sungai-sungai dan menjadi lautan. Tentu, bangunan di kota ini hanya bisa tumbuh
dan menjulur dengan kepingan-kepingan yang mungkin tak akan lagi bisa menjadi
utuh.
Di kota
inilah butiran-butiran air mataku tumpah membentuk sungai-sungai kecil yang
melintasinya. Sungai air mata yang sekian lama keruh dan berkarat, hingga tak
mampu mengalir membangun penyesalan-penyesalan yang hakiki itu, kini mulai mengalir
dengan riangnya.
***
Aku mencari dan menemukan kembali kota ini setelah sekian
lama terkubur begitu dalam. Kota ini benar-benar telah kehilangan bentuknya.
Batu-batu hitam begitu lama menghujani dan menindihnya dengan keberingasan yang
sungguh tak sanggup lagi kubayangkan. Aku memang tak mau lagi
membayangkannya. Membayangkannya berarti membunuh diriku
sendiri sebelum aku sanggup membangunnya kembali. Kalaupun harus membayangkannya,aku
hanya menjadikannya sebentuk steksa untuk merancang kembali kota ini.
Ya, aku ingin merancang kota ini dengan sebuah penyesalan
yang utuh dari segenap penghambaanku. Sebentuk penghambaan yang telah kurancang
sekian lama, namun aku sendiri tak tahu mengapa aku tak sanggup melakukannya.
Entah mengapa, ketika itu aku benar-benar tak mampu
melakukannya. Aku terjebak dalam lingkaran yang aku sendiri tak tahu dan tak
mampu melepaskan diri darinya. Sebuah lingkaran yang dipenuhi
kesenangan-kesenangan duniawi yang akhirnya membawaku ke dalam sepi. Ya…
sebentuk sepi yang teramat sepi… sepi yang mencekam… sepi yang membutakan… sepi
yang membuatku pernah ingin membunuh diriku sendiri.
Dalam kesepian itu, aku terus mencari sujudku… menemukan
sujudku. Sujud yang sekian lama terbelenggu dalam lingkaran hitam itu kini
hadir dalam setiap titik-titik kesadaranku. Lalu kusujudkan diriku pada hampir setiap
sepertiga malam untuk mencari kembali kota ini dan membangunnya kembali dengan
segala penghambaanku.
Begitu sulitnya mencari sesuatu yang pernah hilang dalam
diri. Begitu sulitnya membangun sesuatu yang pernah hancur dan telah menjadi
puing-puing. Tapi aku harus melakukannya. Harus! Ya, sebuah penghambaan yang kaffah
harus kutunjukkan untuk kembali membangun kota ini. Kota yang penuh dengan debu,
awan hitam dan telah penuh borok bernanah. Kota yang telah berkarat. Kota dimana
malaikat tak mampu lagi hidup dengan damai; tenang.
“Mungkinkah.” Tiba-tiba sebuah suara terdengar nyaring di
telingaku. Bahkan ketika itu kurasakan ingin mengoyak-ngoyak gendang telingaku
yang fana.
“Adakah
sesuatu yang tak mungkin di dunia ini. Tuhan menjadikan semua yang ada di dunia
ini menjadi mungkin, bahkan untuk menghina Tuhan sekalipun, manusia diberi
kebebasan, kecuali mengubah hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Bukankankah
ini anugrah yang maha dahsyat?” Segera kurancang ketegaranku yang kembali
diguncang.
“Tapi
apakah engkau sanggup? Rasanya aku meragukannya.”
Entah dari
mana, suara itu kembali menghantam kesadaranku. Sumpah, yang aku rasakan
hanyalah kegelisahan yang menerobos dengan cepat dalam ruang-ruang keputusanku.
Zilzaal…. Goncangannya teramat hebat. Di sepertiga
malam, sujudku pun bergetar. Sajadah tempat air mataku tumpah, menjadi kering;
tandus.
“Tuhan dimana Engkau??!!” jeritku tersedak.
“Apakah Kau sudah mati??!!!” Nafasku tersengal. Dadaku seperti
ditumpuki beribu-ribu gunung.
“Mengapa aku selalu Kau biarkan terkubur dalam kegelapan?!!”
Kukumpulkan potongan-potongan nafasku.
“Bukankah aku tak putus-putusnya mencariMu. Sujud apalagi
yang harus kulakukan untuk mendapatkan kembali cahayaMu?” Pemberontakanku mengganas; luka-luka dan
berdarah.
“Sujud apa lagi yang Kau butuhkan? Kau tak membutuhkan sujud.
Karena itu, aku makin yakin aku tak mampu menemukan kota itu, apalagi membangunnya.
Kota itu telah kau
runtuhkan hingga puing-puingnya sebesar biji dzarrah.”
Suara itu kembali melengking, bahkan mungkin melebihi
lengkingan terompet malaikat Izrafil. Aku kian gelisah. Padahal aku ingin kembali merasakan
kesejukan berumah di kota itu. Tapi mengapa semuanya begitu cepat berlalu. Begitukah
manusia? Begitu cepat berubah, menjelma menjadi sesuatu yang lain dalam waktu
yang senantiasa tak terduga.
Tapi aku harus yakin Tuhan adalah pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Tuhan, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya
seperti mutiara. Aku yakin Tuhan akan membimbing siapa yang dia kehendaki kepada
cahaya-Nya. Cahaya di atas cahaya.
“Dimana lagi kau akan mencari cahaya Tuhan? Bukankah kota
yang kau cari telah kau gelapkan sekian lama. Kau
hancurkan semua cahaya, meski cahaya itu kerlipan butiran pasir di laut. Di
sini tak ada lagi cahaya-cahaya yang ingin menerangi. Kota itu bertahun-tahun
telah gelap gulita. Bukankah kau senang dengan kegelapan? Bukankah itu yang kau cari? Lalu
mengapa kau cari cahaya? Untuk apa…?”
“Tidaaaakkkk!!!!”
Suaraku melengking ke tepi kesadaranku. Aku bahkan tak
mengerti lagi akan diriku. Aku benar-benar tak tahu mengapa keraguan begitu
cepat menggauliku, padahal ketika itu aku baru saja merasakan kesejukan dalam
kota itu. Dan ini selalu saja terjadi dalam diriku. Sebentar kutemukan diriku tafakur
dalam sujud, namun sejenak kemudian aku kembali terjerebab dan terkapar dalam
kubangan lumpur yang hitam pakat.
“Ah, kotaku. Mengapa aku selalu saja gagal membuatmu dipenuhi
cahaya. Dan kalau pun bisa, mengapa aku tak kuasa untuk mempertahankan cahaya
itu. Mengapa cahaya itu selalu saja begitu cepat redup tatkala kutinggalkan
sajadah tempatku bersujud?”
“Hahahahaha….”
“Hentikaaaaaan…!!!!!”
Suaraku terjerembab ke dalam liang yang begitu dalam.
Dadaku bergemuruh menggiring badai. Nafasku terpenggal-penggal menjadi
potongan-potongan rintih. Aku betul-betul tak tahan. Bahkan aku ingin mencaci-maki
Tuhan. Ya… ketika itu aku ingin mencaci-maki Tuhan seenak perutku, sebab
mengapa Dia tak mau memberikanku cahayaNya. Padahal aku telah berjuang mencari
dan meminta cahaya itu untuk kutaburkan di kota yang diciptakanNya sendiri.
Sungguh, aku benar-benar ingin memuntahkan semua
kekotoran kata-kata. Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan kebebasan,
bahkan untuk mencaci diriNya sendiri. Dan sebagai manusia aku harus
memanfaatkan itu. Aku pun mencerca Tuhan semauku. Mulutku yang diciptkanNya,
kugunakan sebaik-baiknya untuk mencaci Tuhan. Cacianku memenuhi rongga dadaku,
bahkan menyesakkannya.
Aku tak mengerti mengapa Tuhan tak memberikan cahayaNya.
Bukankah aku selalu berusaha mencari cahayaNya? Dan ketika kutemukan, mengapa
cahaya itu kadang redup dan kadang benderang. Mengapa Tuhan tak menetapkan
hatiku untuk senantiasa istiqamah pada semua kehendakNya? Mengapa….?
Lalu aku berulang-ulang memuntahkan cacianku pada Tuhan. Aku
merasa Tuhan tak adil. Aku ingin menetapkan diriku untuk membangun, menjaga dan
menaburi cahaya pada kota dalam diriku, tapi mengapa Tuhan tak mau memberikannya?
Mengapa mereka yang lain diberikan petunjuk, sedang aku harus terus berkutat
dengan ketidak-istiqamah-an. Aku ingin istiqamah dan kaffah dalam
penghambaanku. Tapi mengapa aku tak bisa. Mengapa Tuhan tak membiarkanku istiqamah?
Tapi tak sanggup. Aku kembali tak mampu mencaci Tuhan. Aku
malah kembali mencucurkan air mata. Aku tahu kehancuran dunia hanyalah
kehancuran fana. Maka sejak kusadari kehadiran kota itu, aku tak akan pernah
berhenti membangun mencari dan membangunnya.
***
Bertahun-tahun kota ini kutinggalkan. Reruntuhannya masih
tersisa. Tapi di sini telah kutemukan keabadian. Meski aku tahu, di kota ini
pernah ada yang terbakar, menghitam atau mungkin telah mati.
Namun kota ini akan terus kubangun, walau dengan tangan
gemetar dan ujung lidah terbakar. Aku tak ingin lagi membiarkan kota ini gelap.
Akan kugapai dimana pun cahaya itu ada untuk menerangi kota ini. Akan kuulurkan
tanganku dimana pun butiran itu berserakan dan kususun, meski dengan tangan dan
kaki yang gemetar. Akan kutiupkan penggal nafasku dimanapun debu-debu kota ini
berterbangan dan kurangkai sebagai perekat. Akan kulantunkan doa-doa, meski
ujung lidahku terbakar dan berdarah.
Bukankah yang paling mengenali dirinya, berarti yang
paling mengenali Tuhannya? Maka tak henti-henti kutelusuri setiap ruas tubuhku untuk
mencari diriku. Kusingkap-singkap jiwaku untuk membaca kekuasaanNya. Kutelisik
kemanusiaanku untuk menjelajahi hakikat penciptaanku. Lalu kutemukanlah kota
ini, kota yang sesungguhnya bersemayam dalam hatiku; qalbu; Kota Tuhan. Ok1
0 comment